Tips Belajar Akuntansi

Media Pembelajaran Tiruan



Oleh: Hafis Mu'addab

Media tiruan atau model merupakan media tiruan dari benda yang berbentuk tiga dimensi yang dibuat sedemikian rupa dalam bentuk dan tidak sama dalam hal-hal lainnya (Sihkebuden, 2000: 56-57). Meski semua orang tahu, bahwa belajar melalui pengalaman langsung atau melalui benda sebenarnya mempunyai sejumlah keuntungan, perlu diketahui juga bahwa sejumlah keterbatasan dalam belajar akan teratasi dengan penggunaan model.

Penggunaan model dimaksudkan untuk mengatasi beberapa masalah belajar antara lain terhadap:

(1) Ukuran

Kesulitan mempelajari obyek-obyek yang terlalu besar atau luas, sehingga tidak dapat diamati secara menyeluruh. Sebaliknya obyek-obyek yang terlalu kecil tidak dapat diamati oleh mata dengan baik dapat diatasi dengan menggunakan model. Untuk obyek yang terlalu besar dan luas dibuat model sederhana yang diperkecil, obyek yang terlalu kecil digunakan model perbandingan yang diperbesar.

(2) Waktu,

Dengan menggunakan model, guru dapat menghadirkan kenyataan waktu lampau yang tidak dapat kita jangkau dengan memproyeksikan ide atau hal yang akan datang yang tidak dikenal siswa secara kongkret.

(3) Tak terjangkau secara fisik

Obyek-obyek yang terlalu jauh dan terlalu banyak memakan biaya yang diperlukan, bisa diganti dengan menggunakan model-model dari obyek tersebut.

(4) Kenyataan-kenyataan yang tidak berguna

Banyak obyek atau benda yang sebenarnya yang dengan mudah kita jangkau, tetapi tidak memberi keterangan yang mewadahi.

(5) Proses

Dengan model-model obyek kita dapat memperhatikan proses kerja dari obyek-obyek yang besar dan luas.

Sesuai dengan karakteristik bentuknya, media tiruan atau model memiliki beberapa keuntungan penggunaan sebagai berikut:

(1) Model berbentuk tiga dimensi

(2) Dengan adanya perubahan ukuran, model lebih mudah dipelajari.

(3) Bagian-bagian tidak penting dihilangkan/siswa fokus pada bagian penting saja

(4) Dapat menunjukkan struktur bagian dalam suatu benda.

(5) Memiliki kekongkretan yang tak langsung

Share:
Read More

Fungsi dan Peran Media Dalam Pembelajaran

Sebagai suatu sistem terdiri dari berbagai komponen antara lain tujuan instruksional, bahan pelajaran, kegiatan belajar mengajar, sumber dan media, dan evaluasi. Sebagai salah satu komponen pengajaran, media memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting. Gerlach dan Ely (dalam Ibrahim, 1982 : 7) menyatakan bahwa “ intructional media play a key role in the design and use of sistematic instruction “ (media instruksional memainkan peran penting dalam desain dan penggunaan pengajaran yang sistematis)

Seorang peserta didik akan dapat memperoleh pemahaman atau pengetahuan dengan cara mengelola rangsangan dari luar yang ditanggapi oleh inderanya, baik indera penglihatan, pendengaran, maupun indera lainnya. Semakin tanggap seseorang tentang obyek orang atau kejadian semakin baik pula proses pengetahuan atau pemahaman yang dialami.

Pada konteks inilah, media memainkan perannya dengan membantu dan memfasilitasi peserta didik lebih mudah memahami dan mengelola apa yang diterimanya. Pemanfaatan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar secara tepat dapat membantu menjadikan pengalaman belajar lebih jelas. Edgar Dale (dalam Lataheru; 1988: 23) menyebutkan beberapa manfaat media pembelajaran dalam proses belajar mengajar, sebagai berikut: (1) Perhatian anak terhadap materi tinggi: (2) Anak didik mendapatkan pengalaman kongkret; (3) Mendorong anak untuk belajar secara mandiri; (4) Hasil yang dipelajari atau diperoleh anak didik sulit dilupakan.

Sebagai alat untuk pengajaran pembelajaran, media selalu memfasilitasi tugas pembelajaran yang terstruktur maupun yang tidak terstruktur bagi peserta didik. Dalam hal-hal tertentu dapat mewakili guru menyampaikan informasi secara lebih teliti, jelas dan menarik. Fungsi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik walaupun tanpa kehadiran guru secara fisik.

Ada tiga kemampuan atau fungsi media menurut Gerlach dan Ely (dalam Ibrahim, 1982 : 10-11 ) yang meliputi :

(1) Kemampuan fiksatif ( Fixatif property)

Media memiliki mkemampuan menangkap, menyimpan, dan kemudian menampilkan kembali suatu obyek atau kejadian. Dengan kemampuan ini berarti suatu obyek atau kejadian dapat digambar , dpotret, difilmkan, atau direkam kemudian disimpan lama pada saat yang diperlukan dapat ditunjukkan lagi dan diamati kembali seperti kejadian aslinya.

(2) Kemampuan manipulatif (manipulative property)

Media dapat menampilkan kembali obyek atau kejadian dengan berbagai macam cara disesuaikan dengan keperluan. Artinya, penampilan suatu obyek atau kejadian dapat dirubah-rubah ukurannya, kecepatannya serta dapat diulang-ulang.

(3) Kemampuan distributive ( Distributive Property)

Media dapat menjangkau audience yang sangat banyak dalam sekali penampilan obyek atau kejadian .

Sementara dalam konteks berlangsungnya proses belajar dengan segala dinamikanya, media mempunyai fungsi atau peran untuk menghindari hambatan atau gangguan komunikasi dalam poroses kegiatan belajar mengajar (idem, 1982: 12). Secara garis besar peranan media yang dimaksud antara lain:

(1) Menghindari terjadinya verbalisme

(2) Membangkitkan minat atau motivasi siswa;

(3) Menarik perhatian siswa;

(4) Mengatasi keterbatasan: ruang, waktu, dan ukuran;

(5) Mengaktifkan siswa dalam kegiatan belajar: dan

(6) Mengefektifkan pemberian rangsangan untuk belajar.

Secara lebih rinci, Ibrahim (1982: 11), menyebutkan salah satu hambatan komunikasi yang bisa dipecahkan melalui penggunaan media dalam proses belajar mengajar adalah: perhatian yang tidak terpusat. Hal ini diantaranya disebabkan oleh:

a) Anak memang tidak ingin memusatkan perhatian (gangguan fisik)

b) Ingatan anak yang lebih terpaku pada hal lain yang lebih menarik perhatian mereka

c) Anak melamun atau menghayal

d) Prosedur penyampaian bahan pengajaran yang membosankan

e) Sumber informasi tunggal tanpa variasi

f) Kurang adanya pengawasan dan bimbingan dari guru yang sedang mengajar.

Pendek kata, media membantu kita memotivasi peserta didik dengan membawa sepenggal kehidupan sebenarnya ke dalam kelas sehingga dapat membantu peserta didik memproses informasi dan membebaskan guru dari keharusan memberikan penjelasan yang berlebihan, dan bisa menghasilkan kontekstualisasi, dan titik muara untuk aktivitas-aktivitas kelas.
Share:
Read More

Teknik Supervisi Pendidikan

Oleh: Hafis Mu'addab

Ada sejumlah teknik supervisi yang dikemukakan oleh para ahli sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang keilmuan mereka. Teknik-teknik supervisi nantinya diharapkan mampu memiliki dampak positif terhadap terbentuknya sikap dan kemampuan/kinerja guru. Supervisi sebagai kegiatan pembinaan guru dapat dilakukan melalui teknik secara individual itu mencakup supervisor mengamati kegiatan belajar mengajar yang sedang berlangsung (classroom observasion), eksperimentasi kelas (class experiment), guru mengunjungi guru lain saat pembelajaran berlangsung (class intervisitation), supervisor melakukan percakapan pribadi dengan guru (individual conferency), seleksi mata pelajaran (selected of materials for teaching), dan evaluasi diri (self evaluation).

Mengenai teknik supervisi dapat digolongkan dua kelompok yaitu:

a. Teknik-teknik yang bersifat kelompok

Teknik yang digunakan oleh supervisor terhadap guru dalam suatu kelompok (Sahertian Piet dan Frans Mataheru, 1981). Teknik ini penerapannya antara lain melalui:

Pertemuan orientasi dan penyesuaian bagi guru-guru baru

Pertemuan dalam rapat guru baik secara rutin maupun insidental

Tukar menukar pengalaman (sharing) antar guru dalam sebuah pertemuan yang sudah dipersiapkan

b. Teknik-teknik yang bersifat individual

Yaitu supervisi yang dilakukan dengan cara supervisor datang ke kelas dimana guru sedang mengajar. Kunjungan kelas terdiri dari 3 macam yaitu kunjungan supervisor tanpa pemberitahuan kepada guru sebelumnya, kunjungan kelas dengan memberitahukan kepada guru sebelumnya, dan kunjungan atas dasar permintaan guru kepada supervisor

c. Observasi Kelas (Class Observation)

Yaitu supervisor meneliti suasana kelas selama pelajaran berlangsung, agar memperoleh data yang obyektif agar dapat digunakan untuk menganalisis kesulitan-kesulitan yang dihadapi guru dalam pelaksanaan tugas mengajarnya, baik dalam hal kegiatan guru dan siswa, penggunaan alat dan bahan pelajaran, sikap dan penampilan guru dalam penggunaan metode, dan lingkungan sosial dan fisik sekolah, maupun penunjang lainnya (Sahertian Piet A dan Frans Mataheru, 1981 dalam Rifai, 1982)

d. Percakapan pribadi (Individual Conference)

Yaitu supervisor atau kepala sekolah bekerjasama dengan guru-guru untuk memecahkan masalah profesional guru yang dihadapi dalam PBM (Oteng Sutisna, 1985). Dengan percakapan pribadi antara guru dengan supervisor diharapkan dapat terjalin hubungan insani yang baik. Hubungan ini apabila tumbuh dapat menjadi prasyarat yang paling efektif untuk mensukseskan supervisi pengajaran di sekolah.

Observasi kelas merupakan salah satu teknik dalam supervisi. Dengan teknik ini seorang observer (dalam hal ini tenaga pengawas/kepala sekolah) meninjau, mengamati, memperhatikan dan mencatat data dan fakta baik kuantitatif maupun kualitatif yang berkaitan secara langsung maupun tidak dengan PBM di kelas. Melakukan pengamatan atau observasi memiliki makna tidak sekedar melihat atau mengamati aktivitas guru, melainkan lebih dari itu, yaitu dengan cara melibatkan semua indera, logika, strategi, dan instrumen yang telah divalidasi (Neagley and Evans, 1985).

Hal-hal yang perlu dicatat oleh supervisor adalah: a) suasana kelas, b) cara memulai dan menutup pelajaran, c) kecocokan metode yang dipakai dengan materi pelajaran, d) penggunaan media pendidikan, e) cara mengaktifkan siswa, f) tugas berstruktur yang diberikan untuk menumbuhkan hasil pengirim, g) perkembangan para siswa dari segi afeksi, h) pemahan siswa dari segi kognisi, i) dan kemampuan siswa dalam segi psikomotor. Oleh karena itu waktu yang diperlukan oleh supervisor untuk mengobservasi dalam suatu pertemuan dibutuhkan satu sampai dengan tiga jam berturut-turut (Made Pidarta, 1999).

Hal terpenting lainnya mengapa teknik supervisi observasi kelas dipilih untuk mensupervisi guru adalah: a) yang diamati keseluruhan proses belajar mengajar dalam satu pertemuan, dan bukan sampel-sampel PBM yang diinginkan, b) untuk mengetahui aktivitas belajar mengajar secara keseluruhan, bukan untuk mengetahui aktivitas-aktivitas khusus, c) supervisor tidak boleh berpartisipasi dalam PBM, d) dilakukan pada waktu pelajaran berlangsung.

Adapun tahapan dari pelaksanaan supervisi observasi kelas adalah:

Tahap Perencanaan observasi

Agar observasi kelas mencapai hasil yang optimal, supervisor harus mampu merencanakan observasi kelas, mampu merumuskan prosedur-prosedur yang harus dilakukan, mampu menyusun format observasi mampu berunding dan bekerjasama dengan guru, dapat merekam informasi tentang unjuk kerja guru dengan menggunakan format instrumen observasi, mampu mengumpulkan hasil observasi kelas untuk keperluan melakukan langkah-langkah tindak lanjut (Depdikbud, 1986). Jenis atau ragam observasi juga sebaiknya direncanakan sejak awal apakah sistem dadakan, terjadual, atau permintaan, karena hal ini berpengaruh terhadap instrumen yang dipakai.



Tahap Pelaksanaan observasi

Langkah penting yang pertama ditempuh oleh supervisor adalah penciptaan pra kondisi observasi. Langkah ini ditujukan dengan penciptaan suasana kerja yang akrab antara supervisor dengan guru, pengenalan latar belakang guru, pengenalan latar belakang murid, atau hal-hal serupa lainnya. Langkah ini ditempuh guna menciptakan situasi yang kondusif bagi pelaksanaan observasi yang efektif dan efisien sehingga data-fakta yang terkumpul mencerminkan keadaan yang sebenarnya.

Dalam melaksanakan observasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan (Nurtain, 1989), yaitu: 1) kelengkapan catatan, 2) fokus, 3) mencatat komentar, 4) Pola perilaku mengajar tertentu, dan 5) membuat guru tidak merasa gelisah.



Tahap Tindak Lanjut

Langkah penting pada tahap ini adalah mengolah semua data dan fakta yang telah terkumpul melalui instrumen, sehingga siap disajikan untuk dianalisis dan atau didokumentasikan. Kegiatan pengolahan data-fakta sampai siap disajikan, dianalisis, dan akhirnya menjadi bahan penting pengambilan kebijakan dan atau didokumentasikan, merupakan langkah penting dan menjadi bagian integral dari keseluruhan kegiatan observasi.
Share:
Read More

Mengenal Tipe Hasil Belajar Sesuai Domain Kecerdasan

Menurut Nana Sudjana (1988; 49), tujuan pendidikan yang ingin dicapai dalam suatu pengajaran terdiri dari 3 macam yaitu: bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan yang harus nampak sebagai hasil belajar. Nana Sudjana (1988;50-54) juga mengemukakan unsur-unsur yang terdapat dalam ketiga aspek pengajaran adalah sebagai berikut :

Tipe hasil belajar bidang kognitif

Tipe ini terbagi menjadi 6 poin, yaitu tipe hasil belajar :
  1. Pengetahuan hafalan (Knowledge), yaitu pengetahuan yang sifatnya faktual. Merupakan jembatan untuk menguasai tipe hasil belajar lainnya.
  2. Pemahaman (konprehention), kemampuan menangkap makna atau arti dari suatu konsep
  3. Penerapan (aplikasi), yaitu kesanggupan menerapkan dan mengabtraksikan suatu konsep. Ide, rumus, hukum dalam situasi yang baru, misalnya memecahkan persoalan dengan menggunakan rumus tertentu.
  4. Analisis, yaitu kesanggupan memecahkan, menguasai suatu intergritas (kesatuan ynag utuh) menjadi unsur atau bagian yang mempunyai arti .
  5. Sintesis, yaitu kesanggupan menyatukan unsur atau bagian menjadi satu integritas.
  6. Evaluasi, yaitu kesanggupan memberikan keputusan tentang nilai sesuatu berdasarkan pendapat yang dimilikinya dan kriteria yang dipakainya.
Tipe hasil belajar afektif

Bidang afektif disini berkenaan dengan sikap. Bidang ini kurang diperhatikanoleh guru, tetapi lebih menekankan bidang kognitif. Hal ini didasarkan pada pendapat beberapa ahli yang mengatakan, bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya, bila seseorang telah menguasai bidang kognitif tingkat tinggi. Beberapa tingkatan bidang afektif sebagai tujuan dan tipe hasil belajar dari yang sederhana ke yang lebih komplek yaitu:
  1. Receiving atau attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan dari luar yang datang pada siswa, baik dalam bentuk masalah situasi dan gejala.
  2. Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan seseorang terhadap stimulus dari luar .
  3. Valuing atau penilaian, yakni berhubungan dengan nilai dan kepercayaan terhadap stimulus.
  4. Organisasi, yakni pengembangan nilai ke dalam system organisasi, termasuk menentukan hubungan satu nilai dengan nilai lainnya dan kemantapan prioritas yang dimilikinya .
  5. Karakteristik nilai atau internalisasi, yakni keterpaduan dari semua nilai yang dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya .
Tipe hasil belajar bidang psikomotor

Hasil belajar bidang psikomotorik tampak dalam bentuk ketrampilan, kemampuan bertindak individu. Ada 6 tingkatan ketrampilan yaitu :
  1. Gerakan refleks yaitu ketrampilan pada gerakan tidak sadar.
  2. Ketrampilan pada gerakan-gerakan dasar.
  3. Kemampuan pesreptual termasuk di dalamnya membedakan visual , adaptif, motorik, dan lain-lain.
  4. Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan keharmonisan dan ketetapan.
  5. Gerakan-gerakan skill, mulai dari dari ketrampilan sederhana sampai pada ketrampilan yang kompleks .
  6. Kemampuan yang berkenaan dan komunikasi non decorsive seperti gerakan ekspresif, interpretative.
Share:
Read More

Metode Umpan Balik


Oleh: Hafis Mu'addab


Kondisi saat ini kegiatan belajar mengajar lebih kurang 60 % waktu anak cenderung mendengarkan guru atau menonton anak mengerjakan tugas di papan tulis dan jarang ada yang melibatkan siswa supaya aktif pada proses pembelajaran, seperti tanya jawab, diskusi, pemecahan persoalan yang dilontarkan guru dan lain-lain.


Pengaturan tempat duduk agak diabaikan, anak lebih banyak menyalin tulisan dari papan tulis dan menjawab pertanyaan yang ditulis guru atau dari buku paket, belum ada pertanyaan yang mengungkapkan pikiran siswa dengan kata-kata sendiri.


Umpan balik digunakan untuk membantu setiap anak dalam mengatasi kesulitan, baik secara klasikal maupun secara individual, hal ini disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing peserta didik (S. Nasution, 1987 ).


Umpan balik adalah perilaku guru untuk membantu setiap anak yang mengalami kesulitan belajar secara invidu dengan cara menanggapi hasil kerja siswa, sehingga siswa lebih menguasai materi yang telah disampaikan oleh guru.


Umpan balik yang dilakukan oleh guru di kelas antara lain memberikan penjelasan terhadap kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan tugas atau soal yang diberikan oleh guru baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya memberi penjelasan secara tertulis, memantapkan jawaban yang kurang pasti, atau mengarahkan pendapat anak pada waktu anak sedang mengerjakan tugasnya.


Dengan metode umpan balik ini, siswa akan lebih termotivasi untuk bertanya, dengan demikian diharapkan guru mengetahui seberapa siswa dapat menangkap pelajaran yang diberikan. Siswa dapat memperoleh pengetahuan yang selanjutnya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan metode umpan balik ini siswa dapat mengetahui lebih banyak materi yang diajarkan dan dapat menimbulkan pertanyaan dalam diri siswa dengan tingkat pemahaman yang baik.


Dalam kegiatan proses belajar mengajar dengan metode ini dimungkinkan menemukan beberapa kendala antara lain :




  1. Siswa sering ramai karena banyaknya pertanyaan yang diajukan oleh siswa sehingga kelas terkesan tidak tertib.

  2. Kurang nya buku penunjang bagi siswa


Hal-hal yang positif untuk mengatasi permasalahan di atas adalah :




  1. Dengan ramainya siswa dalam bertanya maupun menjawab merupakan kemajuan siswa yang telah dapat menguasai topik pembicaraan, sehingga apa yang mereka pikirkan, mereka tuangkan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban yang diberikan oleh guru, merupakan keberhasilan siswa dalam memahami materi pelajaran yang dibahas. Namun keadaan seperti ini dapat mengganggu proses belajar mengajar kelas lain. Ini dapat diselesaikan dengan jalan memberikan kersempatan setiap siswas untuk membuat pertanyaan, dan mengajak satu persatu siswa untuk mernjawab.


  2. Kurangnya sumber belajar pada umumnya disebabkan oleh faktor dana, dengan ini guru memberikan beberapa catatan baru dan penting untuk siswa .



Share:
Read More

Metode Demonstrasi Realistik/Realistics Mathematics Eduation (RME)



Perkembangan matematika yang mengunakan metode demonstrasi atau realistic telah berkembang di beberapa negara maju, misalnya : di Belanda dengan nama Realistics Mathematics Eduation (RME), di Amerika berkembang dengan nama Contextual Teaching Education Learning in Mathematics (CTL) atau Contextual Mathematics Education (CMA) di Belanda RME telah berkembang sejak tahun 1970-an dan usaha pengembangan masih terus berlanjut dikarenakan menurut Suryanto dalam Wardhani (2003:3) ada alasan yang mendukung perkembangan tersebut yaitu :

(1) Pendidikan matematika mekanistik

Yaitu pendidikan matematika yang berfokus pada prosedur penyelesaian soal belum sepenuhnya dapat disingkirkan.

(2) RME berlandaskan pada paham matematika dinamis

Matematika merupakan kegiatan manusia sehingga teori pendidikan matematika bukan teori yang terhenti.

Ide RME dikemukakan oleh Hans Freenthal dari Belanda, gagasan ini muncul karena adanya perkembangan matematika modern di Amerika dan praktek pembelajaran matematika yang terlalu mekanistik di Belanda. Pembelajaran mekanistik yang dimaksud adalah guru memberi siswa suatu rumus, kemudian memberi contoh cara menggunakan rumus untuk menyelesaikan soal diikuti dengan memberi soal latihan sebanyak-banyaknya tentang penggunaan rumus tersebut. Untuk pengembangan dan penerapan guru memberi soal cerita yang dapat diselesaikan dengan rumus tadi. Pada era 1980 terjadi perubahan dasar teori belajar pada pembelajaran matematika yaitu dari behaviorisme kearah kontruktivisme realistik.

Sedangkan perkembangan pembalajaran matematika yang menggunakan metode demonstrasi di Indonesia, Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SD bekerja sama dengan Balai Pembinaan Guru mengadakan pembinaan guru untuk menambah wawasan guru tentang bagaimana pembelajaran suatu materi matematika yang menggunakan metode demonstrasi atau realistic



Karakteristik Pembelajaran dengan Metode Demonstrasi Realistik.

Karekteristik adalah ciri khas yang membedakan dengan yang lain. Ada beberapa ciri khas yang ada pembelajaran matematika yang menggunakan metode demonstrasi .

(a) Digunakannya masalah atau soal-soal konkret atau yang ada dalam pikiran siswa

Yang disebut dengan masalah realistik sebagai titik awal proses pembelajaran. Melalui masalah realistik sebagai titik awal proses pembelajaran. Diharapkan dapat membuat siswa berfikir aktif sejak awal dan siswa sendiri menemukan konsep yang akan dipelajari, peran guru hanya sebagai fasilitator.

Peran guru sebagai fasilitator antara lain adalah memberikan kegiatan yang meransgang keingintahuan siswa dan membantu sisswa dalam mengungkapkan gagasannya, menunjukkan pemeikiran siswa dapat sejalan atau tidak untuk menghadapi persoalan baru yang ditemui. Setelah siswa menyelesaikan masalah menurut cara berpikir siswa maka guru bersama siswa membahas konsep yang dipelajari.

(b) Siswa didorong untuk menemukan atau memunculkan suatu cara

Alat atau model matematis sehingga diperoleh pemahaman tentang hal yang dipelajari dari masalah atau soal realistik yang dihadapi.

(c) Peran aktif siswa dalam proses pembelajaran.

Selain diusahakan siswa sendiri yang menemukan cara atau model dan pemahaman konsep juga dapat dengan berdiskusi dengan temannya atau dengan bantuan guru, sehingga pemebrian informasi yang suah jadi sebaiknya dihindari. Sehubungan dengan hal tersebut maka interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa menjadi penting, sebaiknya belajar berkelompok karena biasanya siswa akan tidak sungkan bertanya pada temannya yang sebaya.

Ciri berikutnya adalah siswa diberi kesempatan untuk melakukan refleksi yaitu berpikir tentang hal-hal yang baru dipelajari. Siswa dapat mengendapkan hal-hal yang baru dipelajarinya sehingga merupakan pengetahuan baru atau merupakan pengayaan penegtahuan ataupun revisi terhadap pengetahuan yang sudah dimiliki siswa. Cara melakukan refleksi antara siswa menjawab pertanyaan dari guru tentang hal yang baru saja dipelajari, menyampaikan gagasan, membuat kesimpulan.

Dari beberapa karaktersitik atau ciri khas uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik pembelajaran matematika yang menggunakan metode demonstrasi atau realistik adalah :

(a) Disampaikan masalah realistis untuk diselesaikan oleh siswa

(b) Digunakan model realistis sebagai jembatan antara dunia real dan abstrak.

(c) Adanya interaksi antara guru dengan siswa (demokratis)

(d) Proses pembelajaran berlangsung seimbang antara dunia riil dan abstrak.

Pembelajaran tidak hanya menekankan pada langkah-langkah penyelesaian soal tetapi adanya penekanan pada pemahaman konsep dan pemecahan masalah. Berdasarkan karateristik tersebut dalam pembelajaran matematika kontektual adalah guru memberikan masalah yang nyata atau dapat dibayangkan oleh siswa, menjelaskan masalah kontekstual, siswa menyelesaikan masalah kontekstual secara individu ataupun kelompok dengan cara mereka sendiri. Guru memotivasi siswa dengan memberikan pertanyaan, petunjuk atau saran. Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban secara berkelompok. Dari hasil diskusi guru mengarahkan untuk menarik kesimpulan suatu konsep.

Aspek Pembelajaran Matematika Menggunakan Metode Demonstrasi Realistik.

Rancangan pembelajaran yang kontekstual langkahnya harus mencerminkan karakteristik dari pembelajaran realistik. Menurut Samsul Hadi dalam Penduan Pelaksanaan PKG SJ (2002) menyatakan bahwa pembelajara matematika yang menggunakan metode Demonstrasi atau realistik meliputi aspek-aspek sebagai berikut :

1. Pendahuluan

- melalui pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) riil bagi siswa

- sesuai pengalaman dan tingkat pengetahuannya

- pelibatan dalam pembelajaran secara bermakna.

- diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut.

2. Pengembangan

- siswa mengembangkan/menciptakan model simbolik secara informal

- model disesuaikan dengan persoalan/permasalahan yang diajukan.

- pengajaran berlangsung secara interaktif

- siswa diberi kesempatan menjelaskan

- memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikan

- memahami jawaban temannya

- menyatakan setuju terhadap jawaban temannya

- menyatakan tidak setuju, mencari alternatif lain.

3. Penerapan

- melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran

4. Penutup

- merangkum hal-hal yang merupakan inti dari materi bahasan.

- guru membimbing dan memberi kesempatan kepada siswa

Kegiatan pembelajaran yang menggunakan pembelajaran matematika menggunakan metode demonstrasi , diharapkan dalam perilaku siswa memiliki ciri-ciri :

- siswa aktif dalam diskusi (mengajukan pertanyaan, mencari bahan pelajaran

- mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar.

- bersikap demokratis

- berani menyampaikan gagasan

- mempertahankan gagasan

- menerima gagasan orang lain.

Metode demonstrasi atau realistik adalah pembelajaran yang bertolak dari masalah realitas, siswa aktif, guru berperan sebagai fasilitator, guru membantu siswa membandingkan ide-ide itu dan membimbing mereka untuk mengambil keputusan tentang ide mana yang baik untuk mereka. Dalam pembelajaran perlu ditekankan pada keterkaitan antara kehidupan sehari-hari anak atau pengalaman anak dengan konsep-konsep matematika. Bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman sehari-hari maka anak-anak cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan konsep matematika. Perlu juga anak harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide atau konsep matematika yang berasal dari pengalaman pribadi siswa dalam kehidupan sehari-hari atau dari lingkungannya.
Share:
Read More

Metode Kooperatif Tipe Think Pair Share


Think   Pair   Share memperluas sturktur keda kelompok yang sederhana. Think   Pair   Share adalah suatu cara untuk mengganti suatu suasana pola disksusi kelas kedalarn diskusi kelompok, dengan aswnsis bahwa sernua diskusi kelompok memerlukan pengaturan untuk mengendalikan secara keseluruhan. Prosedur ini digunakan untuk untuk membed kesempatan kepada siswa dan saling membantu dan merespon. Think   Pair   Share ini merupakana bentuk paling sederhana dari ke~a kelompok melibatkan siswa dalam pasangan   pasangan, dan memberikan mereka. pada satu tugas, mereka bersama   sama dalarn pasangan untuk berfikir tentang isi, menggabungkan pikiran mereka dengan temannya dan menggabungkan jawaban mereka dengan seluruh kelomok (Kauchak; 1998).


Langkah   langkah pada "Think   Pair   Share" adalah sebagai berikut:


Langkah I : Thinking (berpikir )


Guru mengajukan pertanyaan atau soal   soal yang berkaiatan dengan pelajaran dan meminta siswa untuk mimikirkan pertanyaan 1 soal beberapa saat.


Langkah II : Pairing (Berpasangan)


Guru meminta siswa untuk berpasangan dan berdiskusi apa yang telah mercka pikirkan pada tahap pertama. Interaksi tahap ini diharuskan dapat berbagi jawaban jika telah diajukan untuk pertanyaan, atau berbagai ide jika suatu persoalan khusus telah diidentifikasi


Langkah III: Sharing (Berbagi)


Guru meminta siswa 1 pasangan untuk berbagi dengan seluruhkelompok dalam kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. Hal ini dilakukan secara bergiliran pasangan demi pasangaan sampai sebagian atau seluruh pasangan mendapat giliran untuk melaporakan hasil kedanya


(Rahmadianti, 2002)



Share:
Read More

Metode Diskusi


Oleh: Hafis Mu'addab


Metode diskusi itu suatu cara atau penyajiaan materi melalui penyajian masalah yang pernecahan sangat terbuka (Anonimous, 1996). Jadi metode ini adalah sebagai salah satu metode pembelajaran yang dilakuakan seorang guru dikelas. Dalam diskusi terjadi interaksi antara dua individu atau lebih yang telibat saling tukar informasi. Suatu diskusi ini juga memiliki beberapa kelemahaan antara lain, (1) tidak dapat dipaksa dalarn kelompok besar, (2) mungkin dikuasai orang   orang yang suka berbicara (Rustiyah, 1998). Untuk membuat diskusi bisa hidup dan tidak dikuasai oleh siswa yang senang berbicaradalam diskusi dapat dilakukan secara kelompok (Anonimous, 1996). Untuk keperluan pernbentukan kelompk ini, merujuk pada pendapat slavin (1996), menjelaskan pembelajaran kooperatif suatu ragam metode menge~akan dimana siswa bekeda pada kelompok   kelompok kedl untuk membantu belajar satu sarna lain tentang materi akademik (akademik content). Setiap siswa bekeja bersama sebagai suatau kelonipok untuk memecahkan masalah, menyelesaikan tugas, atau menyempaikan tujuan bersama. Setiap siswa berusaha memberikan konstribusi pada kelompoknya karena mereka memandang imbalan yang diterima kelompknya sama seperti pengharpan pada dirinya. Agar dalam diskusi bisa efektif, maka, dalam kelompok hanya beranggotakan 4 siswa saja, mereka duduk berhadapaan berpasangan. Disamping itu agara diskusi bisa berajalan sesuai rencana, maka perlu harus diperhatikan prinsip   prisip diskusi yaitu (1) harus ada pimpinan dan anggota, (2) topik jelas dan menarik, (3) peserta diskusi dapat menerima dengan memberi, (4) maka suasan diskusi tanpa tekanan (Anonimous, 1996).


Urutan diskusi perlu diberikan pada siswa agar tidak tumpang tindih dan bisa bedalan dengan tertib. Pada pelaksanaan diskusi pemimpin merupakan cermin, pengatur arus diskusi dan megusaia suasana dsikusi. Anggota menggunakan hak dan kewajiban untuk membahas, bertanya, memberi saran dan pemikiran, dalam penutup diskusi pernimpin menyimpulkan diskusi kelompoknya untuk dipresentasikan. Dalam diskusi ini memerlukaan 2 tahap, yaitu (1) tahap pertama diskusi kelompok yang menghasilkan kesepakatan tiga kelompok dan (2) tahap kedua menghasilkan kesepakatan keseluruhaan kelompok dalam kelas

Share:
Read More

Metode Pengajuan Soal (Problem Posing)


Oleh: Hafis Mu'addab


Siswa dalam bekerja dapat dikatakan berhasil jika daya serap terhadap materi yang diajarkan mencapai hasil tinggi. Dalam hal tersebut bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Salah satu faktor itu adalah model pembelajaran. Model Pembelajaran yang dipraktekkan dalam pembelajaran akan menentukan berhasil tidaknya siswa menyerap materi. Dalam memilih suatu model pembelajaran perlu memperhatikan bagaimana siswa mengorganisasikan pengetahuannya itu. Apakah siswa aktif atau pasif, semakin aktif kegiatan siswa, akan semakin efektif pembelajarannya.


Salah satu model pernbelajaran itu adalah Problem Posing. Problem Posing adalah pembelajaran dengan cara pernbentukan soal atau pembentukan masalah yang mencakup dua kegiatan, yaitu (1) Pembentukan soal baru atau pembentukan soal dari situasi atau pengalaman siswa dan (2) Pembentukan soal dari soal lain yang sudah ada (Anonimous, 2001). Agar bisa tedadi diskusi yang bvaik guru perlu memberfl beberapa contoh, dengan cara sebagai berikut : (1) Membentuk soal dari soal yang sudah ada antau memperluas soal yang sudah ada, (2) Memberikan soal terbuka, dan (3) Membentuk soal yang mirip dengan tingkat kesulitan yang berbeda.


Pengajuan soal (Problem Posing) merupakan salah satu model pemberian tugas yang mempunyai manfaat sebagai berikut : (1) Salah satu cara berkomunikasi matematika siswa di kelas, (2) Mengarahkan pembentukan sikap kritis dan kreatif siswa, (3) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif secara mental, fisik dan sosial (Trapsilasiwi, 2001).

Share:
Read More

Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning)


Oleh: Hafis Mu'addab


Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dengan menggunakan kelompok kecil sedemikian sehingga siswa bekerja bersama untuk memaksimalkan pembelajaran mereka dan antara mereka (Johnson & Johnson,1989). Selanjumya ahli lain menyebutkan bahwa pembelajaran kooperatif itu merujuk pada suatu macam metode mengajar, dimana siswa bekeda pada kelompok   kelompok kecil untuk membantu belajar siswa satu sama lain tentang materi akademik. Setiap siswa bekeda bersama sebagai suatu kelompok untuk memecahkan masalah, menyelesaikan tugas, atau menyempumakari tujuan bersama. Setiap siswa berusaha memberikan sumbangan pada upaya kelompoknya, karena mereka memandang imbalan yang diterima kelompoknya sama seperti penghargam pada diri mercka sendiri Pavin, 1995).


Mengacu pada difinisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif itu adalah lcda kelompok yang terorganisir dan terkelola, dimana siswa bekeda secara kooperatif dalam kelompok kecil untuk mencapai tujuan pembelajaran akademik, afektif dan sosial). Ada kata kunci dari pendapat dua ahli tersebut yaitu "Bekerja Bersama”. Keadan ini menempatkan siswa dalam suatu kelompok, selanjutnya mereka bekerja bersama, bukan berarti secara otomatis bersifat kooperatif Walaupun mereka sudah dikelompokkan, diberi tugas, lalu bekeja sama, hal ini bisa menjadi model kornpetensi.


Untuk bisa menciptakan pembelajaran sedemikian ini sehingga siswa bekerja sama secara kooperatif antar mereka, perlu memahami dan memperhatikan kornponen   kornponen penting yang menyebabkan terciotanya keda keooperatif, kornponen   kornponen essensial tersebut adalah (1) Saling ketergantungan positif, (2) Tanggung jawab indiovidual, (3) Tatap muka, (4) Kornunikasi antar anggota, (5) Evaluasi proses kelompok. (Johnson & Johnson, 1989).


1. Saling Ketergantungan Positif


Keberhasilan kelompok sangat tergantung kepada usaha setiap anggotanya Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektif guru perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka.


2. Tanggung Jawab Individu dan Kelompok


Unsur im merupakan akibat langsung dan unsur pertama Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Kunci keberhasilan kerja kelompok ini adalah kesiapan guru dalam penyusunan tugas.


3. Tatap Muka


Setiap kelompok harus diberi kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi im dapat memberikan pada pembelajaran untuk bersinergi yang saling menguntungkan. Hasil pernikiran kelompok akan lebih sempuma dari pada pernildran perorangan.


4. Kornunikasi Antar Anggota


Unsur ini menghendaki agar para anggota pernblajaran dibekali dengan berbagai ketrampilan berkornunikasi. Sebelum menugaskan siswa dalam kelompok, guru perlu mengajarkan cara   cara berkornunikasi. Tidak setiap siswa itu memiliki kahlian mendengarkan dan berbicara. Keberhasilan suatu kelompok juga tergantung pada keahlian anggota untuk mendengarkan serta kemampuan untuk mengutarakan pendapat meraka.


5. Evaluasi Proses Kelompok


Guru perlu membuat jadwal waktu khusus untuk mengevaluasi proses kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama lebih efektif lagi Waktu evaluasi ini bisa dilaksanakan setelah beberapa saat (selang waktu) setelah beberapa kali pernbelajar terlibat dalam pernbelajaran. Namun yang lebih efektif dilakukan setelah pembelajar selesai melakukan proses pernbelajaran.


Ada 6 (enam) tahapan utarna dalam penerapan pernbelaJaran Kooperatif. PetaJaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti oleh penyajian informasi, seringkali dengan bahan bacaan dari pada verbal.



























































FASE



TINDAKAN GURU



Fase 1





Menyampaikan tujuan pembelajaran dan memofivasi siswa



Guru menyarnpaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan memofivasi


siswa



Fase 2





Memberikan informasi



Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan



Fase 3





mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok - kelompok beledar



Guru menjelaskan pada siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien



Fase 4





Membimbing kelompok bekerja dan belajar



Guru membimbing kelompok - kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas mereka



Fase 5





Evaluasi



Guru mengeluarkan hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing - masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.



Fase 6





Memberi Penghargaan



Guru mencari cara - cara untuk menghargai, baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok



(Ibrahim, 2001)



Share:
Read More

Bagaimana Mengetahui Pemahaman Siswa

Pemahaman (understanding) pada pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua. Menurut Skemp (1976) dalam Wahyudi (2001). Pemahaman yang pertama disebut pemahaman instruksional (instructional understanding). Pada tingkatan ini dapat dikatakan bahwa siswa baru berada di tahap tahu atau hafal tetapi dia belum atau tidak tahu mengapa hal itu bisa dan dapat terjadi. Lebih lanjut, siswa pada tahapan ini juga belum atau tidak bisa menerapkan hal tersebut pada keadaan baru yang berkaitan. Selanjutnya, pemahaman yang kedua disebut pemahaman relasional (relational understanding). Pada tahapan tingkatan ini, menurut Skemp, siswa tidak hanya sekedar tahu dan hafal tentang suatu hal, tetapi dia juga tahu bagaimana dan mengapa hal itu dapat terjadi. Lebih lanjut, dia dapat menggunakannya untuk menyelesaikan masalah-masalah yang terkait pada situasi lain.

Menurut Byers dan Herscovics (1977) dalam Wahyudi (2001) menganalisis ide Skemp itu dan mengembangkannya lebih jauh. yaitu, siswa terlebih dahulu berada pada tingkatan pemahaman antara, yaitu tingkatan pemahaman intuitif (intuitive understanding) dan tingkatan pemahaman formal (formal understanding). Pertama, sebelum sampai pada tingkatan pemahaman instruksional, siswa terlebih dahulu berada pada tingkatan pemahaman intuitif. Mereka mendefinisikannya sebagai berikut. "Intuitive understanding is the ability to solve a problem without prior analysis of the problem." Pada tahap tingkatan ini siswa sering menebak jawaban berdasarkan pengalaman-pengalaman keseharian dan tanpa melakukan analisis terlebih dahulu. Akibatnya, meskipun siswa dapat menjawab suatu pertanyaan dengan benar, tetapi dia tidak dapat menjelaskan kenapa (why). Kedua, sebelum siswa sampai pada tingkatan pemahaman relasional, biasanya mereka akan melewati tingkatan pemahaman antara yang disebut dengan pemahaman formal.


Selanjutnya Buxton (1978) dalam Wahyudi (2001) juga menanggapi pendapat Skemp tersebut dan mengembangkan dua pemahaman dari Skemp menjadi empat pemahaman. Pemahaman pertama disebut pemahaman meniru (rote learning). Pada tingkatan ini siswa dapat mengerjakan suatu soal tetapi tidak tahu mengapa. Pemahaman kedua disebut pemahaman observasi (observational understanding). Pada tingkatan ini siswa menjadi lebih mengerti setelah melihat adanya suatu pola (pattern) atau kecenderungan. Pemahaman ketiga yang disebutnya sebagai tingkatan pemahaman pencerahan (insightful understanding). Pemahaman keempat adalah tingkatan pemahaman relasional, pada tingkatan pemahaman ini, siswa tidak hanya tahu tentang penyelesaian suatu masalah, melainkan dia juga dapat menerapkannya pada situasi lain, baik yang relevan maupun yang lebih kompleks.
Share:
Read More

Apa Bedanya Hasil dengan Prestasi Belajar?

Secara formal belajar dapat didefinisikan sebagai tingkah laku yang dikaitkan dengan kegiatan sekolah. Belajar merupakan fisik atau badaniah yang hasilnya berupa perubahan-perubahan dalam fisik itu, misalnya, dapat berlari, mengendarai, berjalan, dan sebagainya. Belajar selain merupakan aktivitas fisik juga merupakan kegiatan rohani atau psikhis.

Emerse R. Hilgard dalam bukunya yang dikutip oleh Abu Hanafi “Theories of Learning” mendefinisikan bahwa seorang yang melaksanakan kegiatan belajar maka kelakuannya akan berubah dari sebelumnya. Jadi belajar tidak hanya mengenai bidang intelektual, akan tetapi mengenai seluruh pribadi anak. Perubahan kelakuan karena mabuk bukanlah hasil belajar (Abu Ahmadi, 1986:15). Pendapat lain mengatakan bahwa belajar merupakan bentuk pertumbuhan dan perkembangan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan (Oemar Hamalik, 1980). Seorang dikatakan belajar apabila diasumsikan dalam diri orang tersebut mengalami suatu proses kegiatan belajar yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku (Herma Hudoyo, 1990:13). Dijelaskan pula oleh Sunaryo (1989:4) bahwa belajar adalah suatu kegiatan dimana seseorang menghasilkan atau membuat suatu perubahan tingkah laku yang ada pada dirinya dalam pengetahuan, sikap dan ketrampilan, sudah barang tentu tingkah laku tersebut adalah tingkah laku yang positif artinya mencari kesempurnaan hidup. Belajar itu sendiri terdiri dari berbagai tipe yaitu : (1) menghafal dalam pelajaran dengan sedikit tanpa memahami artinya, misalnya rumus-rumus matematika, (2) memperoleh pengertian-pengertian yang sederhana, seperti kenyataan empat ditambah lima semuanya berjumlah sembilan, (3) menemukan dan memahami hubungan yang menghendaki respon-respon logis dan benar-benar psikologis.

Setelah memahami beberapa konsep yang dikemukakan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan kegiatan psikis dan badaniah yang akan mengubah tingkah laku seseorang yang didapat dari hasil pengalaman dan latihan yang bersifat positif.

Perestasi belajar pada dasarnya adalah hasil yang dicapai dalam usaha penguasaan materi dan ilmu pengetahuan yang merupakan suatu kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya. Melalui belajar dapat diperoleh hasil yang lebih baik.

Belajar berarti mengubah tingkah laku. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sudirman (1988:23) bahwa belajar adalah mengubah tingkah laku. Belajar akan membantu terjadinya suatu perubahan pada diri individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya dikaitkan dengan perubahan ilmu pengetahuan, melainkan juga berbentuk percakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak dan penyesuaian diri. Belajar menyangkut segala aspek organisme dan tingkah laku pribadi seseorang, prestasi belajar pada hakekatnya merupakan hasil dari belajar sebagai rangkaian jiwa raga. Psikofisik untuk menuju perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa, dan karsa, ranah kognitif, efektfif dan prestasi motorik.

Prestasi belajar sebagai suatu hasil belajar akan menjangkau tiga ranah atau matra seperti yang dikemukakan oleh Bloom, yaitu matra kognitif, efektif, dan psikomotorik dimana ranah atau matra tersebut dipenuhi menjadi beberapa jangkauan kamampuan. Jangkauan kemampuan tersebut adalah sebagai berikut :

Termasuk kedalam ranah kognitif adalah : (1) pengetahuan dan ingatan (kwoledge), (2) Pemahaman, menjelaskan , meringkas, contoh (comprehension), (3) menguraikan, menentukan hubungan (analysis), (4) mengorganisasikan, merencanakan membentuk bangunan baru (syntesis), (5) menilai (evaluation), dan (6) penerapan (aplication).

Termasuk kedalam ranah afektif (affective) adalah : (1) sikap menerima (receiving), (2) memberikan respons (responding), (3) menentukan harga (valuing), (4) mengorganisasi (organization), dan (5) memberikan ciri-ciri (characterization).

Ranah psikomotor (psychomotor domain) meliputi : (1) tingkatan mengenal (initiatory levels), (2) tingkatan pra ajeg (preroutine level), dan (3) tingkatan melakukan secara ajeg (routine level) (Sahardiman,1988:25-26).

Dengan demikian prestasi belajar dapat dikatakan sempurna apabila target jangkauan mengenai pencapaian tingkat sebagaimana yang telah disebutkan sesuai dengan tujuan belajar yang diharapkan siswa.

Prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil maksimum yang telah dicapai oleh siswa setelah mengalami proses belajar mengajar dalam mempelajari materi pelajaran tertentu. Hasil belajar tidak mutlak berupa nilai saja, akan tetapi dapat pula berupa perubahan atau peningkatan sikap, kebiasaan, pengetahuan, keuletan, ketabahan, penalaran, kedisiplinan, ketrampilan dan sebagainya yang menuju pada perubahan positif. Prestasi belajar menunjukkan kemampuan siswa yang sebenarnya yang telah mengalami proses pengalihan ilmu pengetahuan dari seseorang yang dapat dikatakan dewasa atau memiliki pengetahuan kurang. Walaupun sebenarnya prestasi ini bersifat sesaat saja, tetapi sudah dapat dikatakan bahwa siswa tersebut benar-benar memiliki ilmu pada materi atau bahasan tertentu. Jadi, dengan adanya prestasi belajar, orang dapat mengetahui seberapa jauh siswa dapat menangkap, memahami, memiliki meteri pelajaran tertentu. Atas dasar itu, pendidik dapat menentukan strategi belajar mengajar yang lebih baik. Demikian pula dengan adanya prestasi belajar, pihak sekolah dan pihak lain memerlukan. Dengan demikian dapat memberikan motivasi seperlunya.
Share:
Read More

Metode Kooperatif Tipe Jigsaw


Oleh: Hafis Mu'addab


Teknik Jigsaw adalah teknik pembelajaran yang berupa permainan antar kelompok, serupa dengan pertukaran kelompok dengan kelompok, di mana setiap siswa ditugasi mengajarkan pengetahuan baru yang diperoleh dari hasil diskusi kelompok untuk diajarkan kepada siswa lain pada kelompok lain. Ini merupakaan alternatif menarik bila ada materi belajar yang bisa disegmentasikan atau dibagi-bagi dan bila bagian-bagiannya harus diajarkan secara berurutan. Tiap siswa mempelajari sesuatu yang berbeda dengan lainnya yang bila digabungkan dengan materi yang dipelajari oleh siswa lain, membentuk kumpulan pengetahuan atau keterampilan yang padu ( Melvin L. Silberman; 1996 : 192).


Adapun prosedur dari teknik Jigsaw ini adalah :


  1. Guru memilih materi belajar yang bisa dipecah menjadi beberapa bagian. Sebuah bagian bisa sependek kalimat atau sepanjang beberapa paragraf, jika materinya panjang, perintahkan siswa untuk membaca tugas mereka sebelum pelajaran. Contihnya antara lain : (1) Modul berisi beberapa point penting, (2) bagian-bagian eksperimen ilmu pengetahuan, (3) sebuah naskah yang memiliki bagian atau sub judul yang berbeda, (4) Sebuah daftar definisi, (5) Sebuah artikel setebal majalah atau jenis materi bacaan pendek yang lain.




  2. Menghitung jumlah bagian yang hendak dipelajari dan jumlah siswa. Bagikan secara adil berbagai tugas kepada berbagai kelompok siswa. Sebuah contoh, misanyal jumlah siswa ada 24, sedangkan bagian yang hendak dipelajari ada 4 bagian, maka jumlah kelompok ada 4 kelompok, dan setiap kelompok beranggotakan 6 anak (disebut kelompok 6), yang masing-masing kelompok mendapat tugas yang berbeda dengan cara membaca, mendiskusikan, dan menguasai materi yang mereka terima.




  3. Setelah waktu belajar selesai, bentuklah kelompok belajar sistem Jigsaw. Kelompok belajar tersebut terdiri dari perwakilan tiap”kelompok belajar “di kelas. Dalam contoh yang baru saja diberikan, anggota dari tiap kelompok 6, dapat berhitung mulai dari 1, 2, 3, 4 , 5, dan 6, kemudian bentuklah sistem” kelompok belajar Jigsaw “ dengan jumlah yang sama. Hasilnya adalah 6 kelompok yang masing-masing beranggotakan 4 anak ( kelompok empat). Dalam masing-masing kelompok 4 ada 1 siswa yang telah mempelajari bagian 1, bagian 2, bagian 3, bagian 4. berikut ini menunjukkan urutannya :




Kelompok Belajar


Kelompok A : A1, A2, A3, A4, A5, A6


Kelompok B : B1, B2, B3, B4, B5, B6


Kelompok C : C1, C2, C3, C4, C5, C6


Kelompok D : D1, D2, D3, D4, D5, D6


Kelompok Belajar Jigsaw


Kelompok I, anggota terdiri dari A1, B1, C1, D1


Kelompok II, anggota terdiri dari A2, B2, C2, D2


Kelompok III, anggota terdiri dari A3, B3, C3, D3


Kelompok IV, anggota terdiri dari A4, B4, C4, D4


Kelompok V, anggota terdiri dari A5, B5, C5, D5


Kelompok VI, anggota terdiri dari A6, B6, C6, D6





  1. Perintahkan anggota kelompok Jigsaw untuk mengajarkan satu sama lain apa yang telah mereka pelajari.




  2. Perintahkan siswa untuk kembali ke posisi semula dalam rangka membahas pertanyaan yang masih tersisa guna memastikan pemahaman yang akurat.




Sebagimana dikemukakan oleh Melvin L. Silberman dalam bukunya Active Learning : 1001 , Strategies to Teach Any Subject (1996), yang diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, adalah sebagai berikut :




  1. Ajukan serangkaian pertanyaan yang menjajaki pemikiran siswa dan pengetahuan siswa yang mereka miliki. Gunakan pertanyaan yang memiliki beberapa kemungkinan jawaban, misalnya “bagaimana kamu menjelaskan seberapa kecerdasan seseorang ?”

  2. Berikan waktu yang cukup kepada siswa dalam berpasangan atau berkelompok untuk membahas jawaban mereka.

  3. Perintahkan siswa untuk kembali ke tempat masing-masing dan catatlah pendapat mereka. Jika memungkinkan adakan seleksi jawaban mereka menjadi beberapa katagori terpisah yang terkait dengan katagori atau konsep yang berbeda, misalnya “kemampuan membuat mesin“ pada kecerdasan kinestetika tubuh.

  4. Sajikan poin-poin pembelajaran utama yang ingin anda ajarkan. Perintahkan siswa untuk menjelaskan kesesuaian jawaban mereka dengan poin-poin ini. Catatlah gagasan yang memberi informasi tambahan bagi point pembelajaran anda.


Share:
Read More

Metode Menceritakan Kembali


Pengertian membaca kembali atau review adalah mengungkapkan kembali hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya, dan merupakan bentuk kegiatan belajar yang lebih banyak melibatkan aspek kognitif siswa (Yoapkin dan Simpson, dalam Munandir,1987:37).


Review disebut juga sebagai suatu keterampilan untuk menghimpun, menggunakan dan mengingat informasi yang terdiri atas perhatian organisasi, peninjauan ulang dan ingatan atau penyimpanan.


Menceritakan kembali merupakan salah satu teknik untuk memudahkan siswa dalam belajarnya, maka penelitian ini terkait dengan keseluruhan komponen sistem instruksional.


Manfaat menceritakan kembali diduga dapat meningkatkan kemampuan membaca. Apabila secara empirik dapat dibuktikan dalam penelitian ini, maka menceritakan kembali merupakan salah satu cara memecahkan masalah pengajaran bahasa dan sastra Indonesia khususnya kemampuan membaca yang dapat memberi kemudahan belajar bagi siswa.


Menceritakan kembali merupakan teknik dan keterampilan mengajar dan belajar yang tergolong konvensional dan telah lama disadari manfaatnya, namun jarang dipakai di kelas. Review digunakan untuk tujuan pengajaran yang lebih produtif dan memberi hasil pengajaran yang lebih baik. Artinya, menceritakan kembali pengajaran yang digunakan itu harus sistematis dan dipolakan sebagai suatu strategi mengajar dan belajar, kemudian diikuti dengan langkah evaluasi hasil pengajaran.


Menceritakan kembali digunakan untuk tujuan pengajaran yang lebih produktif dan memberi hasil pengajaran yang lebih maksimal, baik untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian, mengajarkan fakta dan pengajaran agar isi pengajaran dikuasai secara tuntas, dan menanamkan suatu kebiasaan belajar yang baik dan berharga,


Teknik menceritakan kembali antara lain :




  1. Menghilangkan informasi yang kurang penting

  2. Menghilangkan informasi yang berlebihan

  3. Mengkombinasikan informasi

  4. Menyeleksi topik kalimat

  5. Menciptakan topik kalimat


  6. Membuat ikhtisar


Menceritakan kembali dalam bentuk rangkuman dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, didasari atas karakteristik bidang studi dan karakteristik siswa. Dalam karakteristik bidang studi diketahui bahwa pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas  mencakup isi yang konseptual di samping itu materi yang relatif padat atau luas. Sedangkan karakteristik siswa ditinjau dari segi usia anak memiliki kemampua rata-rata berfikir konkret dan formal. Perkembangan berpikir siswa  berbeda dengan cara berpikir pada orang dewasa, cara mereka mengamati dunia sekitarnya dan mengorganisasikan pengetahuan yang akan diperoleh juga akan berbeda.


Bertitik tolak dari pembahasan di atas, maka di dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, pengorganisasian isi pembelajaran merupakan faktor penting dalam perolehan belajar. Dalam kajian ini pengorganisasian isi pembelajaran ditentukan dengan pemberian rangkuman. Adapun pemberian perlakuan yang digunakan adalah menceritakan kembali dalam bentuk rangkuman setiap akhir penyampaian materi pelajaran. Diharapkan dari bentuk perlakuan tersebut dapat meningkatkan pemahaman siswa yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar secara optimal.

Share:
Read More

Ragama Minat Baca Siswa

Dalam beberapa hal, membaca suatu bacaan atau buku atas kehendak sendiri adalah menyangkut minat baca. Minat baca itupun ada sangkut pautnya dengan minat belajar. Minat belajar inilah yang menjadi tujuan kita dan sekaligus memupuk minat baca dikalangan anak-anak sekolah. Minat baca dan minat belajar secara bersama diikutkan dalam usaha untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih banyak dari apa yang mereka peroleh di kelas (Sukardi, 1988:105).

Sesuatu yang berkaitan erat dengan minat baca adalah kegemaran membaca, tidak tumbuh dengan sendirinya, peranan sekolah dalam menumbuhkan kegemaran membaca sangat penting (Burhan, 1971:130). Dengan demikian para guru hendaknya dapat menyadarkan dan menumbuhkan minat baca.

Minat baca ini lebih berharga daripada kebiasaan membaca, sebab bila hanya kebiasaan, tanpa adanya minat maka membaca itu akan sia-sia. Hal ini terbukti banyak orang yang tertarik untuk membaca buku walaupun pada mulanya tidak mempunyai kebiaan membaca.

Dengan membaca jelas sekali kita lihat perbedaan antara membaca yang penuh dengan minat atau membaca karena keharusan atau kewajiban. Perbedaan yang nampak adalah pada umumnya kalau penuh minat, dikerjakan sungguh-sungguh dan penuh harapan, sedang membaca atas kewajiban seolah-olah ada unsur paksaan. Atas dasar inilah perlu kiranya minat baca itu ditumbuhkan dan terus dipupuk dikalangan anak kita (Sukardi, 1986 : 106).

Kurangnya minat baca disebabkan oleh banyak hal, salah satu sebab yang utama adalah karena anak tidak mempunyai teman yang mempunyai minat yang sama. Disamping itu juga dipengaruhi oleh keadaan diri orang itu sendiri. Karena itu minat baca perlu dikembangkan sejak dini.

Keterampilan berbahasa terdiri dari empat aspek, yaitu: menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Manfaat serta fungsi keempat aspek tersebut jelas sangat berbeda, namun tidak dapat dipisah-pisahkan karena pada akhirnya tujuan keempat aspek tersebut hanya menuju pada satu hal yaitu ketrampilan berbahasa. Jadi seseorang dikatakan terampil berbahasa apabila terampil membaca, terampil menyimak, terampil berbicara dan terampil menulis.

Membaca merupakan istilah yang mengandung pengerian yang luas yang tidak selalu sama bagi setiap orang. Ada sebagian orang yang menyatakan bahwa membaca adalah melisankan kalimat yang tertulis. Membaca merupakan suatu proses mengolah secara kritis, kreatif yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh dan mendalam tentang isi suatu bacaan. Agar dapat mendalami suatu bacaan seorang pembaca perlu mengunakan seluruh kemampuannya dalam rangka mencerna isi bacaan.

Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk mempeoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penukis melalui kata atau bahasa tulis (H.G. Tarijan 1085:7).

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa membaca merupakan suatu kegiatan yang merupakan bagian dari proses untuk memecah kode bahasa yang berupa lambang-lambang verbal yang mengikuti suatu konvensi tertentu yang membetuk bacaan.

Macam-macam membaca biasanya didasarkan pada tujuan pembaca, karena setiap aspek kehidupan mempunyai aspek tujuan sendiri. Maka macam-macam membaca sangat beragam sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai pembaca dalam setiap aspek kehidupan membaca. Secara umum garis besar membaca ada dua macam yaitu:
  1. membaca nyaring/bersuara, ialah kegiatan membaca yang merupakan alat untuk menangkap serta memahami informasi pikiran dan perasaan. Membaca nyaring ialah suatu kegiatan untuk membagi informasi kepada orang lain. Kegiatan ini dilakukan dengan menyuarakan bahan bacaan dengan kecepatan dan lafalan, seperti orang berbicara. kegiatan memcara nyaring tidak sama dengan membaca bersuara pada pembaca permulaan.

  2. Membaca dalam hati atau pemahaman, ialah membaca tanpa bersuara yang meupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh informasi, khususnya untuk diri pembaca. Kegiatan yang dilakukan adalah membaca tanpa suara dan memahami isi bacaan yang dimagsud untuk memperoleh informasi sesuai dengan tujuan masing-masing.
Membaca dalam hati terdiri dari dua macam yaitu:
  1. Membaca intensif, ialah jenis membaca yang memerlukan bantuan guru atau program pelajaran yang harus disajikan dalam kelas. Merupakan studi bersama, telah teliti dan penanganan terperinci terhadap suatu tugas yang terdiri atas dua sampai empat halaman setiap hari.

  2. Membaca ekstensif, ialah program pelajaran membaca yang dilakukan diluar kelas dengan cara membaca singkat yang meliputi survey, membaca sekilas dan membaca dangkal. Dengan demikian raional membaca estensif merupakan kelanjutan membaca intensif.
Secara umum tujuan membaca antara lain:
  1. Membaca untuk menemukan atau mengetahui penemuan yang telah dilakukan sang tokoh untuk memecahkan masalah.

  2. Membaca untuk mengetahui topik yang baik dan menarik, masalah yang terdapat dalam cerita , dan apa yang dipelajari sang tokoh untuk mencapai tujuan.

  3. Membaca untuk mengetahui dan menemukan apa yang terjadi pada setiap bagian cerita, tahap-tahap yang dibuat untuk memecahkan masalah atau adegan yang terjadi.
Tujuan utama membaca adalah untuk mencari serta memperoleh informasi mencakup isi dan memahami makna bacaan, diantaranya adalah untuk:
  1. memperoleh rincian tentang fakta yang ada dalam bacaan

  2. memperoleh ide-ide atau gagasan

  3. mengetahui suatu susunan bacaan

  4. dapat menarik suatu kesimpulan

  5. dapat mengklasifikaikan ide-ide tertentu

  6. memberikan penilaian atau evaluasi

  7. membandingkan atau mempertentangkan (Tarigan,1979:9)
Kegiatan membaca menuntut adanya beberapa keterampilan, antara lain: keterampilan menggerakkan mata, keterampilan mengamati, memahami, memikirkan serta menginterprestasikan isi dari wacana.

Dapat dikatakan membaca bukan hanya menyuarakan lambang-lambang serta tulisan. Membaca menurut seseorang untuk memahami isi wacana. Dari kegiatan membaca terkandung beberapa kesimpulan tentang tujuan membaca, yaitu: 1) Membaca buku-buku pengetahuan bertujuan memahami isi buku bacaan tersubut,

2) Membaca buku humor atau komedi bertujuan untuk menghibur.
Share:
Read More

Teams Games-Tournaments (TGT)

Teams Games-Tournaments (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh David DeVries dan Keith Edwards. Dalam TGT, para siswa dikelompokkan dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang heterogen. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran (Slavi, 2008). Secara umum, pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki prosedur belajar yang terdiri atas siklus regular dari aktivitas pembelajaran kooperatif. Games Tournament dimasukkan sebagai tahapan review setelah setelah siswa bekerja dalam tim (sama dengan TPS).


Dalam TGT siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya. Siswa memainkan game ini bersama tiga orang pada “meja-turnamen”, di mana ketiga peserta dalam satu meja turnamen ini adalah para siswa yang memiliki rekor nilai IPA terakhir yang sama. Sebuah prosedur “menggeser kedudukan” membuat permainan ini cukup adil. Peraih rekor tertinggi dalam tiap meja turnamen akan mendapatkan 60 poin untuk timnya, tanpa menghiraukan dari meja mana ia mendapatkannya. Ini berarti bahwa mereka yang berprestasi rendah (bermain dengan yang berprestasi rendah juga) dan yang berprestasi tinggi (bermain dengan yang berprestasi tinggi) kedua-duanya memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. Tim dengan tingkat kinerja tertinggi mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan tim lainnya.


TGT memiliki dimensi kegembiraan yang diperoleh dari penggunaan permainan. Teman satu tim akan saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari lembar kegiatan dan menjelaskan masalah-masalah satu sama lain, tetapi sewaktu siswa sedang bermain dalam game temannya tidak boleh membantu, memastikan telah terjadi tanggung jawab individual.


Permainan TGT berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Tiap-tiap siswa akan mengambil sebuah kartu dan berusaha untuk menjawab pertanyaan yang sesuai dengan angka yang tertera. Turnamen ini memungkinkan bagi siswa untuk menyumbangkan skor-skor maksimal buat kelompoknya. Turnamen ini juga dapat digunakan sebagai review materi pelajaran.


Dalam Implementasinya secara teknis Slavin (2008) mengemukakan empat langkah utama dalam pembelajaran dengan teknik TGT yang merupakan siklus regular dari aktivitas pembelajaran, sebagai berikut:




  • Step 1: Pengajaran, pada tahap ini guru menyampaikan materi pelajaran.

  • Step 2: Belajar Tim, para siswa mengerjakan lembar kegiatan dalam tim mereka untuk menguasai materi.

  • Step 3: Turnamen, para siswa memainkan game akademik dalam kemampuan yang homogen, dengan meja turnamen tiga peserta (kompetisi dengan tiga peserta).

  • Step 4: Rekognisi Tim, skor tim dihitung berdasarkan skor turnamen anggota tim, dan tim tersebut akan direkognisi apabila mereka berhasil melampaui kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.


Sedangkan Pelaksanaan games dalam bentuk turnamen dilakukan dengan prosedur, sebagai berikut:




  1. Guru menentukan nomor urut siswa dan menempatkan siswa pada meja turnamen (3 orang , kemampuan setara). Setiap meja terdapat 1 lembar permainan, 1 lbr jawaban, 1 kotak kartu nomor, 1 lbr skor permainan.

  2. Siswa mencabut kartu untuk menentukan pembaca I (nomor tertinggi) dan yang lain menjadi penantang I dan II.

  3. Pembaca I menggocok kartu dan mengambil kartu yang teratas.

  4. Pembaca I membaca soal sesuai nomor pada kartu dan mencoba menjawabnya. Jika jawaban salah, tidak ada sanksi dan kartu dikembalikan. Jika benar kartu disimpan sebagai bukti skor.

  5. Jika penantang I dan II memiliki jawaban berbeda, mereka dapat mengajukan jawaban secara bergantian.

  6. Jika jawaban penantang salah, dia dikenakan denda mengembalikan kartu jawaban yang benar (jika ada).

  7. Selanjutnya siswa berganti posisi (sesuai urutan) dengan prosedur yang sama.

  8. Setelah selesai, siswa menghitung kartu dan skor mereka dan diakumulasi dengan semua tim.

  9. Penghargaan sertifikat, Tim Super untuk kriteria atas, Tim Sangat Baik (kriteria tengah), Tim Baik (kriteria bawah)

  10. Untuk melanjutkan turnamen, guru dapat melakukan pergeseran tempat siswa berdasarkan prestasi pada meja turnamen.


Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran TGT


Riset tentang pengaruh pembelajaran kooperatif dalam pembelajaran telah banyak dilakukan oleh pakar pembelajaran maupun oleh para guru di sekolah. Dari tinjuan psikologis, terdapat dasar teoritis yang kuat untuk memprediksi bahwa metode-metode pembelajaran kooperatif yang menggunakan tujuan kelompok dan tanggung jawab individual akan meningkatkan pencapaian prestasi siswa. Dua teori utama yang mendukung pembelajaran kooperatif adalah teori motivasi dan teori kognitif.


Menurut Slavin (2008), perspektif motivasional pada pembelajaran kooperatif terutama memfokuskan pada penghargaan atau struktur tujuan di mana para siswa bekerja. Deutsch (1949) dalam Slavin (2008) mengidentifikasikan tiga struktur tujuan dalam pembelajaran kooperatif,  yaitu:




  1. kooperatif, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu memberi konstribusi pada pencapaian tujuan anggota yang lain.

  2. kompetitif, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu menghalangi pencapaian tujuan anggota lainnya.

  3. individualistik, di mana usaha berorientasi tujuan dari tiap individu tidak memiliki konsenkuensi apa pun bagi pencapaian tujuan anggota lainnya.


Dari pespektif motivasional, struktur tujuan kooperatif menciptakan sebuah situasi di mana satu-satunya cara anggota kelompok bisa meraih tujuan pribadi mereka adalah jika kelompok mereka sukses. Oleh karena itu, mereka harus membantu teman satu timnya untuk melakukan apa pun agar kelompok berhasil dan mendorong anggota satu timnya untuk melakukan usaha maksimal.


Sedangkan dari perspektif teori kognitif, Slavin (2008) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif menekankan pada pengaruh dari kerja sama terhadap pencapaian tujuan pembelajaran. Asumsi dasar dari teori pembangunan kognitif adalah bahwa interaksi di antara para siswa berkaitan dengan tugas-tugas yang sesuai mengingkatkan penguasaan mereka terhadap konsep kritik. Pengelompokan siswa yang heterogen mendorong interaksi yang kritis dan saling mendukung bagi pertumbuhan dan perkembangan pengetahuan atau kognitif. Penelitian psikologi kognitif menemukan bahwa jika informasi ingin dipertahankan di dalam memori dan berhubungan dengan informasi yang sudah ada di dalam memori, orang yang belajar harus terlibat dalam semacam pengaturan kembali kognitif, atau elaborasi dari materi. Salah satu cara elaborasi yang paling efektif adalah menjelaskan materinya kepada orang lain.


Namun demikian, tidak ada satupun model pembelajaran yang cocok untuk semua materi, situasi dan anak. Setiap model pembelajaran memiliki karakteristik yang menjadi penekanan dalam proses implementasinya dan sangat mendukung ketercapaian tujuan pembelajaran. Secara psikologis, lingkungan belajar yang diciptakan guru dapat direspon beragama oleh siswa sesuai dengan modalitas mereka. Dalam hal ini, pembelajaran kooperatif dengan teknik TGT, memiliki keunggulan dan kelemahan dalam implementasinya terutama dalam hal pencapaian hasil belajar dan efek psikologis bagi siswa.


Slavin (2008), melaporkan beberapa laporan hasil riset tentang pengaruh pembelajaran kooperatif terhadap pencapaian belajar siswa yang secara inplisit mengemukakan keunggulan dan kelemahan pembelajaran TGT, sebagai berikut:




  • Para siswa di dalam kelas-kelas yang menggunakan TGT memperoleh teman yang secara signifikan lebih banyak dari kelompok rasial mereka dari pada siswa yang ada dalam kelas tradisional.

  • Meningkatkan perasaan/persepsi siswa bahwa hasil yang mereka peroleh tergantung dari kinerja dan bukannya pada keberuntungan.

  • TGT meningkatkan harga diri sosial pada siswa tetapi tidak untuk rasa harga diri akademik mereka.

  • TGT meningkatkan kekooperatifan terhadap yang lain (kerja sama verbal dan nonberbal, kompetisi yang lebih sedikit)

  • Keterlibatan siswa lebih tinggi dalam belajar bersama, tetapi menggunakan waktu yang lebih banyak.

  • TGT meningkatkan kehadiran siswa di sekolah pada remaja-remaja dengan gangguan emosional, lebih sedikit yang menerima skors atau perlakuan lain.


Sebuah catatan yang harus diperhatikan oleh guru dalam pembelajaran TGT adalah bahwa nilai kelompok tidaklah mencerminkan nilai individual siswa. Dengan demikian, guru harus merancang alat penilaian khusus untuk mengevaluasi tingkat pencapaian belajar siswa secara individual.

Share:
Read More
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa belajar adalah hal yang menimbulkan proses perubahan dalam tingkah laku dan kecakapan. Sampai dimana perubahan ini dapat tercapai atau dengan kata lain, berhasil atau tidak tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor belajar menurut Ngalim Purwanto (1990:120) dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang disebut faktor individu.
2. Faktor yang ada diluar individu yang disebut sebagai faktor sosial.
Yang termasuk dalam faktor individual antara lain: faktor kematangan atau pertubuhan, kecerdasan, latihan, motivasi dan faktor pribadi.
Sedangkan yang dimaksud faktor sosial antara lain faktor keadaan keluarga, guru dan cara mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia dan motivasi sosial.
Untuk memahami kegiatan belajar perlu dilakukan analisis untuk menemukan persoalan-persoalan apa yang terlibat dalam kegiatan belajar itu. Belajar sebagai suatu proses tentu memerlukan input atau masukan
dan output atau keluaran. Jadi dalam hal ini kita dapat menganalisis kegiatan belajar dengan mengunakan pendekatan analisis sistem.
Pendekatan sistem dapat digambarkan sebagai berikut:
Share:
Read More

Apakah Belajar itu ?

Belajar adalah suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dengan belajar manusia mampu mengembangkan potensipotensi yang dibawanya sejak lahir sehingga nantinya mampu menyesuaikan diri demi pemenuhan kebutuhan.

Pengertian belajar menurut Marris L Bigge dalam bukunya Darsono (2000:3) adalah suatu perubahan yang menetap dalam kehidupan seseorang yang tidak diwariskan secara genetis. Dalam hal ini perubahan yang dimaksud terjadi pada pemahaman, perilaku, persepsi, motivasi atau campuran dari semuanya secara sistematis sebagai akibat pengalaman
dalam situasi-situasi tertentu.

Sedang menurut Hilgard dan Bower dalam bukunya Ngalim Purwanto (1990:84) mengatakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku individu terhadap suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh
pengalaman yang berulang-ulang. Perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan sesaat seseorang (misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya).

Selanjutnya pengertian belajar menurut Oemar Hambalik (2003:27,28) yaitu: Belajar adalah suatu cara untuk memotivasi dan mempertegas kelakuan melalui pengalaman dan merupakan proses perubahan tingkah
laku individu melalui interaksi dengan lingkungannya sehingga akan terjadi serangkaian pengalaman-pengalaman belajar.

Dari pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku seseorang yang disebabkan adanya pengalaman untuk memperoleh pengetahuan,
keterampilan dan sikap dari seseorang yang melakukan kegiatan belajar
Share:
Read More

Teknik mengajar Bercerita Berpasangan (Paired Storylelling)

Merupakan bagian dari metode kooperatif. Teknik mengajar Bercerita Berpasangan (Paired Storylelling) dikembangkan sebagai pendekatan interaktif antara siswa, pengajar, dan bahan pelajaran (Lie, 1994). Teknik ini bisa digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun bercerita. Teknik ini menggabungkan kegiatan membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara. Bahan pelajaran yang palin cocok digunakan dalam teknik ini adalah bahan yang bersifat naratif dan deskriptif. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan dipakainya bahan-bahan yang lainnya.
Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Dalam kegiatan ini, siswa diransang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan kemampuan berimajinasi. Buah-buah pemikiran mereka akan dihargai, sehingga siswa merasa makin terdorong untuk belajar. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan ketrampilan berkomunikasi. Bercerita berpasangan bisa digunakan untuk suasana tingkatan usia anak didik.
Tahap-tahap pembelajaran kooperatif tipe bercerita berpasangan antara lain :
1. Pengajar membagi bahan pelajaran yang akan diberikan menjadi dua bagian.
2. Sebelum bahan pelajaran diberikan, pengajar memberikan pengenalan mengenai topik yang akan dibahas dalam bahan pelajaran untuk hari itu. Pengajar bisa menuliskan topik di papan tulis dan menanyakan apa yang siswa ketahui mengenai topik tersebut. Kegiatan brainstorming ini dimaksudkan untuk mengaktifkan skemata siswa agar lebih siap menghadapi bahan pelajaran yang baru. Dalam kegiatan ini, pengajar perlu menekankan bahwa memberikan tebakan yang benar bukanlah tujuannya. Yang lebih penting adalah kesiapan mereka dalam mengantisipasi bahan pelajaran yang akan diberi hari itu.
3. Siswa dipasangkan.
4. Bagian pertama bahan diberikan kepada siswa yang pertama. Sedangkan siswa yang kedua menerima bagian yang kedua.
5. Kemudian siswa disuruh mendengarkan atau membaca bagian mereka masing-masing.
6. Sambil membaca/mendengarkan, siswa disuruh mencatat dan mendaftar beberapa kata/frasa kunci yang ada dalam bagian masing-masing. Jumlah kata/frasa bisa disesuaikan dengan panjang teks bacaan.
7. Setelah selesai membaca, siswa saling menukar daftar kata/frasa kunci dengan pasangan masing-masing.
8. Sambil mengingat-ingat/memperhatikan bagian yang telah dibaca/didengarkan sendiri, masing-masing siswa berusaha untuk mengarang bagian lain yang belum dibaca/didengarkan (atau yang sudah dibaca/didengarkan pasangannya) berdasarkan kata-kata/frasa-frasa kunci dari pasangannya. Siswa yang telah membaca/mendengarkan bagian yang pertama berusaha untuk menuliskan apa yang terjadi selanjutnya. Sedangkan siswa yang membaca/mendengarkan bagian yang kedua menuliskan apa yang terjadi sebelumnya.
9. Tentu saja, versi karangan sendiri ini tidak harus sama dengan bahan yang sebenarnya. Tujuan kegiatan ini bukan untuk mendapatkan jawaban yang benar, melainkan untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar dan mengajar. Setelah selesai menulis, beberapa siswa bisa diberi kesempatan untuk membacakan hasil karangan mereka.
10. Kemudian, pengajar membagikan bagian cerita yang belum terbaca kepada masing-masing siswa. Siswa membaca bagian tersebut.
11. Kegiatan ini bisa diakhiri dengan diskusi mengenai topik dalam bahan pelajaran hari itu. Diskusi bisa dilaksanakan antara pasangan atau dengan seluruh kelas.

Share:
Read More

Pembelajaran Kooperatif

Sistem pembelajaran kooperatif bisa didefinisikan sebagai sistem kerja/belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk dalam struktur ini adalah lima unsur pokok yaitu saling ketergatungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama dan proses kelompok. Metode pembelajaran kooperatif disebut juga metode pembelajaran gotong royong. Ironisnya model pembelajaran kooperatif belum banyak diterapkan dalam pendidikan, walaupun orang Indonesia sangat membanggakan sifat gotong royong dalam kehidupan bermasyarakat. Kebanyakan pengajar enggan menerapkan sistem kerja sama di dalam kelas karena beberapa alasan. Alasan yang utama adalah kekhawatiran bahwa akan terjadi kekacauan di kelas dan siswa tidak belajar jika mereka ditempatkan dalam grup. Selain itu, banyak orang mempunyai kesan negatif mengenai kegiatan kerja sama atau belajar dalam kelompok.
Menurut Bannet (1991), cooperative learning adalah kerja kelompok, tetapi tidak semua kerja kelompok merupakan pembelajaran kooperatif. Unsur dasar pembelajaran kooperatif adalah :
1. Ketergantungan yang positif
2. Akuntabilitas individual
3. Interaksi tatap muka
4. Ketrampilan sosial
5. Prosesing
Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong harus diterapkan :
a. Saling ketergantungan positif
b. Tanggung jawab perseorangan
c. Tatap muka
d. Komunikasi antar anggota
e. Evaluasi proses kelompok


a. Saling ketergantungan positif
Keberhasilan kelompok sangat tergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk mencapai kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa, sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka.
Penilaian juga dilakukan dengan cara yang unik. Setiap siswa mendapat nilainya sendiri dan nilai kelompok. Nilai kelompok dibentuk dari “sumbangan” setiap anggota. Untuk menjaga keadilan, setiap anggota menyumbangkan poin di atas nilai rata-rata mereka. Misalnya nilai rata-rata si A adalah 65 dan kali ini dia mendapat 72, maka dia akan menyumbangkan 7 poin untuk nilai kelompok mereka. Dengan demikian, setiap siswa akan bisa mempunyai kesempatan untuk memberikan sumbangan. Beberapa siswa yang kurang mampu tidak akan merasa minder terhadap rekan-rekan mereka karena toh mereka enggan memberikan sumbangan. Malahan merasa terpacu untuk meningkatkan usaha mereka dan dengan demikian menaikkan nilai mereka. Sebaliknya, siswa yang lebih pandai juga tidak akan merasa dirugikan karena rekannya yang kurang mampu juga telah memberikan bagian sumbangan mereka.
b. Tanggung jawab perseorangan
Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran kooperatif, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Kunci keberhasilan metode pembelajaran kooperatif adalah persiapan guru dalam penyusunan tugasnya. Masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
c. Tatap muka
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota. Hasil pemikiran beberapa kepala akan lebih kaya daripada hasil pemikiran dari satu kepala saja. Lebih jauh lagi, hasil kerja sama ini jauh lebih besar daripada jumlah hasil masing-masing kelompok. Para anggota kelompok perlu diberi kesempatan untuk saling mengenal dan menerima satu sama lain dalam kegiatan tatap muka dan interaksi pribadi.
d. Komunikasi antar anggota
Sebelum menugaskan siswa dalam kelompok, pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat mereka.
e. Evaluasi proses kelompok
Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Format evaluasi bisa bermacam-macam tergantung pada tingkat pendidikan siswa.
Tujuan pembelajaran kooperatif antara lain dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, meningkatkan motivasi belajar siswa, menumbuhkan sikap saling menghormati dan bekerja sama, menumbuhkan sikap tanggung jawab, meningkatkan rasa percaya diri, dapat belajar memecahkan masalah dengan cara yang lebih baik.
Pembelajaran kooperatif terdapat berbagai teknik/tipe yang dapat diterapkan antara lain :
a. Mencari Pasangan (make a match), dikembangkan oleh Lorna Curran (1994).
b. Bertukar Pasangan
c. Berpikir – Berpasangan – Berempat, dikembangkan oleh Frank Lyman (Think – Pair – Share) dan Spencer Kagan Think – Pair – Square).
d. Berkirim Salam dan Soal
e. Kepala Bernomor (Numbered Heads), dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992).
f. Kepala Bernomor Terstruktur
g. Dua Tinggal Dua Tamu (Two Stay Two Guests), dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992).
h. Keliling Kelas
i. Lingkaran Kecil Lingkaran Besar
j. Tari Bambu
k. Jigsaw, dikembangkan oleh Aronsol et al.
l. Bercerita Berpasangan
Menurut Savage (1996:222) dalam pembelajaran kooperatif diperlukan keputusan dari guru untuk mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menentukan topik yang akan digunakan dalam kerja kelompok.
b. Membuat keputusan tentang ukuran dan komposisi kelompok.
c. Menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan.
d. Memantau kerja siswa dalam kelompok.
e. Memberikan saran penyelesaian masalah yang cocok.
f. Evaluasi serta memberikan saran-saran.
Dalam metode pembelajaran kooperatif siswa juga bisa belajar dari sesama teman. Guru lebih berperan sebagai fasilitator. Tentu saja, ruang kelas juga perlu ditata sedemikian rupa, sehingga menunjang pembelajaran kooperatif. Tentu saja, keputusan guru dalam penataan ruang kelas harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi ruang kelas dan sekolah. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan adalah :
a. Ukuran ruang kelas
b. Jumlah siswa
c. Tingkat kedewasaan siswa
d. Toleransi guru dan kelas sebelah terhadap kegaduhan dan lalu lalang siswa
e. Toleransi masing-masing siswa terhadap kegaduhan dan lalu lalang siswa
f. Pengalaman guru dalam melaksanakan metode pembelajaran gotong royong
g. Pengalaman siswa dalam melaksanakan pembelajaran gotong royong.
Seperti telah diungkapkan, tidak semua kerja kelompok bisa dianggap sama dengan model pembelajaran kooperatif. Pengelolaan kelas model pembelajaran kooperatif bertujuan untuk membina pembelajar dalam mengembangkan niat dan kiat bekerja sama dan berinteraksi dengan pembelajar lainnya. Ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kelas model pembelajaran kooperatif yaitu pengelompokkan, semangat kooperatif, dan penetaan ruang kelas.


Share:
Read More

Apakah itu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)?

Kurikulum (menurut SK Mendiknas No. 232/ U/ 2000 Ps. 1 butir 6) adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaiannya dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di perguruan Tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan Kompetensi (dalam SK Mendiknas No. 045/ U/ 2002, Ps. 21) adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Jadi Kurikulum berbasis Kompetensi ialah kurikulum yang disusun berdasarkan atas elemen-elemen kompetensi yang dapat menghantarkan peserta didik untuk mencapai kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lain sebagai a method of inquiry yang diharapkan. Yang dimaksud dengan method inquary diantaranya adalah suatu metode pembelajaran yang menumbuhkan hasrat besar untuk ingin tahu, meningkatkan kemampuan untuk menggunakan atribut kompetensi guna menentukan pilihan jalan kehidupan di masyarakat, meningkatkan cara belajar sepanjang hayat (learning to learn dan learning throughout life). Dengan kata lain, KBK adalah kurikulum yang menitikberatkan pada pencapaian kompetensi lulusan. Dalam Taxonomi Bloom kompetensi terdiri dari Kognitif meliputi pengetahuan, Afektif meliputi sikap, nilai, minat, dan Psikomotorik yang mencakup ketrampilan.

Menurut wikipedia kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004, adalah kurikulum dalam dunia pendidikan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2004 walau sudah ada sekolah yang mulai menggunakan kurikulum ini sejak sebelum diterapkannya. Secara materi, sebenarnya kurikulum ini tak berbeda dari Kurikulum 1994, perbedaannya hanya pada cara para murid belajar di kelas. Dalam kurikulum terdahulu, para murid dikondisikan dengan sistem caturwulan. Sedangkan dalam kurikulum baru ini, para siswa dikondisikan dalam sistem semester. Dahulu pun, para murid hanya belajar pada isi materi pelajaran belaka, yakni menerima materi dari guru saja. Dalam kurikulum 2004 ini, para murid dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan IPTek tanpa meninggalkan kerja sama dan solidaritas, meski sesungguhnya antar siswa saling berkompetisi. Jadi di sini, guru hanya bertindak sebagai fasilitator, namun meski begitu pendidikan yang ada ialah pendidikan untuk semua. Dalam kegiatan di kelas, para siswa bukan lagi objek, namun subjek. Dan setiap kegiatan siswa ada nilainya. Sejak tahun ajaran 2006/2007, diberlakukan kurikulum baru yang bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang merupakan penyempurnaan Kurikulum 2004.

Share:
Read More