Tips Belajar Akuntansi

Pentingnya Budaya Kolaborasi Para Guru

Peningkatan kualitas SDM sebenarnya harus diawali dengan peningkatan kualitas pembelajaran di kelas. Melalui pembelajaran kelas yang efektif akan diperoleh kualitas SDM yang handal. Hal ini disebabkan karena peran sentral guru sebagai “nahkoda kelas”. Oleh sebab itu guru yang ideal adalah guru yang mampu menjadi partner siswa dalam belajar, motivator dan teladan sikap positif, sekaligus selalu melakukan refleksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk mencapai hal tersebut maka seorang guru dituntut untuk memiliki enam sikap dasar, yang antara lain: (1) Mengkritik diri sendiri, senantiasa melakukan refleksi secara jujur, dalam rangka pengembangan kekurangan diri sendiri. (2) Terbuka terhadap masukan orang luar, berbagai macam masukan dan informasi merupakan “data base” untuk terasah dan semakin kaya akan solusi dan inovasi dalam pembelajaran.  (3) Mau mengakui kesalahan, menumbuhkan sikap tanggung jawab dalam melakukan tindakan. (4) Mau menggunakan ide orang lain yang dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. (5) Mau memberi masukan yang jujur dan penuh dan terakhir (6) Berkomitmen terhadap perubahan, setiap guru harus mampu menumbuhkan komitmen bahwa proses pembelajaran hakekatnya adalah belajar untuk menjadi dan memberikan yang terbaik bagi siswa, sebab belajar adalah proses perubahan itu sendiri.

Berdasarkan data The World Competitive Scoreboard Tahun 2005 SDM Indonesia masih berada pada peringkat 59 jauh dibawah Singapura (peringkat 3) ataupun Malaysia (peringkat 28). Data UNDP tahun 2005 menunjukkan bahwa Human Developement Indeks (HDI) Indonesia sejauh ini masih berada pada peringkat 110 yang menempatkan negara ini dibawah Vietnam (peringkat 108) dan Malaysia (peringkat 61). Dari data-data diatas dapat disimpulkan bahwa guru Indonesia sebagai motor pendidikan ternyata belum mampu mencapai kualitas sebagaimana diharapkan. Kaitan antara kualitas guru dan kualitas SDM  cukup berdasar sebab guru merupakan “nahkoda” di dalam kelas. Hal ini dipertegas oleh Anderson & Mitchener (dalam Rahayu, 2005) bahwa pengetahuan, pengalaman dan paradigma guru tentang pembelajaran akan sangat mempengaruhi apa yang terjadi di dalam kelas.

Pembelajaran di kelas yang efektif mensyaratkan guru sebagai partner siswa dalam belajar, motivator dan teladan sikap positif, sekaligus selalu melakukan refleksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Ditegaskan oleh Glenn (dalam Rahayu, 2005) bahwa kemampuan mengajar bukanlah suatu yang ”take for granted”, namun kemampuan ini dapat untuk dipelajari bahkan untuk disempurnakan secara terus menerus. Ketrampilan mengajar khusus, misalnya kemampuan untuk membedakan antara apa yang paling penting dipelajari oleh siswa atau apa yang paling sulit dipahami siswa, hanya dapat diperoleh melalui pelatihan, konsultasi, kolaborasi, dan praktek langsung, dengan demikian berarti bahwa penguasaan guru terhadap materi  akan menentukan kualitas guru itu sendiri.

Budaya kolaborasi guru inilah yang hampir jarang ditemukan di Indonesia. Hal ini berbeda dengan budaya pendidikan yang ada di Jepang,  sejak akhir perang dunia II dengan terinspirasi semangat ”hansei”, semangat bangsa Jepang untuk mengkritik diri sendiri (refleksi diri) dalam rangka mengembangkan kekurangan diri sendiri. Dari sini lahir metode yang dikenal dengan istilah ”Jugyokenkyu”, kemudian hari Chaterine C. Lewis menyebutnya sebagai lesson study. Di Jepang adalah hal yang biasa saat seorang guru bahkan murid sendiri mengajukan pertanyaan seperti ”apakah saya sudah mencoba dengan sekuat tenaga ?”, ”apakah saya ingat materi apa yang harus saya bawa ke sekolah sepanjang minggu ini ?”, ”apakah saya sudah melakukan perbuatan perbuatan cinta kasih ke teman-teman saya ?”, ”apa yang masih perlu saya perbaiki ?”. Budaya ini demikian efektif hingga menjadi sebuah motor penggerak dalam pembaharuan pendidikan di Jepang.

Menurut Stigler dan Heibert (dalam Susilo, 2005: 3) menyebutkan bahwa terdapat unsur kunci yang hilang dari reformasi pendidikan yaitu suatu cara efektif untuk meningkatkan kegiatan belajar mengajar melalui pengembangan pengetahuan keprofesionalan bersama-sama berdasarkan praktik pembelajaran. Untuk mencapai hal tersebut maka seorang guru dituntut untuk memiliki enam sikap dasar, yang antara lain: (1) Mengkritik diri sendiri, senantiasa melakukan refleksi secara jujur, dalam rangka pengembangan kekurangan diri sendiri. (2) Terbuka terhadap masukan orang luar, berbagai macam masukan dan informasi merupakan “data base” untuk terasah dan semakin kaya akan solusi dan inovasi dalam pembelajaran.  (3) Mau mengakui kesalahan, menumbuhkan sikap tanggung jawab dalam melakukan tindakan. (4) Mau menggunakan ide orang lain yang dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. (5) Mau memberi masukan yang jujur dan penuh dan terakhir (6) Berkomitmen terhadap perubahan, setiap guru harus mampu menumbuhkan komitmen bahwa proses pembelajaran hakekatnya adalah belajar untuk menjadi dan memberikan yang terbaik bagi siswa, sebab belajar adalah proses perubahan itu sendiri
Share:

No comments:

Post a Comment