Tips Belajar Akuntansi

Membangun Social Security System Dalam Penanggulangan Kemiskinan


Kemiskinan merupakan fenomena yang selalu diusahakan untuk diminimalisasi, bahkan mungkin dihilangkan. Hal ini menimbulkan kesadaran sebagai tantangan di kalangan elite yang melahirkan gagasan besar untuk menanggulanginya baru muncul pada abad 19 sebagai reaksi terhadap gagasan yang muncul pada abad 19 yang menitik-beratkan pada gagasan untuk mencapai kemakmuran bangsa (the wealth of nation). Pada abad 18, gagasan yang muncul adalah bahwa kemakmuran bangsa akan dicapai apabila setiap individu diberi kebebasan untuk bekerja memenuhi kebutuhannya sendiri. Hipotesanya adalah jika setiap orang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, maka kemakmuran masyarakat akan dengan sendirinya tercapai. Dengan perkataan lain, kemiskinan akan terhapus dalam kebebasan berusaha. Gagasan itu berasal dari Adam Smith (1773-1790) melalui bukunya “The Wealth of Nation: The Inquiry into the Wealth of Nation” (1776), yang kemudian disebut sebagai kapitalisme. Tapi kapitalisme dinilai akhir-akhir ini oleh ekonom kontemporer Amerika, Robert Hessen dianggap sebagai salah kaprah dalam penyebutan (misnomer), dan ia lebih suka menyebutnya sebagai individualisme ekonomi (economic individualism) yang dilawankan dengan gagasan kolektivisme. Walaupun demikian gagasan Smith itu lebih lazim disebut sebagai kebebasan ekonomi (economic liberalism).
Namun kenyataannya, kemiskinan masih selalu melekat dalam setiap sendi kehidupan manusia, sehingga membutuhkan upaya penanggulangan yang komprehensif, integral, dan berkelanjutan. Berkaitan dengan hal itu, para pemimpin negara sedunia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York tahun 2000, menetapkan upaya mengurangi separuh dari kemiskinan di dunia sebagai “Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals)” bagi negara-negara anggota PBB yang harus dicapai pada tahun 2015 melalui 8 (delapan) jalur sasaran, yaitu: (1) Mengurangi separuh proporsi penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari dan proporsi penduduk yang menderita kelaparan; (2) Mengurangi separuh proporsi jumlah penduduk yang tidak memiliki akses pada air minum yang sehat; (3) Menjamin semua anak, laki-laki dan perempuan, menyelesaikan sekolah dasar; (4) Menurunkan hingga 2/3 kematian bayi dan anak dibawah usia lima tahun; (5) Menghentikan penyebaran penyakit HIV/AIDS, malaria, dan jenis penyakit menular lainnya; (6) Menghilangkan ketidaksetaraan gender di sekolah; (7) Menerapkan dengan konsekuen kebijakan pembangunan berkelanjutan; dan (8) Mengembangkan kemitraan untuk pembangunan di semua tingkatan.
Komitmen semua bangsa di dunia untuk menghapus kemiskinan dari muka bumi ini ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam “Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan” yang disepakati oleh para Kepala Negara/Pemerintahan dari 165 negara yang hadir pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, bulan September 2002, dan kemudian dituangkan dalam dokumen “Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan.
Tentunya sebentuk komitmen belumlah cukup, kemiskinan pun dapat disebabkan oleh ketidaksempurnaan pasar sehingga membutuhkan peran negara dalam ekonomi. Hal ini berpijak pada analisis Karl Marx dan Frederick Engels yang menyatakan bahwa “a free market did not lead to greater social wealth, but to greater poverty and exploitation…a society is just when people’s needs are met, and when inequality and exploitation in economic and social relations are eliminated” (Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998: 91 dan 97). Dengan ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini, peranan pemerintah banyak ditampilkan pada fungsinya sebagai agent of economic and social development. Artinya, pemerintah tidak hanya bertugas mendorong pertumbuhan ekonomi, melainkan juga memperluas distribusi ekonomi melalui pengalokasian public expenditure dalam APBN dan kebijakan publik yang mengikat. Selain dalam policy pengelolaan nation-state-nya pemerintah memberi penghargaan terhadap pelaku ekonomi yang produktif, ia juga menyediakan alokasi dana dan daya untuk menjamin pemerataan dan kompensasi bagi mereka yang tercecer dari persaingan pembangunan.
Memandirikan Masyarakat
Robert Malthus (1766-1834) melihat suatu gejala kecenderungan ke arah kemiskinan atau kemerosotan kesejahteraan keluarga yang disebabkan oleh perkembangan jumlah penduduk mengikuti deret ukur yang tidak diimbangi dengan perkembangan produksi pangan mengikuti deret hitung. Asumsinya tentang hubungan antara penduduk dan kemiskinan itu adalah bahwa, peningkatan kesejahteraan akan mendorong keluarga untuk menambah jumlah anak. Tapi dengan lahirnya lebih banyak anak yang menambah jumlah penduduk akan mengurangi tingkat kesejahteraan keluarga, dan karena itu ia menganjurkan pengendalian diri berdasarkan nilai moral (moral restraint). Karena itu solusi terhadap masalah kemiskinan adalah mengurangi tingkat penduduk dengan pengendalian diri atau mengimbanginya dengan peningkatan produksi pangan. Tapi pemikir yang lain, David Ricardo (1772-1823), berpendapat bahwa peningkatan produksi pangan dibatasi oleh ketersediaan lahan yang subur. Dalam hal ini baik Mathus dan Ricardo tetap melihat bayang-bayang kemiskinan dalam perkembangan ekonomi dan masyarakat. Sehingga tepat apabila peningkatan produksi pangan secara optimal harus diikuti dengan pengendalian pertumbuhan penduduk, karena kekhawatiran tentang kemerosotan kesejahteraan keluarga.
Sementara itu, sebagaimana diasumsikan oleh Smith, telah terjadi pertumbuhan ekonomi, sebagai hasil dari proses industrialisasi pada abad ke 19. Tetapi seiring proses industrialisasi itu telah lahir kemiskinan massal, karena tingkat upah yang rendah di satu pihak dan meningkatnya kebutuhan hidup di lain pihak, yang mencakup kesehatan dan pendidikan. Daerah perkotaan dalam masyarakat industri dan daerah perdesaan di kalangan petani kecil, karena kekurangan modal untuk bertani, memiliki hubungan kausalitas dalam berkontribusi sebagai kantong-kantong kemiskinan. Sebab apabila ada bencana alam yang menghentikan kegiatan bertani akan mengakibatkan terjadi kemiskinan massal di daerah perdesaan sekaligus merosotnya produksi pangan. Hal ini akan menyebabkan harga pangan di daerah perkotaan meningkat yang tidak terjangkau oleh buruh yang berpendapatan rendah
Oleh sebab itu kemiskinan adalah produk struktural dari sebuah sistem yang saling terkait, yakni sistem ekonomi (pertumbuhan dan pemerataan pendapatan nasional), pendidikan (pemberdayaan dan pengembangan SDM) dan jaminan sosial (bantuan sosial dan asuransi sosial). Oleh karenanya upaya pengentasan kemiskinan harus pula diikuti dengan upaya bagaimana membangun sistem ekonomi agar tumbuh setinggi mungkin, dengan diarahkan secara sungguh-sungguh untuk membangun sistem jaminan sosial yang kuat. Agar keberhasilan di bidang ekonomi menjadi rentan terhadap goncangan, sekaligus menjauhkan Indonesia dari permasalahan sosial yang kompleks. Singkatnya, paradigma pembangunan harus berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan aspek perlindungan sosial guna menopang dan menjaga kestabilan ekonomi. Mewujudkan masyarakat sejahtera dan mandiri di tingkat lokal (kabupaten/kota), maupun di tingkat hierarki yang lebih rendah dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Jaminan sosial merupakan istilah “baru” yang lahir pada Abad 20. Sistem ini pertama-tama diterapkan sebagai alternatif untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial akibat krisis ekonomi dan untuk mengubah kapitalisme agar menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism) (Spicker, 1995; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998; MHLW, 1999; Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2002a). Pengertian jaminan social (social security) dapat didefinisikan secara luas sebagai tindakan publik, termasuk yang dilakukan oleh masyarakat, untuk melindungi kaum miskin dan lemah dari perubahan yang merugikan dalam standar hidup, sehingga mereka memiliki standar hidup yang dapat diterima (The World Bank Researcher Observer, 1991). Instrumen yang terkait adalah jaminan pekerjaan dan pendapatan, serta beberapa instrumen kebijakan formal, seperti : asistensi, asuransi sosial, dan tunjangan keluarga. Jaminan sosial bukan untuk melindungi kaum kaya tetapi untuk memberikan efek insentif. Pengembangan suatu sistem keterjaminan sosial untuk mendukung pencapaian kesejahteraan rakyat perlu dipandang sebagai suatu usaha untuk mengembalikan kemampuan masyarakat mencapai kesejahteraannya sendiri. Oleh sebab itu, keterjaminan sosial secara normatif harus mengacu pada kemampuan masyarakat menghadapi krisis, apa pun penyebabnya.
Studi ILO 1984 menggambarkan adanya 3 (tiga) tahap evolusi jaminan sosial, yaitu: a) Sumbangan/derma dari kaum kaya yang disediakan untuk para fakir miskin, tetapi kondisi dan stigma keras yang diterapkan sering tidak dapat diterima; b) Skema asuransi sosial dikembangkan berdasarkan suatu kewajiban premi yang diberikan pada peserta berupa pensiun dan pembayaran masa sakit; dan c) Konsep pencegahan dengan tujuan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas hidup.
Dalam literatur pekerjaan sosial (social work), jaminan sosial (social security) merupakan salah satu jenis kebijakan sosial untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan dalam masyarakat. Setiap negara memiliki definisi, sistem, dan pendekatan yang berbeda dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, dan karenanya, memiliki sistem dan strategi jaminan sosial yang berbeda pula. Jaminan sosial umumnya diimplementasikan ke dalam berbagai bentuk tunjangan pendapatan secara langsung (income support) yang terkait erat dengan kebijakan perpajakan dan pemeliharaan pendapatan (taxation and income-maintenance policies). Namun demikian, jaminan sosial kerap meliputi pula berbagai skema peningkatan akses terhadap pelayanan sosial dasar, seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan perumahan (Huttman, 1981; Gilbert dan Specht, 1986; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Jaminan sosial yang berbentuk tunjangan pendapatan dapat disebut benefits in cash, sedangkan yang berwujud bantuan barang atau pelayanan sosial sering disebut benefits in kind (Shannon, 1991; Hill, 1996; MHLW, 1999).
Sebagai bentuk komitmen dan piranti negara dalam mewujudkan keadilan social, jaminan sosial perlu dibangun dalam aspek-aspek: ketahanan pangan, kesehatan, sandang, kerja dan usaha, perumahan dan pendidikan. Urutan tersebut diperkirakan merupakan urutan kepekaan masyarakat terhadap krisis. Artinya, jika krisis melanda maka yang pertama kali akan dikorbankan adalah pendidikan, dan jika telah mencapai krisis pangan maka kondisi yang terjadi sudah merupakan bencana yang sangat serius. Tetapi jika ditinjau dari sudut pandang pemerintah, layanan harus diprioritaskan kepada aspek pendidikan, kesehatan, pangan, serta kerja dan usaha, yang diwujudkan dalam bentuk asuransi sosial (social insurance) dan atau bantuan sosial (social assistance) (MHLW, 1999).
Dalam hal ini, pemerintah akan lebih berperan hanya sebagai inisiator dan selanjutnya bertindak sebagai fasilitator dalam proses tersebut, sehingga akhirnya, kerangka dan pendekatan penanggulangan kemiskinan menjadi lebih komprehensif dan tersistem. Sebab hal terpenting dari membangun kemandirian masyarakat adalah menyediakan ruang gerak yang seluas-luasnya, bagi munculnya aneka inisiatif dan kreativitas masyarakat di berbagai tingkat (pemberdayaan masyarakat). Membuka peluang dan kesempatan berusaha bagi orang miskin untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan ekonomi. Dan menjadi tugas pemerintah untuk menciptakan iklim agar pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, terutama oleh penduduk miskin.


Share:

Related Posts:

No comments:

Post a Comment