Tips Belajar Akuntansi

Keterampilan Manajemen Kelas Yang Wajib Dimiliki Guru

Yang dimaksud dengan keterampilan mengelola kelas adalah keterampilan guru untuk menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal, dan keterampilan untuk mengembalikan kondisi belajar yang optimal, apabila terdapat gangguan dalam proses belajar baik yang bersifat gangguan kecil dan sementara maupun gangguan yang berkelanjutan. (Depdikbud, 1985: 3). Keterampilan mengelola kelas bagi siswa mempunyai tujuan untuk:
  • Mendorong siswa mengembangkan tanggung jawab individu terhadap tingkah lakunya, serta sadar untuk mengendalikan dirinya.
  • Membantu siswa agar mengerti akan arah tingkah laku yang sesuai dengan tata tertib kelas, dan melihat atau merasakan teguran guru sebagai suatu peringatan dan bukan kemarahan.
  • Menimbulkan rasa berkewajiban melibatkan diri dalam tugas serta bertingkah laku yang wajar sesuai dengan aktivitas-aktivitas kelas
Bagi guru, tujuan keterampilan mengelola kelas adalah untuk melatih keterampilannya dalam:
  • Mengembangkan pengertian dan keterampilan dalam memelihara kelancaran penyajian dan langkah-langkah proses belajar mengajar secara efektif.
  • Memiliki kesadaran terhadap kebutuhan siswa dan mengembangkan kompetensinya dalam memberikan pengarahan yang jelas kepada siswa.
  • Memberi respon secara efektif terhadap tingkah laku siswa yang menimbulkan gangguan-gangguan kecil atau ringan serta memahami dan menguasai seperangkat kemungkinan strategi dan yang dapat digunakan dalam hubungan dengan masalah tingkah laku siswa yang berlebihan atau terus menerus melawan di kelas.
Pada garis besarnya keterampilan mengelola kelas terbagi dua bagian yaitu;
1) Keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan dan pemeliharaan kondisi belajar yang optimal.
a. Menunjukan sikap tanggap, Guru memperlihatkan sikap positif terhadap setiap perilaku yang muncul pada siswa dan memberikan tanggapan-tanggapan atas perilaku tersebut dengan maksud tidak menyudutkan kondisi siswa, perasaan tertekan dan memunculkan perilaku susulan yang kurang baik.
b. Membagi perhatian, Kelas diisi lebih dari satu orang akan tetapi sejumlah orang (siswa) yang memiliki keterbatasan-keterbatasan yang berbeda-beda yang membutuhkan bantuan dan pertolongan dari guru. Perhatian guru tidak hanya terpokus pada satu orang atau satu kelompok tertentu yang dapat menimbulkan kecemburuan, tapi perhatian harus terbagi dengan merat kepada setiap anak yang ada di dalam kelas.
c. Memusatkan perhatian kelompok,
Munculnya kelompok informal di kelas, atau pengelompokan karena di sengaja oleh guru dalam kepentingan pembelajaran membutuhkan kemampuan untuk mengatur dan mengarahkan perilakunya, terutama ketika kelompok perhatiannya harus terpusat pada tugas yang harus diselesaikan.
d. Memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas,
Untuk mengarahkan kelompok kedalam pusat perhatian seperti dijelaskan di atas, juga memudahkan anak menjalankan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya maka tugas guru adalah emamparkan setiap pelaksanan tugas-tugas tersebut sebagai petunjuk pelaksanaan yang harus dilaksanakan anak secara bertahap dan jelas.
e. Menegur,
Permasalahan bisa terjadi dalam hubungannya antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru. Permasalahan dalam hubungan tersebut bisa terjadi dalam konteks pembelajaran, sehingga guru sebagai pemegang kendali kelas harus mampu memberikan teguran yang sesuai dengan tugas dan perkembangan siswa. Sifat dari teguran tidak merupakan hal yang memberikan efek penyerta yang menimbulkan ketakutan pada siswa tapi bagaimana siswa bisa tahu dengan kesalahan yang dilakukannya.
f. Memberi penguatan, 
Penguatan adalah upaya yang diarahkan agar prestasi yang dicapai dan perilaku-perilaku yang baik dapat dipertahankan oleh siswa atau bahkan mungkin ditingkatkan dan dapat ditularkan kepada siswa lainnya. Penguatan yang dimaksudkan dapat berupa reward yang bersipat moril juga yang bersifat material tapi tidak berlebihan.

2) Keterampilan yang berhubungan dengan pengendalian kondisi belajar yang optimal
a. Memodifikasi tingkah laku
Modifikasi tingkah laku adalah menyesuaikan bentuk-bentuk tingkah laku kedalam tuntutan kegiatan pemebelajaran sehingga tidak muncul prototyfe pada diri anak tentang peniruan perilaku yang kurang baik.
b. Pengelolaan kelompok
Kelompok kecil ataupun kelompok belajar di kelas adalah merupakan bagaian dari pencapaian tujuan pembelajaran dan strategi yang terapkan oleh guru. Kelompok juga bias muncul secara informal seperti teman bermain, teman seperjalanan, teman karena gender dan lain-lain. Untuk kelancaran pembelajaran dan pencapaian tujuan pembelajaran maka kelompok yang ada dikelas itu harus di kelola dengan baik oleh guru.
c. Menemukan dan memecahkan tingkah laku yang menimbulkan masalah.
Permasalahan memiliki sifat perennial (akan selalu ada) dan nurturan effect, oleh karena itu permasalahan akan muncul didalam kelas kaitannya dengan interaksi dan akan diikuti oleh damapak pengiring yang besar bila tidak bisa diselesaikan. Guru harus dapat mendeteksi permasalahan yang mungkin muncul dan dengan secepatnya mengambil langkah penyelesaian sehingga ada solusi untuk masalah tersebut.

Hal-hal yang harus dihindari
Beberapa kekeliruan yang perlu dihindari guru dalam mempraktekkan keterampilan mengelola kelas adalah :
  1. Campur tangan yang berlebihan, campur tangan yang berlebihan dari guru kepada setiap perilaku kedirian siswa akan memberikan dampak yang kurang baik, oleh karena itu campur tangan dilakukan sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik di kelas.

  2. Kesenyapan, proses kesenyapan memang diperlukan di kelas tapi tidak merupakan kegiatan yang berjalan dengan akumulasi yang cukup panjang, karena dapat menimbulkan perilaku yang berlebihan dari siswa dan dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan teman lainnya.

  3. Ketidaktepatan memulai dan mengakhiri kegiatan, awal dan akhir kegiatan adalah hal yang krusial bagi guru. Awal adalah pembuka jalan dalam mengorganisasikan pikiran anak untuk menemukan dan melakukan berbagai hal di kelas terutama kaitannya dengan tugasnya dan akhir adalah bentuk akumulasi tentang pemahaman atas kegiatan dan kegiatan lanjutan yang akan dilakukan siswa.

  4. Penyimpangan, bentuk perilaku yang menyimpang baik secara individual maupun kaitannya dalam pelaksanaan pembelajaran.

  5. Bertele-tele, kata atau kalimat yang bertele-tele dan kegiatan yang bertele-tele akan menimbulkan kebosanan dan ketidak nyamanan ketika hal itu tertuju pada satu orang saja atau pada satu pokok bahasan saja.

  6. Pengulangan penjelasan yang tidak perlu, banyak hal yang baru bagi siswa yang dapat disampaikan, dan banyak hal lainnya yang juga memerlukan pengulangan. Prinsipnya adalah dimana ketika terjadi proses pengulangan adalah bentuk untuk mengkaitkan pokok bahasan, menegaskan, dan mencontohkan. Karena pengulangan bisa memunculkan persepsi yang kurang baik pada diri siswa, mungkin akan muncul anggapan bahwa guru tidak bias mengajar.
Fungsi Guru dalam Pengelolaan Kelas
1. Fungsi Instruksional
Sepanjang sejarah keguruan, tugas atau fungsi guru yang sudah tradisional adalah mengajar (to teach), yaitu ; 1) menyampaikan sejumlah keterangan-keterangan dan fakta-fakta kepada murid, 2) memberikan tugas-tugas kepada mereka, dan 3) mengoreksi atau memeriksanya. Fungsi intruksional inilah yang masih selalu diutamakan oleh hampir semua orang yang disebut guru, dan fungsi instruksional ini masih dominan dalam karier besar guru.
2. Fungsi Edukasional
Fungsi guru sesungguhnya bukan hanyalah mengajar, akan tetapi juga harus mendidik (to educate). Fungsi educational ini harus merupakan fungsi sentral guru. Dalam fungsi ini setiap guru harus berusaha mendidik murid-muridnya menjadi manusia dewasa.
3. Fungsi Managerial
Fungsi kepemimpinan atau managerial guru ini dalam administrasi sekolah modern tidak hanya terbatas di dalam kelas, akan tetapi juga menyangkut situasi sekolah dimana ia bekerja, bahkan menyangkut pula kegiatan-kegiatan di dalam masyarakat.
Share:
Read More

Prinsip-Prinsip Penting Keterampilan Mengajar

Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan yang utama. Peranan guru adalah menciptakan serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya. (Wrightman, 1977). Dalam pelaksanaanya, guru dituntut memiliki berbagai keterampilan mengajar, strategi belajar mengajar yang tepat, dan kemampuan melaksanakan evaluasi yang baik. 

Menurut Dardjo Sukardja (2003), pada dasarnya ada tiga hal pokok yang harus dimiliki seorang guru dalam menghadapi situasi apapun, termasuk dalam menghadapi tantangan yang penuh persaingan pada era globalisasi. Ketiga hal tersebut adalah : Kepribadian yang mantap, Wawasan yang luas, dan kemampuan profesional yang memadai. Sesuai dengan tuntutan perubahan, maka gurupun dituntun untuk memiliki kemampuan dalam penyesuaian-penyesuai dengan kebutuhan perubahan tersebut. Perubahan dalam kurikulum diantaranya menuntut guru untuk dapat mempersiapkan, melaksanakan dan menyesuaikan berbagai kebutuhan dalam proses belajar mengajar dari sisi pemahaman secara teoritik, keterampilan dalam pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang diberlakukan dan kemampuan untuk melakukan kegiatana evaluasi atas proses yang dilakukannya. 

Mengajar merupakan suatu proses yang kompleks. Mengajar adalah segala upaya yang disengaja dalam rangka memberi kemungkinan bagi siswa untuk terjadinya proses belajar sesuai dengan tujuan yang dirumuskan. Dalam prosesnya aktivitas yang menonjol dalam pengajaran ada pada siswa. Namun demikian bukanlah berarti peran guru tersisihkan; melainkan diubah. Guru berperan bukan sebagai penyampai informasi, tetapi bertindak sebagai director dan facilitator of learning – pengarah dan pemberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar.

Beberapa prinsip umum tentang mengajar:

1) Mengajar harus berdasarkan pengalaman yang sudah dimiliki siswa
2) Pengetahuan dan keterampilan yang diajarkan harus bersifat praktis
3) Mengajar harus memperhatikan perbedaan individual setiap siswa
4) Kesiapan dalam belajar sangat penting dijadikan landasan dalam mengajar
5) Tujuan pengajaran harus diketahui siswa
6) Mengajar harus mengikuti rpinsip psikologis tentang belajar.

Belajar adalah sebagai proses perubahan perilaku, akibat interaksi individu dengan lingkungan. Perubahan perilaku dalam proses belajar adalah akibat dari interaksi dengan lingkungan. Interaksi ini biasanya berlangsung secara sengaja. Kesengajaan itu sendiri tercermin dari adanya faktor-faktor berikut:
a) Kesiapan (readiness); yaitu kapasiti baik fisik maupun mental untuk melakukan sesuatu
b) Motivasi; yaitu dorongan dari dalam diri sendiri untuk melakukan sesuatu
c) Tujuan yang ingin dicapai.

Beberapa prinsip umum tentang belajar:  
  1.  Proses belajar adalah kompleks namun terorganisasi                                                     
  2. Motivasi penting dalam belajar 
  3. Belajar berlangsung dari yang sederhana meningkat kepada yang kompleks.
  4. Belajar melibatkan proses perbedaan dan penggeneralisasian berbagai proses.

Prinsip-prinsip Belajar
- Untuk dapat belajar dengan baik, siswa membutuhkan suasana yang wajar, tanpa tekanan.
- Untuk dapat belajar dengan baik, siswa membutuhkan suasana yang merangsang
- Dalam proses belajar mengajar, siswa sering membuthkan bimbingan dan bantuan guru
- Dalam Proses Belajar mengajar, siswa membutuhkan kesempatan untuk berkomunikasi, baik dengan guru, teman, maupun dengan lingkungannya
- Kebutuhan siswa akan poin 1,2,3 dan 4 berbeda dalam ragam dan kadarnya.
(Conny Semiawan, 1988 : 63)

Jenis-jenis keterampilan mengajar terbatas, mempunyai rentangan dari yang sederhana sampai yang kompleks, dari yang mengimplementasikan guru sebagai pusat keaktifan sampai kepada penciptaan situasi yang memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan secara optimal. Jenis–jenis keterampilan mengajar tersebut meliputi:
1. Keterampilan Bertanya (Dasar dan Lanjutan)
2. Keterampilan Memberi Penguatan
3. Keterampilan Mengadakan Variasi
4. Keterampilan Menjelaskan
5. Keterampilan Membuka dan Menutup Pelajaran
6. Keterampilan Memimpin Diskusi Kelompok Kecil
7. Mengajar Kelompok Kecil dan Perorangan
8. Keterampilan Mengelola Kelas
Share:
Read More

Manajemen Berbasis Sekolah Apakah Itu ?

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari istilah School-Based Management (SBM) sebagai suatu model pengelolaan sekolah secara desentralisasi di tingkat sekolah. MBS merupakan sistem pengelolaan sekolah yang menjadikan lembaga sekolah sebagai institusi yang memiliki otonomi luas dengan segala tanggungjawabnya untuk mengembangkan dan melaksanakan visi, misi, dan tujuan-tujuan yang disepakati. Sekolah memiliki kewenangan luas untuk menetapkan berbagai kebijakan teknis operasional sekolah dengan berbagai implikasinya sesuai dengan kebutuhan aktual siswa atau masyarakat. Dalam MBS, sekolah memiliki kewenangan luas untuk menggali dan memanfaatkan berbagai sumberdaya sesuai dengan prioritas kebutuhan aktual sekolah.

Implementasi praktis dari konsep dasar MBS sangat bervariasi dari satu negara dengan negara lainnya, bahkan dari satu sekolah dengan sekolah lainnya. Hal ini sangat tergantung kepada sistem politik pendidikan dan kebijakan dasar sistem pengelolaan pendidikan yang diterapkan di negara yang bersangkutan. Di negara bagian Quesland, Australia, misalnya, MBS dilaksanakan dengan mempadukan kebijakan dasar pendidikan pemerintah negara bagian dengan aspirasi dan partisipasi masyarakat yang dihimpun dalam wadah “School Council” dan “Parent and Community Association”. Perpaduan dari dua kepentingan tersebut dibicarakan dan didiskusikan secara terbuka, dan hasilnya dituangkan dalam dokumen tertulis yang dijadikan pedoman bagi semua pihak terkait. Dokumen tertulis tersebut terdiri dari: 1) “school policy” (kebijakan sekolah) yang memuat visi, misi, tujuan, dan sasaran-sasaran prioritas pengembangan program sekolah untuk mencapai visi, misi, dan tujuan-tujuan yang dikehendaki bersama, 2) “school planning review”, yaitu rencana jangka pendek atau menengah sekolah yang memuat berbagai rencana kerja sekolah untuk jangka waktu antara tiga sampai lima tahun, dan 3) “school annual planning”, yaitu program kerja tahunan sekolah yang lebih rinci, termasuk anggaran biaya yang diperlukan.

Penilaian terhadap penjaminan, kualitas dan akuntabilitas hasil kegiatan sekolah (quality assurance and accountability of the school programs) dilakukan melalui monitoring dan evaluasi secara kontinyu oleh berbagai pihak yang terkait dengan kegiatan sekolah. Bahkan jika perlu, pihak “school council” dan “parent and community association” membentuk tim monitoring dan evaluasi yang bersifat permanen. Anggota tim ini dipilih secara demokratis dari kedua belah pihak sebagai representasi dari kedua lembaga tersebut. Dengan cara ini, perkembangan dan kemajuan sekolah dapat selalu dimonitor dan diinformasikan kepada kedua lembaga yang bersangkutan sebagai bahan evaluasi untuk perubahan atau perbaikan dokumen yang disepakati bersama. Secara teoritis, pengelolaan sekolah dalam MBS ditandai oleh adanya karakteristik dasar pemberian otonomi sekolah yang luas dan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi dalam mendukung program sekolah. Otonomi yang luas diberikan kepada institusi lokal sekolah untuk mengelola berbagai sumberdaya yang tersedia dan mengalokasikan dana yang tersedia sesuai dengan prioritas kebutuhan sekolah dalam upaya meningkatkan mutu sekolah secara umum dan mutu hasil belajar siswa. Sekolah diberi kewenangan yang luas untuk mengembangkan program-program kurikulum dan pembelajaran yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa serta tuntutan masyarakat setempat. Dengan otonomi luas ini, sekolah dapat meningkatkan kinerja staf dengan menawarkan partisipasi aktif mereka dalam mengambil keputusan bersama dan bertanggungjawab bersama dalam pelaksanaan keputusan yang diambil.

Selain otonomi yang luas, sekolah juga didukung oleh adanya partisipasi yang tinggi dari pihak orangtua siswa dan masyarakat di sekitar sekolah dalam merealisir program-program sekolah. Orangtua dan masyarakat tidak hanya mendukung sekolah melalui bantuan finansial, tetapi bersama “school council” merumuskan dan mengembangkan program-program yang dapat meningkatkan kualitas sekolah secara umum. Masyarakat menyediakan diri untuk membantu sekolah sebagai narasumber atau organisator kegiatan sekolah yang dapat meningkatkan mutu hasil belajar siswa dan prestise sekolah secara keseluruhan. Orangtua dan masyarakat juga terlibat secara aktif dalam proses kontrol kualitas pengelolaan sekolah. 

Dengan demikian, dalam pelaksanaan MBS, sekolah dituntut untuk memiliki tingkat “accountability” yang tinggi kepada masyarakat dan pemerintah. Dalam prakteknya, pelaksanaan MBS akan bervariasi dari satu sekolah dengan sekolah yang lainnya atau antara satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini sangat tergantung dari persiapan aspek-aspek pendukung implementasi MBS di tingkat sekolah serta kemampuan sumber daya manusia pelaksana di tingkat sekolah. Implementasi MBS dalam pengelolaan pendidikan dasar di Indonesia, khususnya Sekolah Dasar, memerlukan modifikasi konsep dan aplikasi sesuai dengan kondisi aktual sekolah, agar inovasi yang ditawarkan dapat dilaksanakan dengan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar MBS. Selain itu, penerapan MBS secara praktis perlu dukungan berbagai faktor yang dewasa ini secara aktual ada sekolah, sehingga MBS mampu meningkatkan efektivitas pengelolaan SD dengan lebih baik.
Share:
Read More

Budaya Menulis dan Meneliti di Kalangan Guru

Kemampuan guru untuk menuliskan gagasan-gagasannya dalam bentuk tulisan masih sangat rendah. Beberapa hal seperti waktu yang dimiliki sebagian guru merupakan kambing hitam yang kerapkali dijadikan alasan mengapa para guru enggan untuk menulis. Sebagian lain menyatakan bahwa menulis meruapakan bakat sehingga tidak semua orang dapat menulis dengan baik. Padahal sebagai sebuah media, menulis memungkinkan seorang guru untuk menyampaikan gagasannya tentang apa saja, khususnya tentang profesinya selaku pendidik.

Sebagai bukti bahwa menulis adalah sesuatu yang mudah dan sebenarnya telah dimulai oleh guru sebelumnya adalah kebiasaan untuk mengisi jurnal mengajar setiap hari. Menuliskan aktivitas apa saja yang telah dilakukan selama mengajar, aktivitas siswa selama pembelajaran oleh guru, keadaan sekolah dan siswa merupakan tema sederhana dan mudah untuk dijadikan ide awal dalam guru menulis. Sesuatu yang harus ditanamkan didalam hati adalah bahwa menulis merupakan hal yang mudah.

Selanjutnya, selain lemah dalam menulis dan beum adanya budaya menulis dikalangan guru, meneliti juga merupakan sesuatu yang belum menjadi budaya dikalangan guru. Meneliti sering hanya diasumsikan sebagai kemampuan yang harus dimiliki seorang ilmuwan. Padahal sebagai tanggungjawab profesi yang dimilikinya maka seorang guru mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya, mengasah atau bahkan menambahnya melalui kegiatan penelitian. Topik penelitian yang memungkinkan seorang guru untuk diangkat adalah tentang apa yang dia lakukan di kelas, permasalahan yang mengemuka di kelas, dan inovasi yang dilakukannya terhadap pembelajaran di kelas.

Keuntungan adanya penelitian oleh guru adalah dapat menjadi alat ampuh untuk (1) meningkatkan kerjasama antar guru, terutama guru antar mata pelajaran, (2) saling bertukar pikiran dan berdiskusi mengenai masalah-masalah pembelajaran yang mereka hadapi bersama, (3) menjadi sarana komunikasi dan kolaborasi (kemitraan) antara guru dengan dosen sebidang studi (Susilo, 2001 :  23).

Saat ini penting untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran aktual oleh orang yang terlibat langsung dalam kelas yaitu guru. Penelitian ini dikenal sebagai Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau class room action research. PTK di Indonesia merupakan yang mengemuka karena jenis program ini menawarkan pendekatan dan prosedur baru yang lebih menjanjikan dampak langsung dalam bentuk (1) perbaikan dan peningkatan profesionalisme guru dalam mengelola proses pembelajaran di kelas; (2) implementasi berbagai program di sekolah dengan mengkaji berbagai indikator keberhasilan proses dan hasil pembelajaran yang terjadi pada siswa dan keberhasilan proses dan implementasi berbagai program sekolah (Natawijaya, 1999).

Secara singkat, Natawijaya telah mendefinisikan bahwa PTK sebagai bentuk kajian bersifat reflektif oleh pelaku tindakan, yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari tindakan-tindakan yang dilakukan itu, serta memperbaiki kondisi di mana praktek-praktek pembelajaran tersebut dilakukan
Share:
Read More

MBS dan Pengelolaan Lingkungan Sekolah

Sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional penyelenggaraan pendidikan diharapkan mampu berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berkaitan dengan tujuan pendidikan inilah posisi stakeholder pendidikan berada sebagai fungsi penting yang tidak boleh tertinggal


MBS sebagai sistem yang diadaptasi dari konsep pendidikan Australia sebenarnya merupakan konsep penyelematan dunia pendidikan kita pasca krisis 1998. Hal ini terbukti dalam rekomendasi Bank dunia “Education In Indonesia: from crisis to recovery” dan Propenas 1999. Selanjutnya melalui rekomendasi ini sistem pendidikan yang sentralistik dirombak untuk menjadi lebih disentralistik dengan melibatkan komponen-komponen bangsa yang kemudian kita kenal sebagai stake holder sekolah. Sehingga MBS sering identik dengan pendidikan desentralistik.


Pada gilirannya senada dengan apa yang pernah digagas oleh pakar pendidikan F. Korten (1981), pendidikan sentralistik kurang dapat memberikan pelayanan efektif, maka dalam mewujudkan efektifitas dalam MBS yang telah disentralistik maka perlu ditetapkan sebuah perencanaan pendidikan yang tepat. MBS sebagai suatu sistem pada pendidikan dimana terjadi desentralisasi otoritas dan tanggungjawab yang memberikan kewenangan/otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan yangberhubungan dengan alokasi sumber di dalam kerangka kerja terpadau (centrally-determined frameword) yang dipengaruhi oleh tujuan, kebijakan, standar dan akuntabilitas. Sumber disini diartikan secara luas yang meliputi pengetahuan, teknologi, kekuasaan, materi, personalia, waktu, hasil kajian, informasi dan dana. Disebabkan komponen yang melingkupinya maka perencanaan merupakan bagian yang strategis, dan inilah kosekuensi terakhir pelaksanaan MBS di sekolah.


Demi optimalisasi penerapan MBS di sekolah maka penting disusun rencana pengembangan sekolah yang teliti dan cermat. Rencana ini ditujukan dalam rangka meningkatkan kemampuan sekolah dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas, perbaikan sarana prasarana pendidikan sekolah memiliki kunci pembelanjaan yang tersedia dengan bijaksana. Selain daripada itu rencana pengembangan ini penting dalam rangka meningkatkan kepercayaan para pemangku kepentingan. Sebab hanya dengan pola kemitraan bersama pihak pemangku kepentingan pengembangan sekolah dapat berjalan secara optimal dan efektif. Optimal dalam pemanfaatan segala komponen sumberdaya yang ada dan yang mungkin diperoleh guna mencapai tujuan yang diinginkan di masa datang serta efektif dalam penggunaan komponen sumber daya yang dimiliki. Komponen-komponen ini merupakan bagian yang saling terkait secara sistematis antara satu sama lain, yaitu konteks, input, proses, output dan outcome.


Keberadaan rencana pengembangan sekolah merupakan langkah sekolah dalam menerapkan konsep berfikir sebelum bertindak. Sebab setelah diterapkannya MBS di sekolah maka secara tidak langsung telah diterapkan pula otonomi sekolah. Melalui otonomi ini diharapkan setiap sekolah mampu mengelola dan mengembangkan sekolahnya menjadi mandiri, berkualitas dan memiliki sarana pendidikan yang lengkap.


Untuk mewujudkan hal tersebut maka sebuah perencanaan menjadi hal yang teramat penting, mengingat secara umum sumber daya sekolah amat terbatas. Sehingga pilihan yang realistis dalam peningkatan dan pencapaian kemandirian adalah melalui  tahapan-tahapan perencanaan rencana yang komprehensif memperhatikan peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal. Sehingga sekolah mampu mencari dan menemukan strategi dan program-program untuk memanfaatkan peluang dan kekuatan yang dimiliki, mengatasi tantangan dan kelemahan yang ada, guna mencapai visi misi yang diinginkan.

Share:
Read More

Iklim Kerja di Sekolah

Secara konsep, iklim lingkungan kerja di sekolah didefinisikan sebagai seperangkat atribut yang memberi warna atau karakter, spirit, ethos, suasana bathin, dari setiap sekolah (Fisher & Fraser, 1990; Tye, 1974). Secara operasional, sebagaimana halnya pengertian iklim pada cuaca, iklim lingkungan kerja disekolah diukur dengan menggunakan rata-rata dari persepsi komunitas sekolah terhadap aspek-aspek yang menentukan lingkungan kerja. Persepi tersebut dapat diukur dengan cara pengamatan langsung dan wawancara dengan anggota komunitas lingkungan, khususnya guru, maupun dengan cara yang lebih praktis dan ekonomis tetapi reliable, yaitu mengedarkan angket yang telah divalidasi.


Peran Penting Iklim Kerja di sekolah


Sebagaimana halnya dengan faktor-faktor lain seperti kurikulum, sarana, dan kepemimpinan kepala lingkungan, sekolah pembelajaran di kelas dan sekolah memegang peranan penting dalam pembentukan sekolah yang efektif. Selama dua dasawarsa lingkungan pembelajaran di sekolah ditengarai sebagai salah satu factor penentu keefektifan suatu sekolah (Creemer et al.,1989). Setahun kemudian Fisher dan Fraser (1990) juga menyatakan bahwa peningkatan mutu lingkungan kerja di sekolah dapat menjadikan sekolah lebih efektif dalam memberikan proses pembelajaran yang lebih baik. Freiberg (1998) menegaskan bahwa iklim kerja yang sehat di suatu sekolah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap proses KBM yang efektif. Ia memberikan argumen bahwa pembentukan lingkungan kerja sekolah yang kondusif menjadikan seluruh anggota sekolah melakukan tugas dan peran mereka secara optimal.


Hasil-hasil penelitian selaras dengan dan mendukung terhadap penegasan tersebut. Misalnya, penelitian oleh Van de Grift dan kawan-kawan (1997) di 121 sekolah menengah di Belanda menunjukkan bahwa prestasi akademik siswa untuk bidang matematika dipengaruhi oleh sikap siswa terhadap mata pelajaran matematika, apresiasi terhadap usaha guru, serta lingkungan pembelajaran yang terstruktur. Atwool (1999) menyatakan bahwa lingkungan pembelajaran sekolah, dimana siswa mempunyai kesempatan untuk melakukan hubungan yang bermakna di dalam lingkungan sekolahnya, sangat diperlukan untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa, memfasilitasi siswa untuk bertingkah laku yang sopan, serta berpotensi untuk membantu siswa dalam menghadapi masalah yang dibawa dari rumah. Selanjutnya Samdal dan kawan-kawan (1999) juga telah mengidentifikasi tiga aspek lingkungan psikososial sekolah yang menentukan prestasi akademik siswa. Ketiga aspek tersebut adalah tingkat kepuasan siswa terhadap sekolah, terhadap keinginan guru, serta hubungan yang baik dengan sesama siswa. Mereka juga menyarankan bahwa intervensi sekolah yang meningkatan rasa kepuasan sekolah akan dapat meningkatkan prestasi akademik siswa. Hoy dan Hannum (1997) menemukan bahwa lingkungan sekolah dimana rasa kebersamaan sesama guru tinggi, dukungan sarana memadai, target akademik tinggi, dan kemantapan integritas sekolah sebagai suatu institusi mendukung pencapaian prestasi akademik siswa yang lebih baik. Selain dari itu, Sweetland dan Hoy (2000) menyatakan bahwa iklim kerja sekolah dimana pemberdayaan guru menjadi prioritas adalah sangat esensial bagi keefektifan sekolah yang pada muaranya mempengaruhi prestasi siswa secara keseluruhan. Hasil-hasil penelitian juga menunjukkan hubungan antara iklim kerja sekolah dengan sikap siswa terhadap mata pelajaran. Papanastaiou (2002) menyatakan bahwa baik secara langsung maupun tidak langsung, iklim kerja sekolah memberi efek terhadap sikap siswa terhadap mata pelajaran IPA di sekolah menengah.


Instrument untuk Mengukur Iklim Lingkungan Kerja


Pengembangan dan pembuatan kuisioner atau angket untuk mengukur lingkungan kerja suatu organisasi atau institusi dimulai sekitar tahun 1960. Pace dan Stern (1958) mengembangkan kuisioner ‘College Characteristic Index’ (CCI) untuk mengukur persepsi dosen dan mahasiswa terhadap 30 karakter dari lingkungan psikososial tingkat universitas. Bersumber dari kuisioner tersebut, Stern (1970) mendesain kusioner ‘High School Characteristic Index’ (HSCI) untuk mengukur iklim lingkungan psiokososial di sekolah menengah. Dua buah instrument pengukur iklim lingkungan kerja yang paling banyak dipakai adalah ‘Organisational Climate Description Questionnaire’ (OCDQ) yang dikembangkan oleh Halpin dan Croft (1963) dan ‘Work Environmnetal Scale’ (WES) yang dibuat oleh Moss (1974). Kedua instrument ini dijadikan acuan oleh Rentoul dan Fraser (1983) untuk membuat ‘School Level Environmnet Scale’ atau SLEQ, dan Giddings dan Dellar (1990) dalam mengembangkan ‘School Organisational Climate Questionnaire’ (SCOQ) yang lebih sesuai untuk mengevaluasi iklim lingkungan kerja di sekolah menengah

Share:
Read More

Motivasi Berprestasi

Motivasi berprestasi menurut kamus istilah Manajemen Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen adalah: Suatu usaha untuk mencapai sukses, yang bertujuan untuk berhasil dalam berkompetisi suatu ukuran keunggulan. (Moekijat, 2001:5). Ukuran keunggulan yang dimaksud dalam hal ini dapat berupa prestasi orang lain, tetapi dapat juga berupa prestasi orang itu sendiri yang dicapai pada waktu sebelumnya. Seseorang yang takut terhadap kegagalan dapat menggangu keberhasilan belajarnya.

Ciri orang yang mempuyai motivasi berprestasi tinggi menurut Moekijat (2001:12) bahwa orang yang mempunyai prestasi tinggi cenderung memiliki kekhawatiran akan gagal. Disamping itu orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi memiliki sikap positif terhadap situasi yang mendukung ter adinya motivasi berprestasi.

Motivasi berprestasi adalah suatu kecenderungan seseorang untuk
meningkatkan atau mempertahankan kecakapan dalam semua bidang dengan
standar kualitas sebagai pedomannya. Standar kualitas motivasi berprestasi
menurut Heckhusen dalam Rofiatul Hosna (2000), adalah: (1) dalam
menyelesaiakan tugas harus baik, (2) membandingkan dengan prestasi sebelumnya, (3) membandingkan dengan prestasi yang diperoleh orang lain.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa : motivasi merupakan suatu kondisi yang menimbulkan dan mengaktifkan perilaku, yaitu dengan cara meningkatkan intensitas dan mengarahkan perilaku. Jadi adanya motivasi merupakan indikator kesungguhan dan kontinuitas perilaku yang mengarah pada objek tertentu.

Membahas tentang motivasi tidak terlepas dari pembahasan tentang perilaku secara keseluruhan, karena motivasi adalah proses penyebab timbulnya perilaku, banyak teori yang membahas motivasi sebagai sebab timbulnya perilaku, namun secara garis besar teori-teori tersebut dapat digolongkan menjadi tiga golongan. Yaitu: (a) teori insting, (b) teori dorongan (drive), dan (c) teori kognitif (Moekijat 2000). Proses timbulnya teori motivasi di atas dimulai dari adanya kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya internal. Kebutuhan-kebutuhan tersebut menimbulkan ketegangan pada organisme dan keterangan ini menimbulkan suatu dorongan yang bertujuan mengadakan pemuasan terhadap kebutuhan agar ketegangan yang sedang berlangsung hilang atau berkurang. Pemuasan terhadap kebutuhan ini dapat terpenuhi dengan dihadirkannya objek pemuman pada dunia eksternal. Faktor internal dan faktor eksternal mempunyaoi fungsi yang sarna dalam menggerakkan organisme, sehinggga timbul suatu ak-tifitas.

Menurut Mc dougall dan Hull (dalam Petri, 1988) pendekatan-­pendekatan di atas sama-sama tidak menyangkal terhadap fungsi faktor suatu -kondisi yang meningkatkan intensitas dan mengarahkan perilaku. Jadi adanya motivasi merupakan indikator kesungguhan dan kontinuitas perilaku yang mengarah pada objek tertentu. Membahas tentang motivasi tidak terlepas dari pembahasan tentang perilaku secara keseluruhan, karena motivasi adalah proses penyebab timbulnya perilaku, banyak teori yang membahas motivasi sebagai sebab timbulnya perilaku, namun secara garis besar teori-teori tersebut dapat digolongkan menjadi tiga golongan. Yaitu: (a) teori insting, (b) teori dorongan (drive), dan (c) teori kognitif (Moekijat 2000). Proses timbulnya teori motivasi di atas dimulai dari adanya kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya internal. Kebutuhan-kebutuhan tersebut menimbulkan ketegangan pada organisme dan keterangan ini menimbulkan suatu dorongan yang bertujuan mengadakan pemuasan terhadap kebutuhan agar ketegangan yang sedang berlangsung hilang atau berkurang. Pemuasan terhadap kebutuhan ini dapat terpenuhi dengan dihadirkannya objek pemuasan pada dunia eksternal. Faktor internal dan faktor eksternal mempunyai fungsi yang sama dalam menggerakkan organisme, sehinggga timbul suatu ak-tifitas.

Menurut Mc dougall dan Hull (dalam Petri, 1988) pendekatan­-pendekatan di atas sama-sama tidak menyangkal terhadap fungsi faktor internal sebagai penyebab timbulnya perilaku, tetapi masih terdapat perbedaan dalam menetapkan istilah motivasi. Misalnya ada yang menyatakan bahwa motivasi itu adalah faktor internal, sedangkan faktor eksternal adalah faktor non motivasional. Menurut Petri, (1988) ada pula yang menyatakan bahwa motivasi itu menyangkut faktor eksternal. Terlepas dari perbedaan dan penerapan istilah yang dikemukakan di atas, motivasi yang dijadikan dasar dalam penelitian ini adalah segala sesuatu yang menggerakkan organisme baik itu sumbernya dari faktor internal dan faktor eksternal sesuai dengan pendapat yang lebih lanjut.

Motivasi merupakan suatu proses yang mengarah pada pencapaian suatu tujuan, motivasi adalah kontruksi yang mengaktifkan dan mengarahkan perilaku dengan cars memberi dorongan atau days organisme, sehingga terjadi perilaku. Petri (1988) berkeyakinan bahwa perilaku selain refleks-refleks tidak akan ter adi tanpa adanya motivasi yang juga disebutnya dengan istilah Drive. Motivasi merupakan suatu kontruksi dengan tiga karakteristik yaitu intensitas dan arch pada individu melakukan sesuatu secara terus menerus. Petri (1988) menyatakan bahwa motivasi merupakan suatu istilah untuk menyatakan identitas suatu perilaku. Artinya identitas atau perilaku tergantung pada besar kecilnya motivasi yang ada.

Berdasarkan pada pendapat-pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi merupakan suatu kondisi yang menimbulkan dan mengaktifkan perilaku, yaitu dengan cars meningkatkan intensitas dan mengarahkan prilaku. Dengan demikian perilaku ter adi secara persistem dan mengarah pada tujuan tertentu. Jadi adanya motivasi merupakan indikator kesungguhan dan kontinuitas perilaku yang mengarah pada objek tertentu.
Share:
Read More

Belajar dan Kebutuhan Penyesuaian Diri

Belajar sebagaimana didefiniskan diatas meruapakan perilaku alamiah manusia dalam rangka beradaptasi dengan lingkungannya, yang lambat laun bergerak cepat sering kemajuan peradaban manusia. Oleh sebab itu proses belajar harus didesain sedemikian rupa agar menjadi proses perubahan tanpa melupakan tuntutan kebutuhan yang ada. Belajar haruslah memiliki makna, dan memberikan kemudahan bagi peserta didik disaat beradaptasi dengan lingkungan.

Berkaitan dengan hal ini, untuk menghadapi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan dunia yang sangat cepat, Unesco (Nana Syaodih Sukmadinata dalam Sudrajat, 2008) merumuskan empat pilar belajar, yaitu: belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar berkembang secara utuh (learning to be).

1. Belajar mengetahui (learning to know)
Belajar mengetahui berkenaan dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan informasi. Dewasa ini terdapat ledakan informasi dan pengetahuan. Hal itu bukan saja disebabkan karena adanya perkembangan yang sangat cepat dalam bidang ilmu dan teknologi, tetapi juga karena perkembangan teknologi yang sangat cepat, terutama dalam bidang elektronika, memungkinkan sejumlah besar informasi dan pengetahuan tersimpan, bisa diperoleh dan disebarkan secara cepat dan hampir menjangkau seluruh planet bumi. Belajar mengetahui merupakan kegiatan untuk memperoleh, memperdalam dan memanfaatkan pengetahuan. Pengetahuan diperoleh dengan berbagai upaya perolehan pengetahuan, melalui membaca, mengakses internet, bertanya, mengikuti kuliah, dll. Pengetahuan dikuasai melalui hafalan, tanya-jawab, diskusi, latihan pemecahan masalah, penerapan, dll. Pengetahuan dimanfaatkan untuk mencapai berbagai tujuan: memperluas wawasan, meningkatakan kemampuan, memecahkan masalah, belajar lebih lanjut, dll.

Jacques Delors (1996), sebagai ketua komisi penyusun Learning the Treasure Within, menegaskan adanya dua manfaat pengetahuan, yaitu pengetahuan sebagai alat (mean) dan pengetahuan sebagai hasil (end). Sebagai alat, pengetahuan digunakan untuk pencapaian berbagai tujuan, seperti: memahami lingkungan, hidup layak sesuai kondisi lingkungan, pengembangan keterampilan bekerja, berkomunikasi. Sebagai hasil, pengetahuan mereka dasar bagi kepuasaan memahami, mengetahui dan menemukan.

Pengetahuan terus berkembang, setiap saat ditemukan pengetahuan baru. Oleh karena itu belajar mengetahui harus terus dilakukan, bahkan ditingkatkan menjadi knowing much (berusaha tahu banyak).

2. Belajar berkarya (learning to do)
Agar mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi dalam masyarakat yang berkembang sangat cepat, maka individu perlu belajar berkarya. Belajar berkarya berhubungan erat dengan belajar mengetahui, sebab pengetahuan mendasari perbuatan. Dalam konsep komisi Unesco, belajar berkarya ini mempunyai makna khusus, yaitu dalam kaitan dengan vokasional. Belajar berkarya adalah balajar atau berlatih menguasai keterampilan dan kompetensi kerja. Sejalan dengan tuntutan perkembangan industri dan perusahaan, maka keterampilan dan kompetisi kerja ini, juga berkembang semakin tinggi, tidak hanya pada tingkat keterampilan, kompetensi teknis atau operasional, tetapi sampai dengan kompetensi profesional. Karena tuntutan pekerjaan didunia industri dan perusahaan terus meningkat, maka individu yang akan memasuki dan/atau telah masuk di dunia industri dan perusahaan perlu terus bekarya. Mereka harus mampu doing much (berusaha berkarya banyak).

3. Belajar hidup bersama (learning to live together)
Dalam kehidupan global, kita tidak hanya berinteraksi dengan beraneka kelompok etnik, daerah, budaya, ras, agama, kepakaran, dan profesi, tetapi hidup bersama dan bekerja sama dengan aneka kelompok tersebut. Agar mampu berinteraksi, berkomonikasi, bekerja sama dan hidup bersama antar kelompok dituntut belajar hidup bersama. Tiap kelompok memiliki latar belakang pendidikan, kebudayaan, tradisi, dan tahap perkembangan yang berbeda, agar bisa bekerjasama dan hidup rukun, mereka harus banyak belajar hidup bersama, being sociable (berusaha membina kehidupan bersama)


4. Belajar berkembang utuh (learning to be)
Tantangan kehidupan yang berkembang cepat dan sangat kompleks, menuntut pengembangan manusia secara utuh. Manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek intelektual, emosi, sosial, fisik, maupun moral. Untuk mencapai sasaran demikian individu dituntut banyak belajar mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Sebenarnya tuntutan perkembangan kehidupan global, bukan hanya menuntut berkembangnya manusia secara menyeluruh dan utuh, tetapi juga manusia utuh yang unggul. Untuk itu mereka harus berusaha banyak mencapai keunggulan (being excellence). Keunggulan diperkuat dengan moral yang kuat. Individu-individu global harus berupaya bermoral kuat atau being morally.
Share:
Read More

Mengenal Pengembangan Potensi Anak

Selaras dengan apa yang dikatakan Bobby Deporter dalam bukunya Quantum Learning bahwa agar efektif belajar dapat dan harus menyenangkan. Untuk menyenangi suatu mata pelajaran yang diajarkan , guru dituntut kreatif menciptakan situasi yang inovatif dengan mengerahkan secara optimal sumber daya dan sumber dana yang ada. Guru yang berada di barisan terdepan dalam pendidikan harus bisa meramu agar penyampaian materi menjadi lebih menarik dan menyenangkan. Guru dalam melaksanakan tugas belajar mengajar hendaknya berpegang pada prinsip mendidik yang antara lain: perhatian , penyuluhan , pengorbanan, dan peneguhan. Menyadari dari prinsip tersebut, seorang guru dalam menjalankan tugasnya tidak hanya pengajar, tetapi seorang guru harus betul-betul professional dalam melihat, menganalisa , mengevaluasi , serta mampu memberikan bantuan pada siswa untuk memecahkan masalahnya.

Sebuah dilema, guru yang dianggap sebagai penentu dan paling berpengaruh dalam hal menanamkan konsep, telah menguasai materi pembelajaran , mampu memilih dan menerapkan metode, menetapkan media pembelajaran dihadapkan pada siswa yang mempunyai potensi dan kemauan belajar di sekolah yang cukup menghasilkan hasil belajar yang kurang optimal. Terilhami oleh suatu ungkapan “ Saya mendengar lalu saya lupa, saya melihat lalu saya ingat, saya berbuat lalu saya mengerti “ serta “ Mulailah dari diri sendiri, mulai dari yang kecil , dan mulai sekarang “ maka penulis berasumsi bahwa lingkungan belajar anak baik formal dan informal dapat mempercepat proses belajar mengajar dalam rangka meningkatkan mutu.


Potensi Anak

Masa kanak-kanak adalah masa yang sangat penrting bagi seorang anak untuk belajar dari dunia sekelilingnya. Anak dapat mengembangkan ketrampilan yang memudahkan baginya menjadi bagian dari lingkungan dan berperan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Periode awal kehidupan ini ( anak klas VI SD usia 12 – 14 tahun ) adalah masa yang kritis untuk menentukan masa depan anak. Pada masa ini banyak terjadi perkembangan perkembangan antara lain :

a. Perkembangan fisik : bertambahnya tinggi dan berat yang relatif lambat dan uniform. Pada umumnya anak perempuan lebih cepat mencapai pubertas daripada anak laki-lakinya karenanya anak laki-laki pada umumnya lebih pendek dari anak perempuan sebayanya.

b. Perkembangan motorik : pada masa sekolah merupakan usia yang ideal untuk ketrampilan – ketrampilan yang tidak hanya berguna baginya pada masa itu, tetapi yang juga merupakan fondasi bagi ketrampilan – ketrampilan tinggi yang terkoordinir yang diperlukan dikemudian hari

c. Perkembangan bahasa : dasar-dasar atau fondasi bahasa diletakkan pada masa kanak-kanak.Perbendaharaan kata anak berkembang begitu cepat , horizon social anak semakin luas, dia sudah menyadari bahwa bahasa merupakan alat yang penting untuk kesatuan kelompok. Hal ini menyebabkan motivasinya menjadi lebih besar untuk berbicara .Pada masa ini pula muncul bahasa rahasia yang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan kawan akrabnya.

d. Perkembangan emosi : emosi-emosi yang umum dialami pada tahap perkembangan ini adalah marah, takut, cemburu,kasih saying, rasa ingin tahu, dan kegembiraan. Dari bertambah luasnya pengalaman dan belajar anak sering muncul pernyataan atau ekspresi baru tentang emosinya.

e. Perkembangan social. Anak mulai belajar mencintai dan dicintai di rumah , kesuksesan pengalaman social yang pertama akan menentukan keberhasilannya dalam hubungannya di luar lingkungan rumah.

f. Perkembangan pemahaman.Perasaan dan emosi mempengaruhi pa yang dilihatnya .Konsep-konsepnya sering bersalahan teruatama mengenai konsep social. Pemahaman mengenai lingkungannya akan meningkat melaluipengajaran formal yang diterimanya di kelas tetapi juga dari teman sebayanya dan melalui kemampuan membacanyaa
Share:
Read More

Pembelajaran Berorintasi Proses Belajar Pemecahan Masalah

“Belajar Pemecahan Masalah” mengacu pada proses mental individu dalam menghadapi suatu masalah untuk selanjutnya menemukan cara mengatasi masalah itu melalui proses berpikir yang sistematis dan cermat. Kesistematisan berpikir ini terlukis dalam langkah-langkah yang ditempuhnya. Secara umum langkah-langkah pemecahan masalah adalah sebagai berikut.


1.   Merasakan adanya masalah,


2.   Merumuskan masalah secara khusus dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan,


3.   Memberikan jawaban sementara atau hipotesis atas masalah yang diajukan,


4.   Mengumpulkan serta mengolah data dan informasi dalam rangka menguji tepat tidaknya jawaban sementara yang diberikan, serta


5.     Merumuskan kesimpulan mengenai pemecahan masalah tersebut dan mencoba melihat kemungkinan penerapan dari kesimpulan itu.


Agar peserta didik dapat berhasil dalam belajar pemecahan masalah, mereka harus memiliki:


a.   kemampuan mengingat konsep, aturan atau hukum yang telah dipelajari. Misalnya, dalam memecahkan masalah yang berhubungan dengan matematika, siswa harus mampu mengingat aturan-aturan penghitungan dan dapat mengingatnya dalam waktu yang cepat;


b.   informasi yang terorganisasi yang sesuai dengan masalah yang dihadapi; serta


c.   kemampuan strategi kognitif, yaitu kemampuan yang berfungsi untuk mengarahkan dan memonitor penggunaan konsep-konsep atau aturan. Misalnya kemampuan dalam memilih dan mengubah cara-cara mempelajari, mengingat, dan memikirkan sesuatu. Kemampuan ini merupakan keterampilan internal yang terorganisasi, yang mempengaruhi proses berpikir individu. Contoh kemampuan strategi kognitif adalah cara menganalisis masalah, teknik berpikir, pendekatan masalah, dan sebagainya. Fungsi dari strategi kognitif adalah memecahkan masalah secara praktis dan efisien.



Untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar pemecahan masalah, guru hendaknya mengajukan berbagai permasalahan yang menarik. Masalah yang menarik bagi siswa adalah sesuatu yang baru. Dalam arti, masalah tersebut belum pernah disampaikan kepada peserta didik Di samping itu, masalah yang diberikan hendaknya berada dalam jangkauan peserta didik yakni sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka miliki.


Agar peserta didik berhasil dalam belajar pemecahan masalah, guru hendaknya memberikan petunjuk yang jelas. Petunjuk tersebut dapat berupa pertanyaan yang diajukan untuk mengingat kembali konsep, hukum, atau aturan yang relevan dengan masalah yang dihadapi. Petunjuk tersebut dapat juga berupa bimbingan dalam mengarahkan pemikiran siswa.

Share:
Read More