Sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional penyelenggaraan pendidikan diharapkan mampu berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berkaitan dengan tujuan pendidikan inilah posisi stakeholder pendidikan berada sebagai fungsi penting yang tidak boleh tertinggal
MBS sebagai sistem yang diadaptasi dari konsep pendidikan Australia sebenarnya merupakan konsep penyelematan dunia pendidikan kita pasca krisis 1998. Hal ini terbukti dalam rekomendasi Bank dunia “Education In Indonesia: from crisis to recovery” dan Propenas 1999. Selanjutnya melalui rekomendasi ini sistem pendidikan yang sentralistik dirombak untuk menjadi lebih disentralistik dengan melibatkan komponen-komponen bangsa yang kemudian kita kenal sebagai stake holder sekolah. Sehingga MBS sering identik dengan pendidikan desentralistik.
Pada gilirannya senada dengan apa yang pernah digagas oleh pakar pendidikan F. Korten (1981), pendidikan sentralistik kurang dapat memberikan pelayanan efektif, maka dalam mewujudkan efektifitas dalam MBS yang telah disentralistik maka perlu ditetapkan sebuah perencanaan pendidikan yang tepat. MBS sebagai suatu sistem pada pendidikan dimana terjadi desentralisasi otoritas dan tanggungjawab yang memberikan kewenangan/otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan yangberhubungan dengan alokasi sumber di dalam kerangka kerja terpadau (centrally-determined frameword) yang dipengaruhi oleh tujuan, kebijakan, standar dan akuntabilitas. Sumber disini diartikan secara luas yang meliputi pengetahuan, teknologi, kekuasaan, materi, personalia, waktu, hasil kajian, informasi dan dana. Disebabkan komponen yang melingkupinya maka perencanaan merupakan bagian yang strategis, dan inilah kosekuensi terakhir pelaksanaan MBS di sekolah.
Demi optimalisasi penerapan MBS di sekolah maka penting disusun rencana pengembangan sekolah yang teliti dan cermat. Rencana ini ditujukan dalam rangka meningkatkan kemampuan sekolah dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas, perbaikan sarana prasarana pendidikan sekolah memiliki kunci pembelanjaan yang tersedia dengan bijaksana. Selain daripada itu rencana pengembangan ini penting dalam rangka meningkatkan kepercayaan para pemangku kepentingan. Sebab hanya dengan pola kemitraan bersama pihak pemangku kepentingan pengembangan sekolah dapat berjalan secara optimal dan efektif. Optimal dalam pemanfaatan segala komponen sumberdaya yang ada dan yang mungkin diperoleh guna mencapai tujuan yang diinginkan di masa datang serta efektif dalam penggunaan komponen sumber daya yang dimiliki. Komponen-komponen ini merupakan bagian yang saling terkait secara sistematis antara satu sama lain, yaitu konteks, input, proses, output dan outcome.
Keberadaan rencana pengembangan sekolah merupakan langkah sekolah dalam menerapkan konsep berfikir sebelum bertindak. Sebab setelah diterapkannya MBS di sekolah maka secara tidak langsung telah diterapkan pula otonomi sekolah. Melalui otonomi ini diharapkan setiap sekolah mampu mengelola dan mengembangkan sekolahnya menjadi mandiri, berkualitas dan memiliki sarana pendidikan yang lengkap.
Untuk mewujudkan hal tersebut maka sebuah perencanaan menjadi hal yang teramat penting, mengingat secara umum sumber daya sekolah amat terbatas. Sehingga pilihan yang realistis dalam peningkatan dan pencapaian kemandirian adalah melalui tahapan-tahapan perencanaan rencana yang komprehensif memperhatikan peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal. Sehingga sekolah mampu mencari dan menemukan strategi dan program-program untuk memanfaatkan peluang dan kekuatan yang dimiliki, mengatasi tantangan dan kelemahan yang ada, guna mencapai visi misi yang diinginkan.
No comments:
Post a Comment