Tips Belajar Akuntansi

Filantropi Islam dan Antroposentrisme Nahdliyin


Filantropi (kedermawanan sosial) mungkin tergolong kata yang baru dan asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun, praktek kedermawanan sebenarnya merupakan bagian kehidupan masyarakat nusantara dan ajaran dari berbagai agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Misalnya, tradisi jimpitan, dalam masyarakat Jawa adalah sebuah praktek kedermawanan yang dilakukan kaum perempuan dengan menyisihkan beras yang akan dimasak untuk disumbangkan bagi kegiatan sosial lingkungan atau disumbangkan kepada warga yang mendapatkan musibah.Tradisi serupa juga ditemui di masyarakat Sunda dengan nama yang berbeda, yakni Perelek. Selain jimpitan, Masyarakat Jawa juga mengenal tradisi maleman, megengan dan kupatan, sebuah tradisi bertukar atau mengirim makanan untuk kerabat, handai taulan dan khususnya untuk orang-orang tidak mampu di sekitar lingkungan yang dilaksanakan setiap menjelang bulan puasa, menjelang lebaran dan setelah lebaran.


Sementara masyarakat Toraja mempraktikkan tradisi bua bungaran, sedangkan Masyarakat Bali mengenal dan mempraktikan tradisi Ngayah dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ngayah bagi masyarakat Bali adalah tindakan kolektif ikhlas tanpa pamrih untuk tujuan kepentingan umum dan agama di Bali. Konsep ini mirip dengan tradisi gotong royong di Jawa, namun secara khusus ngayah lebih pada sebuah pengabdian atau pemberian untuk tujuan keagamaan, kemasyarakatan, atau pada masa aristokrasi sebagai bentuk kesetiaan. Tradisi-tradisi yang masih berakar kuat dan dipraktikkan di berbagai daerah di Indonesia diatas, adalah bukti bahwa filantropi adalah keluhuran budaya bangsa ditengah modernitas dan globalisasi.

Dalam konteks keagamaan, praktek filantropi dapat ditemukan dalam bentuk zakat, infak, sedekah, wakaf dan jenis pemberian lainnya. Konsep serupa juga ditemukan dalam ajaran Kristen, Katolik maupun protestan, dalam bentuk Kolekte, Persepuluhan, Dana Puasa Pembangunan, dan lain-lain. Sedangkan dalam ajaran agama Hindu dan Budha dikenal dan dipraktekkan Dana Punia, Dharma, dan sebagainya. Sebagian dari kegiatan filantropi yang berkaitan dengan ajaran keagamaan itu bersifat wajib (obligatory) dan sebagian lainnya bersifat pemberian suka rela (voluntary) yang didorong dan dianjurkan dalam rangka tolong-menolong, kerjasama, muamalah, hubungan antarmanusia.

Mohammad Fuad (2005) mencatat filantropi yang berakar pada tradisi dan agama di Indonesia ini sebagai filantropi tradisional. Lebih jauh, secara etimologi filantropi berarti “cinta kepada kemanusiaan” atau “charity” atau sering diterjemahkan dengan “kedermawanan”. Secara filosofis, filantropi, sedikit berbeda dengan tradisi memberi dalam Islam [seperti zakat, infaq maupun shadaqah]. Filantropi  lebih bermotif moral yakni berorientasi pada ‘kecintaan terhadap manusia’, sementara dalam Islam, basis filosofisnya adalah ‘kewajiban’ dari ‘Yang di Atas’ untuk mewujudkan keadilan sosial di muka bumi.

Filantropi Islam dalam hal ini bisa diartikan sebagai kegiatan, baik dilakukan oleh sebuah lembaga maupun komunitas, yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, diantaranya melalui kegiatan ‘memberi’. Fenomena kelahiran organisasi-organisasi [NGO] dalam konteks Indonesia amal keagamaan seperti: Dompet Dhu’afa [Republika], Rumah Zakat, Laziz NU [Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqah Nahdatul Ulama], LazisMU [Lembaga Amil Zakat dan Shodaqah Muhammadiyah], Dewan Da’wah Infaq Club, BSMI [Bulan Sabit Merah Indonesia], PKPU [Pos Keadilan Peduli Umat] dan beberapa organisasi lain

Kemunculan organisasi tersebut ini dilatarbelakangi paling tidak dua krisis yakni krisis politik dan krisis ekonomi. Lembaga-lembaga filantropi Islam muncul untuk menanggapi kegagalan pemerintah dalam melayani seluruh warganya dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Karena krisis tersebut maka perlu adanya sebuah gerakan untuk menggalang dana dari masayarakat [zakat, infaq dan shadaqah] dalam rangka menolong masyarakat itu sendiri.

Gerakan filantropi Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup menarik dan signifikan terutama Pasca Orde Baru. Hal tersebut dapat dipahami menurut Hilman, karena pada era pasca Soeharto terdapat beberapa fenomena yang mendorong munculnya lembaga-lembaga amal berbasis keagamaan seperti adanya suasana politik yang baru dan lebih terbuka, terjadinya beberapa konflik komunal dan beberapa peristiwa bencana alam yang cukup besar [seperti gempa, tsunami dan letusan gunung Merapi]. 

Namun kegiatan-kegiatan dari lembaga-lembaga tersebut, kelihatannya masih terkonsentrasi pada aspek-aspek yang populis dengan membuat program-program untuk penyantunan, perbaikan tempat ibadah, pemberdayaan ekonomi, pelayanan kesehatan, atau juga pemberiaan beasiswa untuk anak-anak kurang mampu. Filantropi Islam di Indonesia tidak lebih merupakan fenomena masyarakat muslim kelas menengah ke atas. Lembaga-lembaga yang muncul biasanya diawali dengan kegiatan-kegiatan dakwah atau majlis ta’lim seperti yang terjadi di Jakarta, Bandung dan Surabaya, yang kemudian berkembang menjadi aktivisme sosial Islam dengan membentuk lembaga-lembaga amal. Kelas menengah dalam hal ini meliputi baik pelaku, institusi maupun pendukungnya. Perlu diberi catatan bahwa aktivis mahasiswa cukup mewarnai lembaga filantropi Islam di Indonesia.

Keberpihakan Nahdlatul Ulama
Dalam fenomena filantropi ini, baik NU maupun organisasi lain memiliki peluang yang sama dalam melaksanakan kegiatannya. Dalam khidmah ini PC GP Ansor Jombang bersama Yayasan Mata Air bekerjama dengan IPNU/IPPNU, ISNU, Fatayat dan PMII Kabupaten Jombang, memandang bahwa perlunya gerakan advokasi untuk memberi harapan kepada pelajar kurang mampu untuk melanjutkan studi di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Gerakan ini terangkum dalam Bimbingan Pasca Ujian Nasional yang hingga tahun 2014 ini telah berada ditahun ke -4, tahun 2011-2013 di PP An Najiyah Bahrul Ulum dan 2014 di PP Darul Ulum Rejoso Jombang. Memberikan pendampingan dibidang akademik, pernguatan soft skill dan beasiswa studi di PTN. Hal ini menjadi penting terlebih gerakan filantropi Islam di Indonesia termasuk fenomena baru, maka proses-proses advokasi belum menjadi prioritas lembaga-lembaga tersebut.

Untuk diketahui bersama bahwa Komunitas Mata Air didirikan oleh Gus Mus bersama sejumlah kyai, intelektual dan professional seperti Habib Luthfi bin Yahya, Drs. H. Maftuh Basyuni, Drs As’at Said Ali, KH Masdar F. Mas’udi, KH Muadz Thohir dan KH Thantowi Jauhari Musaddad. Nama “MataAir” sengaja dipilih sebagai titel komunitas ini karena adanya kerinduan terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang diwariskan Kanjeng Nabi Muhammad SAW dimana nilai-nilai tersebut bersumber dari “mata air” ajaran Kanjeng Nabi yang “jernih” dan belum terkontaminasi limbah peradaban modern. Para pendiri Komunitas Mata Air ingin mengajak seluruh anak cucu adam –tanpa sekat agama dan budaya- untuk melepas “dahaga spiritual”nya dengan meneguk kejernihan ajaran, nasihat dan teladan Kanjeng Nabi Muhammad SAW serta para ulama salaf langsung dari sumber aslinya, langsung dari “mata air”.

Lebih jauh, seiring kompetisi dan akses pendidikan yang masih kurang ramah kepada masyarakat yang kurang mampu. Tak sekedar itu, BPUN juga membekali pendidikan karakter, jiwa kepemimpinan, keberagamaan yang ramah kepada para pelajar agar mempunyai perspektif dan berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejak dirintis hingga 2012, sudah lebih dari 40 Kota/Kabupaten di seluruh Indonesia. Selain itu di dalam Asrama (pesantren) akan ditekankan pula pendidikan karakter, nilai keagamaan yang toleran tidak sekedar menjadi perbincangan, namun sekaligus menjadi ruh keseharian individu yang ada di dalamnya.

Tantangan Masa Depan
Pekerjaan rumah yang masih perlu dikerjakan ke depan adalah (1) Penataan organisasi, untuk semakin modern, kelembagaan yang terstruktur dan mempunyai sistem informasi yang bisa diakses masyarakat, sehingga akuntabilitas kelembagaan terjaga dengan baik. (2) Keahlian dan keterampilan di bidangnya masing-masing seperti dokter, perawat, dan lain-lain. (3) Semakin banyak dan semakin kuat. Karena kelembagaannya yang sudah solid dan didukung oleh kalangan professional, maka lembaga-lembaga amal ini semakin hari semakin berkembang baik dari sisi kualitas maupun kuantitas.
(4) Semakin mendapatkan tempat dan dukungan yang kuat baik di kalangan masyarakat dan juga pemerintah. (6) Mendapatkan dukungan financial dari perusahaan-perusahaan meskipun sumber dana masih didominasi dari perolehan zakat, infaq dan shadaqah. Agar banyaknya dan luasnya jaringan untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan besar, seperti BP Migas, Freeport, KFC, Exxon Mobil, Epson, Telkomsel, dll. membantu perusahaan dalam menjalankan program tanggungjawab sosialnya [CSR: Corporate Social Responsibility]. Terlebih kegiatan filantropi Islam lebih popular dan cenderung bersifat karitatif [short term] sehingga sangat disukai oleh perusahaan-perusahaan karena hasilnya kasat mata dan bisa diukur dengan jelas. Tentu jauh berbeda dengan kegiatan-kegiatan LSM yang lebih berorientasi jangka panjang

Perlu adanya motif dan impian bersama dari lembaga-lembaga charity berbasis agama-agama yang inspirasinya dapat diambil dari ajaran/konsep agama masing-masing. Misalanya dalam Kristen ada konsep “Suasana kerajaan Allah”, dalam Islam ada konsep  “baldatun thoyyibatun warobbun gofur” atau “rahmatan lilalamin”, dan lain sebagainya. Konsep common good atau welfare society, perlu dimaknai lebih luas dalam konteks masyarakat plural seperti di Indonesia. Konsep “kemaslahatan” perlu dirumuskan bersama dengan baik supaya kategori beneficiaries [penerima manfaat] dari gerakan filantropi Islam ini bisa lebih inklusif yakni menyentuh seluruh warga masyarakat tanpa pandang agama, suku atau golongan. Perlu dilakukan evaluasi dan kajian lebih dalam tentang manakah yang lebih dominan dalam gerakan ini, antara charity atau aktivitas dakwah?. Perlu dilakukan reinterpretasi terhadap konsep dakwah, beneficiary dan charity.

Dan terakhir melalui tulisan ini, penulis mewakili Ketua dan semua jajaran PC GP Ansor Jombang,  atas kerjasama semua pihak mulai dari Keluarga Besar PP Darul Ulum Jombang, PC NU beserta jajarannya serta pihak-pihak lain atas dukungan dan partisipasinya dalam kegiatan Pesantren Kilat BPUN Tahun 2014. Semoga kerjasama yang baik terus menjadi ikhtiyar GP Ansor beserta sejumlah elemen muda Nahdlatul Ulama, seperti PMII, ISNU, Fatayat NU dan IPNU serta IPPNU, guna menyongsong pemenuhan kebutuhan kader NU di masa datang. “Tujuannya untuk mengatasi kebutuhan kader NU di masa mendatang. Amin


Share:

No comments:

Post a Comment