Tips Belajar Akuntansi

Pentingnya Perlindungan Guru Berbasis Living Value



Banyak hasil penelitian tentang kekerasan yang melibatkan siswa terhadap siswa dapat ditemukan dalam literatur, namun hanya beberapa studi telah menguji frekuensi dan penyebab kekerasan terhadap guru sekolah. Berdasarkan data pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Tahun 2015, menunjukkan bahwa anak korban kekerasan sebanyak 127 siswa, sementara anak menjadi pelaku kekerasan di sekolah 64 siswa. Dalam sebuah riset yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 ini menunjukkan terdapat 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%. Riset ini dilakukan di 5 negara Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia yang diambil dari Jakarta dan Serang, Banten.
Melalui data KPAI dan ICRW tersebut sudah cukup membuktikan bahwa dalam banyak kasus yang melibatkan anak, subyek anak bisa menjadi korban sekaligus menjadi pelaku kekerasan di sekolah. Sebagaimana juga berlaku kepada seorang tenaga kependidikan seperti guru dapat menjadi pelaku atau juga menjadi korban kekerasan. Sehingga apabila persoalan ini kita tarik dalam topik perlindungan guru, ada beberapa hal yang dapat didiskusikan, yakni (a) bagaimana kekerasan terhadap guru atau siswa dapat terjadi; (b) bagaimana perlindungan keprofesian guru selama ini; dan (c) bagaimana penerapan perlindungan keprofesian guru berbasis living value
Fakta adanya tindak kekerasan terhadap guru dapat kita temukan dalam beberapa peristiwa yang sempat diekspos media. Pertama, Dahrul, guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Makassar, dipukul orang tua siswa di depan kelas, hingga tulang hidungnya patah dan dibawa ke rumah sakit. Kedua, kriminalisasi terhadap Samhudi  guru SMP Raden Rahmat, Balongbendo, Sidoarjo,disidang karena salah satu orangtua murid, tak terima anaknya dicubit karena tidak melaksanakan shalat Dhuha.Sang gurupun terkena hukuman 6 bulan penjara dengan 3 bulan masa percobaan. Ketiga, jauh sebelumnya pada 2015, Nurmayani Salam, guru biologi Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Bantaeng, ditahan karena pencubitan dilakukan pada Agustus 2015. Tak diterima dicubit guru, murid tersebut kemudian melapor kepada orangtuanya yang berprofesi sebagai polisi yang kemudian melapor ke pihak berwajib. Keempat, belum selesai kasus Nurmayani Salam, Mubazir, guru SMA Negeri 2 Sinjai Selatan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, mendekam di sel tahanan karena dilaporkan orangtua muridnya. Kasus ini terjadi, 30 Mei 2016 menjelang ujian semester, ketika guru meminta muridnya untuk memotong rambut, karena kedapatan ada siswa yang tidak memotong rambut, maka guru yang memotong rambutnya. Kelima, Aop Saopudin, guru SD di Majalengka, Jawa Barat, saat itu, Aop mendisiplinkan empat siswanya yang berambut gondrong dengan mencukur rambut siswa tersebut pada Maret 2012. Salah seorang siswa tidak terima dan melabrak Aop dengan memukulnya hingga Aop juga dicukur balik.

Pembahasan dan Solusi
Kondisi di atas tidak bisa dilepaskan dari kesadaran masyarakat akan hukum. Dalam UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2003 Bab 54 “Guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang memberikan hukuman fisik kepada anak-anak” ditambah dengan keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan Konvensi PBB untuk hak-hak anak dimana pada artikel ke-37 jelas dinyatakan “negara menjamin tak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya.”. Bagi yang merasa dirugikan karena anaknya mengalami kekerasan, maka mengajukan kasus tersebut ke meja hijau, dengan menggunakan UU 35/2014 tentang Perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Seperti dalam kasus Samhudi, Jaksa penuntut umum mendakwa Samhudi, melanggar Pasal 80 Ayat (1) UU 35/2014 tentang Perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman kurungan penjara enam bulan, masa percobaan satu tahun, dan denda Rp 500 ribu subsider dua bulan penjara.
Bagi pihak guru merasa dirugikan sebab guru dalam melakukan tindakannya dalam rangka mendidik. Tindakan guru ini dilindungi oleh UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 39. Demikian juga dalam peraturan pemerintah No.74 tahun 2008 tentang Guru. Meski demikian, melihat keputusan Pengadilan Negeri Sidoarjo yang mengadili Samhudi, maka Samhudi tetap mendapatkan sanksi kurungan. Jika kita melihat dalam perspektif hukum, maka putusan Mahkamah Agung sebagai keputusan tertinggi hukum kita, pernah membuat keputusan tentang tindakan kekerasan guru. Berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang dikutip dari website MA, guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa.Hal itu diputuskan saat mengadili Aop Saopudin, guru SD, di Majalengka, Jawa Barat.
Tindakan Aop untuk mendisiplinkan empat siswanya yang berambut gondrong dengan mencukur rambut siswa tersebut pada Maret 2012, menyebabkan salah seorang siswa tidak terima dan melabrak Aop dengan memukulnya hingga Aop juga dicukur balik. Meski sempat didemo para guru, polisi dan jaksa tetap melimpahkan kasus Aop ke pengadilan. Aop dikenakan pasal berlapis, yaitu: Pasal 77, huruf a UU Perlindungan Anak tentang perbuatan diskriminasi terhadap anak; Pasal 80. ayat (1) UU Perlindungan Anak; dan Pasal 335, ayat (1) kesatu KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan. Atas dakwaan itu, Aop dikenakan pasal percobaan oleh PN Majalengka dan Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.Tapi oleh MA, hukuman itu dianulir dan menjatuhkan vonis bebas murni ke Aop. Alasan pembebasan tersebut, karena sebagai guru Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang rambutnya sudah panjang/gondrong untuk menertibkan para siswa. Pertimbangannya adalah: Apa yang dilakukan terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi murid yang baik danDalam mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi siswa, maka guru diberikan kebebasan akademik untuk melakukan metode-metode yang ada. Selain itu, guru juga tidak hanya berwenang memberikan penghargaan terhadap siswanya, tetapi juga memberikan punishment kepada siswanya tersebut. Perlindungan terhadap profesi guru sendiri sudah diakui dalam PP Nomor 74 Tahun 2008. Perlindungan profesi guru adalah upaya perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan/ pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas[2]. Dalam PP itu, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 39 (ayat 2) jabatan guru dinyatakan sebagai jabatan professional oleh sebab itu guru sebagai tenaga profesional harus mewujudkan kinerjanya di atas landasan etika profesional serta mendapat perlindungan professional (rekomendasi UNESCO/ILO tanggal 5 Oktober 1988). Implementasi ini diatur juga dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 37, yang menyatakan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Perlindungan sebagaimana dimaksud di atas meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta perlindungan HaKi. Tujuan perlindungan guru ini adalah agar guru tenang dalam melaksanakan tugas dan mampu bekerja dengan baik.
Harus diakui bahwa meski telah ada beberapa perangkat hukum yang memberikan perlindungan terhadap profesi guru, namun hal ini belum memberikan jaminan bahwa tidak akan ada lagi tindak kekerasan yang dialami guru. Sebab melalui pendekatan legal formal kita tidak akan benar-benar menyelesaikan akar konflik yang ada. Dalam melihat kasus kekerasan yang melibatkan guru dan siswa perlu digunakan pendekatan “living value” yang melihatnya sebagai peristiwa yang menjadi bagian dari pendidikan. Melalui pendekatan ini pelaku pendidikan yang ada di lingkup pendidikan perlu dilibatkan apakah itu pemangku kebijakan publik (pemerintah dan pemerintah daerah), guru, orang tua dan lembaga profesi. Sebab jika kekerasan yang terjadi di sekolah diselesaikan hanya sebatas jalur hukum dan adat, maka anak akan dijauhkan dari proses pendidikan bahkan mencabut hak pendidikan dari si anak.
Perlindungan keprofesian guru berbasis living value education perlindungan dengan mengkombinasikan pendekatan legal formal hukum sebagai penegak norma, namun juga melakukan pendekatan nilai terhadap pelaku atau korban kekerasan pendidikan. Dalam kasus guru Samhudi semua perhatian tentu hanya berfokus kepada ketidakadilan yang dialami guru, namun tidak ada yang juga bersimpati kepada siswa yang juga akan mengalami labeling atas apa yang dialami Samhudi. Bagaimanakah nasib siswa tersebut pasca pengadilan menvonis hukuman kurungan terhadap Samhudi, semua orang tidak ada yang peduli. Akan tetapi setereotip sebagai anak nakal telah terbentuk kepada siswa ini, yang tentu akan berdampak secara psikologis atau mungkin saja dendam. Oleh sebab itu pendekatan legal formal tanpa melibatkan pendekatan nilai tidak seketika menyelesaikan persoalan kekerasan yang dialami guru, menetralisir dampak atas penegakan hukum terhadap siswa dan lingkungan sekolah menjadi persoalan yang belum dijawab melalui peraturan perundang-undangan.
Upaya represif dalam penyelesaian pelanggaran-pelanggaran hukum di atas sering kali menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat, membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang cukup banyak, dapat menimbulkan cap (labeling) yang susah untuk dihilangkan. Adanya cap mengakibatkan pelaku susah diterima dalam kelompok sosialnya, sehingga ia menjadi terkucil dan bersosialisasi dengan kelompok yang juga mendapatkan cap yang sama, hal ini dapat menjadi penyebab timbulnya pelanggaraan hukum baru atau pengulangan. 
Pengesampingan dan pengabaian peran penting berlakunya nilai-nilai budaya – kultural di dalam masyarakat terhadap proses penegakan hukum merupakan stereotipe penegakan hukum yang berpegang pada paradigma positivisme. Bagi paradigma positivisme hukum, hukum memang dilihat semata-mata sebagai instrumen teknis pengaturan dan pengendalian masyarakat, yang diciptakan dan diberlakukan oleh pemegang kekuasaan, tak lebih tak kurang. Hukum tak bersangkut paut dengan masalah moral dan budaya sepanjang aturan hukum diterapkan sesuai dengan standar prosedur, maka keadilan tercipta dengan sendirinya.
Oliver Mendel Holmes, yang memperlihatkan penolakan pada paham hukum positivitik itu, dengan mengatakan the exercise of law is not always logic but experience. Hukum sepatutnya responsif terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Untuk itu langkah pertama, upaya perlindungan keprofesian guru berbasis living value adalah mengembalikan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (tool of social engineering) dalam kaitan perlindungan keprofesian guru dapat diformulasikan dalam produk hukum dari satuan pemerintah paling sederhana. Setiap pelanggaran atau tindak kekerasan baik itu dilakukan oleh guru atau siswa harus tegas mengalami penindakan terContoh penerapan konsepsi misalnya dengan perumusan Peraturan Daerah tingkat Kota/Kabupaten terkait perlindungan profesi guru seperti yang coba dirumuskan di Kabupaten Purwakarta, Makasar dan beberapa daerah lain di Indonesia. Artinya, Perda menjadi kunci mencapai tujuan daerah tertentu, seperti membangun budaya hukum masyarakat lokal dan pemenuhan aspirasi kelompok-kelompok masyarakat di lingkungan tersebut.
Selanjutnya selain mengupayakan peraturan lokal pada upaya perlindungan keprofesian guru. Penegakan hukum terkait perlindungan keprofesian guru juga harus mengedepankan pendekatan living values (pendekatan nilai) dalam rangka menjadikan pendekatan hukum sebagai bagaian dari proses pendidikan. Mengutip Laporan Komisi Internasional Pendidikan untuk Abad 21 kepada UNESCO, atau yang lebih dikenal dengan Laporan Delor, disebutkan: "Setiap usaha yang dilakukan untuk memperbarui dimensi kultur dan moral dalam pendidikan, akan memungkinkan setiap individu untuk melihat kualitas unik dari orang lain dan mencapai pemahaman tentang pergerakan dunia saat ini yang menuju pada kesatuan".(Delors, 1996).
Menurut Pramonoadi (2012) dalam inti  pendidikan, nilai tidak dipandang hanya melewati proses kognitif "Apa", namun juga yang terpenting adalah melewati proses "Bagaimana", yaitu tentang bagaimana sebuah proses pendidikan nilai dijalankan. Tanpa mengabaikan hubungan individu, masyarakat dan kehidupan politik serta tuntutan kurikulum, pendidikan nilai seharusnya tidak dipandang hanya sebagai sebuah mata pelajaran atau subjek terpisah yang ada dalam kurikulum namun lebih sebagai sebuah etos pembimbing dalam pendidikan. Sebuah etos yang menekankan pada pentingnya mengembangkan lingkungan belajar dan mengajar yang dilandasi oleh nilai seperti rasa hormat dan menghargai, tanggung jawab, toleransi, kedamaian, dan kasih sayang.
Oleh karena itu, langkah kedua, upaya perlindungan keprofesian guru berbasis living value dilakukan dengan membuka ruang komunikasi yang melibatkan seluruh staf sekolah, wali murid, dan lingkungan sekitar sekolah. Seperti halnya orang tua dirumah yang memberikan penanaman nilai, terkadang dengan mengintegrasikan pendidikan nilai dalam proses belajar mengajar membuat guru memiliki perspektif berbeda terhadap aktivitas kependidikan mereka. Oleh sebab itu untuk memperoleh hasil nyata, pendidikan nilai harus dirancang sebagai sebuah proyek sekolah, terintegrasi dalam setiap aspek kurikulum, kependidikan dan aktivitas belajar mengajar, melibatkan seluruh staf pengajar atau guru, organisasi/yayasan sekolah dan para pembuat kebijakan yang bekerja bahu membahu sebagai sebuah tim" (Combes, 2003).
Melalui upaya ini perlu dibentuk memaksimalkan peran dewan pendidikan dikabupaten/kota untuk menjadi ruang komunikasi antar stakeholder untuk mengarusutamakan perlindungan guru. Membahas persoalan-persoalan terkait peningkatan kualitas pendidikan dan perbaikan sarana dan sarana prasarana pendidikan. Serta mendiskusikan upaya peningkatan pelayanan dan sumberda daya manusia pendidikan di daerah tersebut, sehingga dapat bersaing pada jenang yang lebih tinggi.
Langkah ketiga perlindungan profesi guru adalah membangun lingkungan pembelajaran nilai disekolah, untuk menemukan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari yang ada dalam mata pelajaran. Melihat keseluruhan kurikulum dan memikirkan bagaimana penekanan nilai dapat dilakukan dalam berbagai mata pelajaran yang berbeda; kedalam sains atau pengetahuan alam, bahasa, seni, dan mata pelajaran lainnya. Prosesnya tidak pada bagaimana menanamkan nilai kepada para siswa atau individu, namun lebih kepada proses menggali atau mengeksplorasi dan mengembangkan nilai-nilai yang memang sudah ada dan atau diwariskan pada masing-masing individu tersebut. 
Langkah keempat, membangun aktivitas nyata yang melibatkan setiap komponen sekolah dalam upaya pemahaman dan internalisasi nilai. Persoalan yang sering timbul dalam prakteknya adalah keterbatasan waktu belajar yang ada untuk menyelipkan pengajaran tentang nilai. Sehingga ada kecenderungan untuk menjadikan nilai sebagai sebuah mata pelajaran atau subyek khusus atau sekolah mengalokasikan waktu tertentu, misalnya pagi hari sebelum pelajaran di kelas dimulai, untuk membahas persoalan tentang nilai. Namun yang perlu diingat, pengajaran nilai dengan cara tersebut biasanya kurang efektif, jika dalam prosesnya tidak disertai pula dengan penciptaan lingkungan belajar yang berbasis nilai.
Namun, hanya dengan mencoba menggali nilai seperti rasa hormat, menghargai, toleransi, dan kasih sayang dalam suasana kelas, bukanlah jawaban mudah untuk semua persoalan nilai yang muncul. Pada taraf tertentu, ketrampilan dan teknik mengajar yang dapat mendukung pembentukan lingkungan belajar berbasis nilai amatlah penting, sehingga training, pelatihan dan berbagai kegiatan pengembangan yang mendukung bagi apa pendidik amatlah dibutuhkan. Kesadaran pendidik terhadap nilai-nilai mereka sendiri akan menunjang para guru untuk membawanya lebih lanjut ke ruangan kelas, sehingga suasana penuh nilai akan lebih terbangun, daripada hanya sekedar memberlakukan aturan yang ketat dan kaku, yang wajib dipatuhi oleh seluruh siswa. "Ide keseluruhan dari pendidikan berbasis nilai adalah guru pertama-tama melihat ke dalam diri mereka sendiri terlebih dahulu." (Combes, 2003) atau memulai proses "pemahaman diri dengan melakukan penelusuran ke dalam diri lewat pengetahuan, perenungan dan sikap kritis terhadap diri sendiri".(Delors, 2007).
Strategi pada langkah ini adalah mengupayakan agar orang tua, siswa dan guru dapat berkolaborasi dalam kegiatan internalisasi nilai melalui aksinyata, bakti sosial dan lain-lain. Sehingga orang tua terlibat pada penguatan akan upaya penanaman nilai yang ingin diwujudkan oleh sekolah. Dengan upaya ini tentunya akan terbangun kesamaan persepsi dan komitmen antara guru, orang tua dan siswa tentang nilai apa yang ingin dimiliki dan diwujudkan melalui pendidikan. Sebab terkadang kekerasan terhadap guru dilatarbelakangi oleh komunikasi yang tidak terjalin dengan baik antara kedua belah pihak (orang tua dan sekolah).
Langkah kelima, menciptakan suasana berbasis nilai dalam proses belajar mengajar. Hal ini amatlah penting untuk eksplorasi optimal dan pengembangan nilai-nilai oleh anak-anak dan generasi muda. Sebuah lingkungan belajar yang berlandaskan kepercayaan, kepedulian dan saling menghargai, secara natural akan meningkatkan motivasi, kreativitas, dan pengembangan afeksi serta kognitif. Teladan dari pendidik, aturan yang jelas dan penguatan serta dorongan adalah beberapa faktor positif yang dibutuhkan--seperti yang dijelaskan dalam Model Teoretis Pendidikan Menghidupkan Nilai (Living Values Education/LVE).  

Kesimpulan dan Harapan Penulis
Tindakan kekerasan terhadap guru perlu dipandang sebagai tuntutan terhadap profesionalitas guru memang tetap harus jadi agenda utama, supaya kualitas pendidikan Indonesia secara keseluruhan semakin meningkat dan berdaya saing dengan negara-negara lain. Indikator profesionalitas harus semakin rinci demikian halnya dengan sanksi yang diberikan jika profesionalitas tersebut tercurangi atau dilanggar, sehingga tidak ada peluang bagi pendidik untuk menghindar dari standar kompetensi dan kapabilitas yang dituntut.
Perlindungan keprofesian guru berbasis living value education ada diwujudkan dengan Pertama, pembentukan peraturan daerah untuk melengkapi No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan peraturan pemerintah No.74 tahun 2008 tentang Guru, dalam kaitan perlindungan guru, Kedua, upaya perlindungan keprofesian guru berbasis living value dilakukan dengan membuka ruang komunikasi yang melibatkan seluruh staf sekolah, wali murid, dan lingkungan sekitar sekolah. Ketiga, perlindungan profesi guru adalah membangun lingkungan pembelajaran nilai disekolah, untuk menemukan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari yang ada dalam mata pelajaran. Keempat, membangun aktivitas nyata yang melibatkan setiap komponen sekolah dalam upaya pemahaman dan internalisasi nilai. Kelima, menciptakan suasana berbasis nilai dalam proses belajar mengajar. Ke depan harus difahami bersama bahwa perlindungan keprofesian guru tidak bisa diwujudkan tanpa perlindungan terhadap siswa di sekolah mengingat keduanya memiliki interaksi dan keterikatan dalam membangun masa depan Indonesia. Melibatkan semua pihak dalam pendidikan adalah salah satu cara untuk menyelesaikan kesalahpahaman para pemegang kepentingan dunia pendidikan. Membangun kesepahaman semua pihak dalam membangun bangsa melalui pendidikan adalah upaya mengembalikan keberadaan dunia pendidikan sebagai milik bersama. “Children cannot get a quality education if they don’t first feel safe at school.”(Arne Duncan, Secretary of Education, USA). Semoga dunia pendidikan kita menjadi lebih baik.

Daftar Pustaka:
Combes, Bernard (2003). Global Perspectives on Values Education. Disampaikan pada Simposium bertajuk Giving Value to Values Education, Hong Kong, Oktober 2003 
Delors, Jacques, et al. (1996). Learning: The Treasure Within, Laporan Komisi Internasional Pendidikan untuk Abad 21 kepada UNESCO, UNESCO Publishing, ISBN 07306-9037-7. Drake, Christopher (2007). Pentingnya Lingkungan Belajar Berbasis Nilai. Institut Pendidikan. London University:London
Dwikoranto. (2009). Membangun karakter melalui pendidikan di sekolah sebagai upaya peningkatan kualitas anak didik. Disampaiakan pada Semnas Uny: Jogjakarta, Desember 2009
Pramonoadi. 2012. Model Pembelajaran Berbasis Nilai Living Values di Sekolah Full Day Berbasis Islam
Putri, Rizkia Amelia Sania. 2015. Telaah Kritis Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Hukum Adat dan Islam Sebagai Aktualisasi Nilai-Nilai Kemajemukan Rakyat Indonesia. PANGGUNG HUKUM                                    Vol.1, No.2, Juni 2015, Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Surbakti, Natangsa. 2012. Dampak Negatif Pengabaian Nilai Kultural Dalam Penegakan Hukum. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 15, No. 1, Maret 2012: 41-53
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS
UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
PP Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru





Share:

No comments:

Post a Comment