Banyak hasil penelitian tentang kekerasan yang
melibatkan siswa terhadap siswa dapat ditemukan dalam literatur, namun hanya
beberapa studi telah menguji frekuensi dan penyebab kekerasan terhadap guru
sekolah. Berdasarkan data pengaduan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Tahun 2015, menunjukkan bahwa anak korban kekerasan sebanyak 127 siswa,
sementara anak menjadi pelaku kekerasan di sekolah 64 siswa. Dalam sebuah riset
yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for
Research on Women (ICRW) yang dirilis awal Maret 2015 ini menunjukkan terdapat
84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih
tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%. Riset ini dilakukan di 5 negara
Asia, yakni Vietnam, Kamboja, Nepal, Pakistan, dan Indonesia yang diambil dari
Jakarta dan Serang, Banten.
Melalui data KPAI dan ICRW tersebut sudah cukup membuktikan
bahwa dalam banyak kasus yang melibatkan anak, subyek anak bisa menjadi korban
sekaligus menjadi pelaku kekerasan di sekolah. Sebagaimana juga berlaku kepada
seorang tenaga kependidikan seperti guru dapat menjadi pelaku atau juga menjadi
korban kekerasan. Sehingga apabila persoalan ini kita tarik dalam topik perlindungan
guru, ada beberapa hal yang dapat didiskusikan, yakni (a) bagaimana kekerasan
terhadap guru atau siswa dapat terjadi; (b) bagaimana perlindungan keprofesian
guru selama ini; dan (c) bagaimana penerapan perlindungan keprofesian guru
berbasis living value.
Fakta adanya tindak kekerasan
terhadap guru dapat kita temukan dalam beberapa peristiwa yang sempat diekspos
media. Pertama, Dahrul, guru Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Makassar,
dipukul orang tua siswa di depan kelas, hingga tulang hidungnya patah dan
dibawa ke rumah sakit. Kedua, kriminalisasi terhadap Samhudi guru
SMP Raden Rahmat, Balongbendo, Sidoarjo,disidang karena salah satu orangtua
murid, tak terima anaknya dicubit karena tidak melaksanakan shalat Dhuha.Sang
gurupun terkena hukuman 6 bulan penjara dengan 3 bulan masa percobaan. Ketiga,
jauh sebelumnya pada 2015, Nurmayani Salam, guru biologi Sekolah Menengah Pertama
Negeri (SMPN) 1 Bantaeng, ditahan karena pencubitan dilakukan pada Agustus
2015. Tak diterima dicubit guru, murid tersebut kemudian melapor kepada
orangtuanya yang berprofesi sebagai polisi yang kemudian melapor ke pihak
berwajib. Keempat, belum selesai kasus Nurmayani Salam, Mubazir, guru SMA
Negeri 2 Sinjai Selatan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, mendekam di sel
tahanan karena dilaporkan orangtua muridnya. Kasus ini terjadi, 30 Mei 2016
menjelang ujian semester, ketika guru meminta muridnya untuk memotong rambut,
karena kedapatan ada siswa yang tidak memotong rambut, maka guru yang memotong
rambutnya. Kelima, Aop Saopudin, guru SD di Majalengka, Jawa Barat, saat itu,
Aop mendisiplinkan empat siswanya yang berambut gondrong dengan mencukur rambut
siswa tersebut pada Maret 2012. Salah seorang siswa tidak terima dan melabrak
Aop dengan memukulnya hingga Aop juga dicukur balik.
Pembahasan dan Solusi
Kondisi di atas tidak bisa dilepaskan dari kesadaran
masyarakat akan hukum. Dalam UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2003 Bab 54 “Guru dan
siapapun lainnya di sekolah dilarang memberikan hukuman fisik kepada anak-anak”
ditambah dengan keikutsertaan Indonesia dalam penandatanganan Konvensi PBB
untuk hak-hak anak dimana pada artikel ke-37 jelas dinyatakan “negara menjamin
tak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya.”. Bagi yang merasa dirugikan karena
anaknya mengalami kekerasan, maka mengajukan kasus tersebut ke meja hijau,
dengan menggunakan UU 35/2014 tentang Perubahan atas UU 23/2002 tentang
Perlindungan Anak. Seperti dalam kasus Samhudi, Jaksa penuntut umum mendakwa
Samhudi, melanggar Pasal 80 Ayat (1) UU 35/2014 tentang Perubahan atas UU
23/2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman kurungan penjara enam bulan,
masa percobaan satu tahun, dan denda Rp 500 ribu subsider dua bulan penjara.
Bagi pihak guru merasa dirugikan sebab guru dalam melakukan
tindakannya dalam rangka mendidik. Tindakan guru ini dilindungi oleh UU No.14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 39. Demikian juga dalam peraturan
pemerintah No.74 tahun 2008 tentang Guru. Meski demikian, melihat keputusan
Pengadilan Negeri Sidoarjo yang mengadili Samhudi, maka Samhudi tetap
mendapatkan sanksi kurungan. Jika kita melihat dalam perspektif hukum, maka
putusan Mahkamah Agung sebagai keputusan tertinggi hukum kita, pernah membuat
keputusan tentang tindakan kekerasan guru. Berdasarkan
yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang dikutip dari website MA, guru tidak bisa
dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan
terhadap siswa.Hal itu diputuskan saat mengadili Aop Saopudin, guru SD, di
Majalengka, Jawa Barat.
Tindakan Aop untuk mendisiplinkan empat siswanya yang
berambut gondrong dengan mencukur rambut siswa tersebut pada Maret 2012,
menyebabkan salah seorang siswa tidak terima dan melabrak Aop dengan
memukulnya hingga Aop juga dicukur balik. Meski sempat didemo para guru, polisi
dan jaksa tetap melimpahkan kasus Aop ke pengadilan. Aop dikenakan pasal
berlapis, yaitu: Pasal 77, huruf a UU Perlindungan Anak tentang perbuatan
diskriminasi terhadap anak; Pasal 80. ayat (1) UU Perlindungan Anak; dan Pasal
335, ayat (1) kesatu KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan. Atas
dakwaan itu, Aop dikenakan pasal percobaan oleh PN Majalengka dan Pengadilan
Tinggi (PT) Bandung.Tapi oleh MA, hukuman itu dianulir dan menjatuhkan vonis
bebas murni ke Aop. Alasan pembebasan tersebut, karena
sebagai guru Aop mempunyai tugas untuk mendisiplinkan siswa yang rambutnya
sudah panjang/gondrong untuk menertibkan para siswa. Pertimbangannya adalah: Apa
yang dilakukan terdakwa adalah sudah menjadi tugasnya dan bukan merupakan suatu
tindak pidana dan terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana atas
perbuatan/tindakannya tersebut karena bertujuan untuk mendidik agar menjadi
murid yang baik danDalam mendidik, mengajar, membimbing hingga mengevaluasi
siswa, maka guru diberikan kebebasan akademik untuk melakukan metode-metode
yang ada. Selain itu, guru juga tidak hanya berwenang memberikan penghargaan
terhadap siswanya, tetapi juga memberikan punishment kepada siswanya tersebut. Perlindungan
terhadap profesi guru sendiri sudah diakui dalam PP Nomor 74 Tahun 2008. Perlindungan profesi guru
adalah upaya perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidak wajar,
pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan
pembatasan/ pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas[2]. Dalam PP itu, guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS Pasal 39 (ayat
2) jabatan guru dinyatakan sebagai jabatan professional oleh sebab itu guru sebagai tenaga profesional harus mewujudkan kinerjanya
di atas landasan etika profesional serta mendapat perlindungan professional
(rekomendasi UNESCO/ILO tanggal 5 Oktober 1988). Implementasi ini diatur juga
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 37, yang menyatakan bahwa
Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan
pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas.
Perlindungan sebagaimana dimaksud di atas meliputi perlindungan hukum,
perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta
perlindungan HaKi. Tujuan perlindungan guru ini adalah agar guru tenang dalam
melaksanakan tugas dan mampu bekerja dengan baik.
Harus diakui bahwa meski telah ada beberapa perangkat
hukum yang memberikan perlindungan terhadap profesi guru, namun hal ini belum
memberikan jaminan bahwa tidak akan ada lagi tindak kekerasan yang dialami
guru. Sebab melalui pendekatan legal formal kita tidak akan benar-benar
menyelesaikan akar konflik yang ada. Dalam melihat kasus kekerasan yang
melibatkan guru dan siswa perlu digunakan pendekatan “living value” yang melihatnya
sebagai peristiwa yang menjadi bagian dari pendidikan. Melalui pendekatan ini pelaku
pendidikan yang ada di lingkup pendidikan perlu dilibatkan apakah itu pemangku
kebijakan publik (pemerintah dan pemerintah daerah), guru, orang tua dan
lembaga profesi. Sebab jika kekerasan yang terjadi di sekolah diselesaikan
hanya sebatas jalur hukum dan adat, maka anak akan dijauhkan dari proses
pendidikan bahkan mencabut hak pendidikan dari si anak.
Perlindungan keprofesian guru berbasis living value education perlindungan
dengan mengkombinasikan pendekatan legal formal hukum sebagai penegak norma,
namun juga melakukan pendekatan nilai terhadap pelaku atau korban kekerasan
pendidikan. Dalam kasus guru Samhudi semua perhatian tentu hanya berfokus kepada
ketidakadilan yang dialami guru, namun tidak ada yang juga bersimpati kepada
siswa yang juga akan mengalami labeling atas apa yang dialami Samhudi.
Bagaimanakah nasib siswa tersebut pasca pengadilan menvonis hukuman kurungan
terhadap Samhudi, semua orang tidak ada yang peduli. Akan tetapi setereotip
sebagai anak nakal telah terbentuk kepada siswa ini, yang tentu akan berdampak
secara psikologis atau mungkin saja dendam.
Oleh sebab itu pendekatan legal formal tanpa melibatkan pendekatan nilai tidak
seketika menyelesaikan persoalan kekerasan yang dialami guru, menetralisir
dampak atas penegakan hukum terhadap siswa dan lingkungan sekolah menjadi
persoalan yang belum dijawab melalui peraturan perundang-undangan.
Upaya represif dalam penyelesaian
pelanggaran-pelanggaran hukum di atas sering kali menimbulkan kesalahpahaman di
masyarakat, membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang cukup banyak, dapat
menimbulkan cap (labeling) yang susah untuk dihilangkan. Adanya cap
mengakibatkan pelaku susah diterima dalam kelompok sosialnya, sehingga ia
menjadi terkucil dan bersosialisasi dengan kelompok yang juga mendapatkan cap
yang sama, hal ini dapat menjadi penyebab timbulnya pelanggaraan hukum baru
atau pengulangan.
Pengesampingan dan pengabaian peran penting berlakunya
nilai-nilai budaya – kultural di dalam masyarakat terhadap proses penegakan
hukum merupakan stereotipe penegakan hukum yang berpegang pada paradigma
positivisme. Bagi paradigma positivisme hukum, hukum memang dilihat semata-mata
sebagai instrumen teknis pengaturan dan pengendalian masyarakat, yang
diciptakan dan diberlakukan oleh pemegang kekuasaan, tak lebih tak kurang. Hukum
tak bersangkut paut dengan masalah moral dan budaya sepanjang aturan hukum
diterapkan sesuai dengan standar prosedur, maka keadilan tercipta dengan
sendirinya.
Oliver Mendel Holmes, yang memperlihatkan penolakan
pada paham hukum positivitik itu, dengan mengatakan the exercise of law is not always logic but experience. Hukum
sepatutnya responsif terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Untuk
itu langkah pertama, upaya perlindungan
keprofesian guru berbasis living value
adalah mengembalikan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial (tool of social engineering) dalam kaitan
perlindungan keprofesian guru dapat diformulasikan dalam produk hukum dari
satuan pemerintah paling sederhana. Setiap pelanggaran atau tindak
kekerasan baik itu dilakukan oleh guru atau siswa harus tegas mengalami
penindakan terContoh penerapan konsepsi misalnya dengan perumusan Peraturan
Daerah tingkat Kota/Kabupaten terkait perlindungan profesi guru seperti yang coba
dirumuskan di Kabupaten Purwakarta, Makasar dan beberapa daerah lain di
Indonesia. Artinya, Perda menjadi kunci mencapai tujuan daerah tertentu,
seperti membangun budaya hukum masyarakat lokal dan pemenuhan aspirasi
kelompok-kelompok masyarakat di lingkungan tersebut.
Selanjutnya selain mengupayakan peraturan lokal pada
upaya perlindungan keprofesian guru. Penegakan hukum terkait perlindungan
keprofesian guru juga harus mengedepankan pendekatan living values (pendekatan
nilai) dalam rangka menjadikan pendekatan hukum sebagai bagaian dari proses
pendidikan. Mengutip Laporan Komisi Internasional Pendidikan untuk Abad 21
kepada UNESCO, atau yang lebih dikenal dengan Laporan Delor, disebutkan:
"Setiap usaha yang dilakukan untuk memperbarui dimensi kultur dan moral
dalam pendidikan, akan memungkinkan setiap individu untuk melihat kualitas unik
dari orang lain dan mencapai pemahaman tentang pergerakan dunia saat ini yang
menuju pada kesatuan".(Delors, 1996).
Menurut Pramonoadi (2012) dalam inti pendidikan, nilai tidak dipandang hanya
melewati proses kognitif "Apa", namun juga yang terpenting adalah
melewati proses "Bagaimana", yaitu tentang bagaimana sebuah proses
pendidikan nilai dijalankan. Tanpa mengabaikan hubungan individu, masyarakat
dan kehidupan politik serta tuntutan kurikulum, pendidikan nilai seharusnya
tidak dipandang hanya sebagai sebuah mata pelajaran atau subjek terpisah yang ada
dalam kurikulum namun lebih sebagai sebuah etos pembimbing dalam pendidikan.
Sebuah etos yang menekankan pada pentingnya mengembangkan lingkungan belajar
dan mengajar yang dilandasi oleh nilai seperti rasa hormat dan menghargai,
tanggung jawab, toleransi, kedamaian, dan kasih sayang.
Oleh karena itu, langkah
kedua, upaya perlindungan keprofesian guru berbasis living value dilakukan
dengan membuka ruang komunikasi yang melibatkan seluruh staf sekolah, wali
murid, dan lingkungan sekitar sekolah. Seperti halnya orang tua dirumah
yang memberikan penanaman nilai, terkadang dengan mengintegrasikan pendidikan
nilai dalam proses belajar mengajar membuat guru memiliki perspektif berbeda
terhadap aktivitas kependidikan mereka. Oleh sebab itu untuk memperoleh hasil
nyata, pendidikan nilai harus dirancang sebagai sebuah proyek sekolah,
terintegrasi dalam setiap aspek kurikulum, kependidikan dan aktivitas belajar
mengajar, melibatkan seluruh staf pengajar atau guru, organisasi/yayasan
sekolah dan para pembuat kebijakan yang bekerja bahu membahu sebagai sebuah
tim" (Combes, 2003).
Melalui upaya ini perlu dibentuk memaksimalkan peran
dewan pendidikan dikabupaten/kota untuk menjadi ruang komunikasi antar
stakeholder untuk mengarusutamakan perlindungan guru. Membahas
persoalan-persoalan terkait peningkatan kualitas pendidikan dan perbaikan
sarana dan sarana prasarana pendidikan. Serta mendiskusikan upaya peningkatan
pelayanan dan sumberda daya manusia pendidikan di daerah tersebut, sehingga
dapat bersaing pada jenang yang lebih tinggi.
Langkah ketiga perlindungan
profesi guru adalah membangun lingkungan pembelajaran nilai disekolah, untuk
menemukan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari yang ada dalam mata
pelajaran. Melihat keseluruhan kurikulum dan memikirkan bagaimana penekanan
nilai dapat dilakukan dalam berbagai mata pelajaran yang berbeda; kedalam sains
atau pengetahuan alam, bahasa, seni, dan mata pelajaran lainnya. Prosesnya
tidak pada bagaimana menanamkan nilai kepada para siswa atau individu, namun
lebih kepada proses menggali atau mengeksplorasi dan mengembangkan nilai-nilai
yang memang sudah ada dan atau diwariskan pada masing-masing individu
tersebut.
Langkah keempat, membangun
aktivitas nyata yang melibatkan setiap komponen sekolah dalam upaya pemahaman
dan internalisasi nilai. Persoalan yang sering timbul dalam prakteknya adalah
keterbatasan waktu belajar yang ada untuk menyelipkan pengajaran tentang nilai.
Sehingga ada kecenderungan untuk menjadikan nilai sebagai sebuah mata pelajaran
atau subyek khusus atau sekolah mengalokasikan waktu tertentu, misalnya pagi
hari sebelum pelajaran di kelas dimulai, untuk membahas persoalan tentang
nilai. Namun yang perlu diingat, pengajaran nilai dengan cara tersebut biasanya
kurang efektif, jika dalam prosesnya tidak disertai pula dengan penciptaan
lingkungan belajar yang berbasis nilai.
Namun, hanya dengan mencoba menggali nilai seperti rasa
hormat, menghargai, toleransi, dan kasih sayang dalam suasana kelas, bukanlah
jawaban mudah untuk semua persoalan nilai yang muncul. Pada taraf tertentu,
ketrampilan dan teknik mengajar yang dapat mendukung pembentukan lingkungan
belajar berbasis nilai amatlah penting, sehingga training, pelatihan dan
berbagai kegiatan pengembangan yang mendukung bagi apa pendidik amatlah
dibutuhkan. Kesadaran pendidik terhadap nilai-nilai mereka sendiri akan
menunjang para guru untuk membawanya lebih lanjut ke ruangan kelas, sehingga
suasana penuh nilai akan lebih terbangun, daripada hanya sekedar memberlakukan
aturan yang ketat dan kaku, yang wajib dipatuhi oleh seluruh siswa. "Ide
keseluruhan dari pendidikan berbasis nilai adalah guru pertama-tama melihat ke
dalam diri mereka sendiri terlebih dahulu." (Combes, 2003) atau memulai
proses "pemahaman diri dengan melakukan penelusuran ke dalam diri lewat
pengetahuan, perenungan dan sikap kritis terhadap diri sendiri".(Delors,
2007).
Strategi pada langkah ini adalah mengupayakan agar
orang tua, siswa dan guru dapat berkolaborasi dalam kegiatan internalisasi
nilai melalui aksinyata, bakti sosial dan lain-lain. Sehingga orang tua
terlibat pada penguatan akan upaya penanaman nilai yang ingin diwujudkan oleh
sekolah. Dengan upaya ini tentunya akan terbangun kesamaan persepsi dan
komitmen antara guru, orang tua dan siswa tentang nilai apa yang ingin dimiliki
dan diwujudkan melalui pendidikan. Sebab terkadang kekerasan terhadap guru
dilatarbelakangi oleh komunikasi yang tidak terjalin dengan baik antara kedua
belah pihak (orang tua dan sekolah).
Langkah kelima, menciptakan
suasana berbasis nilai dalam proses belajar mengajar. Hal ini amatlah penting
untuk eksplorasi optimal dan pengembangan nilai-nilai oleh anak-anak dan
generasi muda. Sebuah lingkungan belajar yang berlandaskan kepercayaan,
kepedulian dan saling menghargai, secara natural akan meningkatkan motivasi,
kreativitas, dan pengembangan afeksi serta kognitif. Teladan dari pendidik,
aturan yang jelas dan penguatan serta dorongan adalah beberapa faktor positif
yang dibutuhkan--seperti yang dijelaskan dalam Model Teoretis Pendidikan
Menghidupkan Nilai (Living Values Education/LVE).
Kesimpulan dan Harapan Penulis
Tindakan kekerasan terhadap
guru perlu dipandang sebagai tuntutan terhadap profesionalitas guru memang
tetap harus jadi agenda utama, supaya kualitas pendidikan Indonesia secara
keseluruhan semakin meningkat dan berdaya saing dengan negara-negara lain. Indikator
profesionalitas harus semakin rinci demikian halnya dengan sanksi yang
diberikan jika profesionalitas tersebut tercurangi atau dilanggar, sehingga
tidak ada peluang bagi pendidik untuk menghindar dari standar kompetensi dan
kapabilitas yang dituntut.
Perlindungan keprofesian guru
berbasis living value education ada diwujudkan
dengan Pertama, pembentukan peraturan daerah untuk melengkapi No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
dan peraturan
pemerintah No.74 tahun 2008 tentang Guru, dalam
kaitan perlindungan guru, Kedua, upaya perlindungan
keprofesian guru berbasis living value dilakukan dengan membuka ruang
komunikasi yang melibatkan seluruh staf sekolah, wali murid, dan lingkungan
sekitar sekolah. Ketiga,
perlindungan profesi guru adalah membangun lingkungan pembelajaran nilai
disekolah, untuk menemukan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari yang ada
dalam mata pelajaran. Keempat, membangun aktivitas nyata
yang melibatkan setiap komponen sekolah dalam upaya pemahaman dan internalisasi
nilai. Kelima, menciptakan suasana
berbasis nilai dalam proses belajar mengajar. Ke depan harus difahami
bersama bahwa perlindungan keprofesian guru tidak bisa diwujudkan tanpa perlindungan terhadap siswa di sekolah
mengingat keduanya memiliki interaksi dan keterikatan dalam membangun masa
depan Indonesia. Melibatkan semua pihak dalam pendidikan adalah salah satu cara
untuk menyelesaikan kesalahpahaman para pemegang kepentingan dunia pendidikan. Membangun
kesepahaman semua pihak dalam membangun bangsa melalui pendidikan adalah upaya
mengembalikan keberadaan dunia pendidikan sebagai milik bersama. “Children cannot
get a quality education if they don’t first feel safe at school.”(Arne Duncan,
Secretary of Education, USA). Semoga dunia pendidikan kita menjadi lebih baik.
Daftar Pustaka:
Combes, Bernard (2003). Global
Perspectives on Values Education. Disampaikan pada Simposium bertajuk Giving
Value to Values Education, Hong Kong, Oktober 2003
Delors, Jacques, et al. (1996).
Learning: The Treasure Within, Laporan Komisi Internasional Pendidikan untuk
Abad 21 kepada UNESCO, UNESCO Publishing, ISBN 07306-9037-7. Drake, Christopher
(2007). Pentingnya Lingkungan Belajar Berbasis Nilai. Institut Pendidikan.
London University:London
Dwikoranto. (2009). Membangun
karakter melalui pendidikan di sekolah sebagai upaya peningkatan kualitas anak
didik. Disampaiakan pada Semnas Uny: Jogjakarta, Desember 2009
Pramonoadi. 2012. Model
Pembelajaran Berbasis Nilai Living Values di Sekolah Full Day Berbasis Islam
Putri, Rizkia Amelia Sania. 2015.
Telaah Kritis Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Hukum Adat dan Islam
Sebagai Aktualisasi Nilai-Nilai Kemajemukan Rakyat Indonesia. PANGGUNG
HUKUM
Vol.1, No.2, Juni 2015, Jurnal Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia
Cabang Daerah Istimewa Yogyakarta
Surbakti, Natangsa. 2012. Dampak
Negatif Pengabaian Nilai Kultural Dalam Penegakan Hukum. Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 15, No. 1, Maret 2012: 41-53
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS
UU No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
PP Nomor 74 Tahun 2008 Tentang Guru
No comments:
Post a Comment