Tips Belajar Akuntansi

Potret Pelatihan Guru Indonesia

Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya menuntut pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Ahmad Sudrajat (2007) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”. Perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru. Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (dalam Sudrajat 2007) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai.

Data menunjukkan bahwa dalam catatan MONE (2001), di Sekolah Dasar (SD) ada 25.697.810 siswa dengan 1.128.475 guru; di SMP ada 7.584.707 siswa dengan 463.864 guru; di SMA ada 4.872.451 siswa dengan 354.648 guru. Dengan demikian, di SD, tiap guru rata-rata membimbing 23 siswa; di SMP tiap guru rata-rata membimbing 17 siswa; dan di SMA setiap guru rata-rata membimbing 14 siswa.Dari data itu, secara umum jumlah guru di Indonesia sebenarnya memadai. Namun, dalam realitasnya banyak sekolah kekurangan guru. Sebagai ilustrasi, tidak hanya SD di luar Pulau Jawa, tetapi juga di Pulau Jawa masih kekurangan banyak guru. Satu SD "nonparalel" yang idealnya memiliki tujuh guru kenyataannya hanya memiliki dua atau tiga guru.

Dalam aspek kualitas pendidikan guru, secara obyektif mutu guru kita masih rendah. Balitbang Depdiknas pernah membuat laporan, dari seluruh guru SD ternyata hanya sekitar 30 persen yang layak mengajar di kelas. Guru SMP dan SMA pada dasarnya sama meski dengan proporsi berbeda. Guru MI, MTs, dan MA kondisinya lebih parah. Secara akademis, banyak guru tidak berkualifikasi mengajar, misalnya, lulusan SM mengajar SD dan MI, lulusan D II mengajar SMP dan MTs, dan lulusan D III mengajar SMA serta MA.

Kondisi ini diperparah lagi dengan kurang optimalnya motivasi mengajar sebagian guru. Hal ini dikarenakan kesejahteraan yang rendah. Bila selama ini banyak pendapat menyatakan profesionalisme guru di Indonesia relatif rendah atau kurang memadai, hal itu merupakan akibat langsung dari rendahnya kesejahteraan guru. Jumlah guru yang kurang, kualitas yang rendah dan profesionalisme yang kurang memadai adalah kombinasi sempurna guna menghasilkan lulusan yang kurang cerdas. Realitas inilah yang terjadi di negara kita bertahun-tahun.

Sebagai tindak lanjut Departemen Pendidikan Nasional menetapkan 4 (empat) hal sebagai prioritas strategis: 1) mengatur sistem manajemen pendidikan 2) meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan, 3) meningkatkan penyebaran dan penerapan pemerataan sehingga setiap orang berkesempatan untuk memperoleh pendidikan, 4) meningkatkan penguasaan dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Terdapat 3 (tiga) program utama untuk meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan: 1) akreditasi dan persamaan gelar di universitas (standar kualifikasi guru), 2) seminar dan pelatihan bagi para guru di LPMP dan PPPG, 3) MGMP, Musyawarah Guru Mata Pembelajaran untuk mengembangkan profesi.

Berdasarkan kebijakan diatas widyaiswara sebagai ujung tombak LPMP dalam pelaksanaan pelatihan dan pembinaan guru disetiap tempat, memiliki peran yang amat strategis. Widyaiswara, yang memiliki tugas dan fungsi pokok sebagai fasilitator dalam pelatihan dan pembinaan guru, tentunya dituntut untuk selalu mengembangkan kemampuannya dalam rangka penyelenggaraan pelatihan  dan pembinaan yang baik. Metode-metode yang dikembangkan nantinya tidak hanya harus inovatif akan tetapi juga efektif dalam penerapannya di lapangan. Hal ini mutlak dilakukan terlebih berdasarkan laporan awal Program SISTTEMMS, kerjasama Pemerintah Indonesia dan Japan International Cooperation Agency (JICA) pada bulan Mei Tahun 2006 kemarin, didalam pelatihan guru pada umumnya lebih didominasi oleh pembelajaran dengan model ceramah yang isinya hanya berorientasi pada teori semata (subject matter). Peningkatan kompetensi guru harus berbasis pendekatan klinis dan praktis, melalui praktek, pengamatan dan refleksi dalam pola yang sistematis.

Proses pelatihan dan pembinaan adalah serangkaian tahapan proses peningkatan kualitas kompetensi guru haruslah memiliki pola atau model yang lebih efektif. Dengan model ini tidak hanya mampu secara bertahap mengarahkan peserta pelatihan pada fase kemandirian, tetapi yang terpenting adalah mendorong penyempurnaan kualitas pelatihan dan pembinaan itu sendiri ke arah yang lebih baik. Sehingga untuk dapat mencapai hal tersebut keberadaan model ini pula harus mampu merevitalisasi peran dan fungsi sekolah sebagai tempat untuk saling belajar dan tumbuh berkembang.


Proses pelatihan dan pembinaan adalah serangkaian tahapan proses peningkatan kualitas kompetensi guru haruslah memiliki pola atau model yang lebih efektif. Dengan model ini tidak hanya mampu secara bertahap mengarahkan peserta pelatihan pada fase kemandirian, tetapi yang terpenting adalah mendorong penyempurnaan kualitas pelatihan dan pembinaan itu sendiri ke arah yang lebih baik. Sehingga untuk dapat mencapai hal tersebut keberadaan model ini pula harus mampu merevitalisasi peran dan fungsi sekolah sebagai tempat untuk saling belajar dan tumbuh berkembang.
Share:

No comments:

Post a Comment