Tips Belajar Akuntansi

Guru, Sekolah dan Kaderisasi Bangsa

Satu hal jarang dan hampir dilupakan oleh guru adalah peran jangka panjangnya dalam dinamika kehidupan. Padahal proses pendidikan merupakan proses yang kita sepakati sebagai bagian membuat bangunan sebuah negara. Pendidikan merupakan bagian integral dari penanaman nilai, pembentukan watak diluar tugas pokoknya sebagai transfer pengetahuan dan teknologi. Diakui atau tidak sebagian dari kita masih bertanya tentang "hak" daripada "kewajiban". Meski tidak bisa kita pungkiri bahwa guru juga merupakan sumber penghasilan kita.

Namun tentunya kita tidak ingin memperdebatkan hal tersebut dalam tulisan ini, memaksimalkan peran guru bagi saya masih belum pernah dilakukan oleh kebanyakan dari kita. Maksud dari maksimalisasi peran guru disini adalah bagaimana guru tidak hanya puas dengan capaian pembelajarannya, akan tetapi lebih pada "bagaimana perilaku siswa yang sudah terbentuk". Sebab pembelajaran adalah sebuah proses perubahan perilaku, tanpanya pembelajaran hanyalah proses yang tidak bermakna.

Tanpa melihat kekurangannya pembelajaran yang terjadi pada era yang lalu telah mampu melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang hingga kini mampu kita teladani. siapakah mereka ? Sebut saja, Bung Karno, siapakah dia, sejauh ini kita hanya mengenal beliau sebagai presiden pertama Indonesia, tokoh proklamasi, tapi jarang diantara kita menilai Bung Karno sebagai capaian yang luar biasa dari sebuah proses pendidikan atau pembelajaran.

Ini merupakan kondisi nyata bahwa persepsi kita semua tentang hasil sebuah proses pembelajaran hanya sebatas nilai atau prestasi belum sebuah perilaku. Sebuah hal yang tidak mudah memang, namun bukan berarti mustahil untuk dilakukan bukan? Disinilah pokok persoalan yang kemudian ingin kita bahas.

Coba kita kaji sebuah konsep sederhana, arti "kader" kader adalah individu yang percaya terhadap teori dan nilai yang selanjutnya diwujudkan dalam tindakan atau perilaku. Bayangkan jika seorang siswa mampu bersikap demikian, tentu sekolah akan lebih dari hari ini kondisinya. Siapa yang tidak tahu bahwa tugas guru itu "sulit dan berat" tapi apa dengan itu seorang guru harus "dikasihani" dan berkeluh kesah. Beratnya tugas guru sebenarnya akan lebih mudah jika seorang guru itu mampu berbagi peran dengan siswanya.

Hal baru yang patut dicoba adalah memberi peran dan ruang yang lebih besar bagi siswa kita. Perlu kita memberikan kepada mereka kemampuan untuk mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Menanamkan kepada mereka kecerdasan untuk berfikir dan bersikap terhadap apa yang dihadapi. Hal ini pernah ditulis oleh Prof. Zainuddin Maliki sebagai resilent behaviour, individu yang aktif dan mandiri.

Untuk mewujudkan hal tersebut maka seorang guru perlu membangun sekolahnya sebagai ruang kaderisasi, berikut beberapa hal yang harus dilakukan oleh seorang guru;

a. Peran guru pendamping belajar

Dalam menjalankan peran ini seorang guru harus mampu melakukan lima hal dasar;

- penyadaran; memberikan kesadaran belajar kepada siswa sekaligus tentang tugas dan tanggungjawabnya

- pembelajaran; melakukan transfer pengetahuan dan teknologi oleh sebab itu seorang guru harus terus belajar

- pemberdayaan; meningkatkan kemampuan siswa dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya

- penguatan; memberikan motivasi dan pernghargaan atas capaian yang telah dilakukan oleh siswa

b. Peran pelayanan

Peran ini bukanlah peran pokok seorang guru, namun merupakan penunjang keberhasilan dan keberlanjutan proses yang dilakukan oleh seorang guru. Tentunya sebuah upaya tindakan akan tidak berarti tanpa sebuah proses perencanaan, penyelesaian masalah takkan berarti tanpa proses begitu juga keberhasilan tidak akan berarti jika tanpa proses berbagi atau keberlanjutan. Beberapa hal yang patut dilakukan oleh guru;

- administrasi dan manajemen belajar

- aktif dalam kegiatan pengembangan profesi (jaringan kerja)

- kepemimpinan kepada siswa

c. Peran fasilitasi

Peran terakhir yang harus dilakukan oleh seorang guru menfasilitasi siswa di sekolah, aspek fasilitasi yang dimaksud meliputi;

- pemecahan masalah siswa

- pemenuhan kebutuhan siswa

- mempermudah akses belajar (peluang) siswa

Sejauh ini hal ini masih merupakan konsep dan adalah tugas kita untuk membuktikan sejauhmana peran kita sebagai guru untuk mewarnai dan menciptakan kader bangsa dari siswa yang kita tempa dalam pembelajaran di kelas dan sekolah. Bukan sebuah hal yang mustahil jika hal yang sulit dapat kita wujudkan sebab tugas yang besar selalu dimulai dari sebuah langkah. Mari melangkah untuk sebuah perubahan.

Share:
Read More

Membangun Learning Community Di Sekolah

Secara eksplisit dinyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di dalam kelas antara adalah kompetensi guru, metode pembelajaran yang dipakai, kurikulum, sarana dan prasarana, serta lingkungan pembelajaran baik lingkungan alam, (psiko) sosial dan budaya (Depdikbud, 1994). Dapat diartikan disini bahwa lingkungan sosial pembelajaran di kelas maupun dilingkungan (kantor guru dan staf tata usaha) mempunyai pengaruh baik langsung maupun tak langsung terhadap proses KBM. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengoptimalkan proses KBM di kelas dengan melaksanakan program penataran untuk meningkatkan kompetensi guru, pengenalan metode-metode baru dalam pembelajaran, serta perbaikan dan peningkatan sarana maupun prasarana pendidikan. Namun demikian, meskipun secara eksplisit diakui bahwa lingkungan pembalajaran dan lingkungan merupakan faktor yang menentukan keberhasilan proses pembelajaran di dalam kelas, program-program yang dilaksanakan belum menyentuh atau masih mengabaikan hal tersebut.

Pendidikan dan pengajaran, dua hal yang memiliki arti sedikit berbeda. Menurut UU RI No. 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar yang terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya …. Sedangkan pengajaran menurut English dan English (dalam Purnomo, 1996 : 6), adalah menyajikan pengetahuan secara sistemik kepada orang lain. Ditambahkan oleh Purnomo (1996: 2), pengajaran sering juga disebut proses belajar mengajar sebab jika ada yang mengajar maka ada yang belajar. Disebut sebagai proses karena kegiatan guru dan siswa berlangsung secara teratur dalam serangkaian kegiatan. Berikut ini akan dijelaskan lebih rinci tentang pengertian belajar dan mengajar:

Istilah belajar menurut Hintzman (dalam Syah, 2003: 65), bahwa “learning is a change in organism due to experience wich can effect the organism’s behavior” (belajar adalah suatu perubahan dalam diri organisme disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisasi tersebut). Ditambahkan oleh Cronbach (dalam Sardiman, 2001: 20), bahwa “learning is shown by a change in behavior as a result. of experience” (belajar ditunjukkan oleh perubahan perilaku sebagai akibat pengalaman).

Sedangkan Reber (dalam Syah, 2003 : 66) membatasi belajar dalam 2 macam definisi. Definisi yang pertama : “The process of acquiring knowledge” (proses memperoleh pengetahuan) dan definisi yang kedua : “A relatively permanent change in respons potentiality wich occur as a result of reinforced practice” (suatu perubahan kemampuan yang relatif langgeng sebagai hasil latihan yang diperkuat)

Emerse R. Hilgard dalam bukunya yang dikutip oleh Abu Hanafi “Theories of Learning” mendefinisikan bahwa seorang yang melaksanakan kegiatan belajar maka kelakuannya akan berubah dari sebelumnya. Jadi belajar tidak hanya mengenai bidang intelektual, akan tetapi mengenai seluruh pribadi anak. Perubahan kelakuan karena mabuk bukanlah hasil belajar (Abu Ahmadi, 1986:15). Pendapat lain mengatakan bahwa belajar merupakan bentuk pertumbuhan dan perkembangan dalam diri seseorang yang dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman dan latihan (Oemar Hamalik, 1980). Seorang dikatakan belajar apabila diasumsikan dalam diri orang tersebut mengalami suatu proses kegiatan belajar yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku (Herma Hudoyo, 1990:13). Dijelaskan pula oleh Sunaryo (1989:4) bahwa belajar adalah suatu kegiatan dimana seseorang menghasilkan atau membuat suatu perubahan tingkah laku yang ada pada dirinya dalam pengetahuan, sikap dan ketrampilan, sudah barang tentu tingkah laku tersebut adalah tingkah laku yang positif artinya mencari kesempurnaan hidup. Belajar itu sendiri terdiri dari berbagai tipe yaitu : (1) menghafal dalam pelajaran dengan sedikit tanpa memahami artinya, misalnya rumus-rumus IPA, (2) memperoleh pengertian-pengertian yang sederhana, seperti kenyataan empat ditambah lima semuanya berjumlah sembilan, (3) menemukan dan memahami hubungan yang menghendaki respon-respon logis dan benar-benar psikologis.

Setelah memahami beberapa konsep yang dikemukakan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa belajar merupakan kegiatan psikis dan badaniah yang akan mengubah tingkah laku seseorang yang didapat dari hasil pengalaman dan latihan yang bersifat positif. Prestasi belajar pada dasarnya adalah hasil yang dicapai dalam usaha penguasaan materi dan ilmu pengetahuan yang merupakan suatu kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya. Melalui belajar dapat diperoleh hasil yang lebih baik.

Belajar berarti mengubah tingkah laku. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sudirman (1988:23) bahwa belajar adalah mengubah tingkah laku. Belajar akan membantu terjadinya suatu perubahan pada diri individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya dikaitkan dengan perubahan ilmu pengetahuan, melainkan juga berbentuk percakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak dan penyesuaian diri. Belajar menyangkut segala aspek organisme dan tingkah laku pribadi seseorang, prestasi belajar pada hakekatnya merupakan hasil dari belajar sebagai rangkaian jiwa raga. Psikofisik untuk menuju perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa, dan karsa, ranah kognitif, efektfif dan prestasi motorik.

Prestasi belajar sebagai suatu hasil belajar akan menjangkau tiga ranah atau matra seperti yang dikemukakan oleh Bloom, yaitu matra kognitif, efektif, dan psikomotorik dimana ranah atau matra tersebut dipenuhi menjadi beberapa jangkauan kamampuan. Jangkauan kemampuan tersebut adalah sebagai berikut :

Termasuk kedalam ranah kognitif adalah : (1) pengetahuan dan ingatan (kwoledge), (2) Pemahaman, menjelaskan , meringkas, contoh  (comprehension), (3) menguraikan, menentukan hubungan (analysis), (4) mengorganisasikan, merencanakan membentuk bangunan baru (syntesis), (5) menilai (evaluation), dan (6) penerapan (aplication).

Termasuk kedalam ranah afektif (affective) adalah : (1) sikap menerima (receiving), (2) memberikan respons (responding), (3) menentukan harga (valuing), (4) mengorganisasi (organization), dan (5) memberikan ciri-ciri (characterization). Ranah psikomotor (psychomotor domain) meliputi : (1) tingkatan mengenal (initiatory levels), (2) tingkatan pra ajeg (preroutine level), dan (3) tingkatan melakukan secara ajeg (routine level) (Sahardiman,1988:25-26).

Dengan demikian  prestasi belajar dapat dikatakan sempurna apabila target jangkauan mengenai pencapaian tingkat sebagaimana yang telah disebutkan sesuai dengan tujuan belajar yang diharapkan siswa. Prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil maksimum yang telah dicapai oleh siswa setelah mengalami proses belajar mengajar dalam mempelajari materi pelajaran tertentu. Hasil belajar tidak mutlak berupa nilai saja, akan tetapi dapat pula berupa perubahan atau peningkatan sikap, kebiasaan, pengetahuan, keuletan, ketabahan, penalaran, kedisiplinan, ketrampilan dan sebagainya yang menuju pada perubahan positif. Prestasi belajar menunjukkan kemampuan siswa yang sebenarnya yang telah mengalami proses pengalihan ilmu pengetahuan dari seseorang yang dapat dikatakan dewasa atau memiliki pengetahuan kurang. Walaupun sebenarnya prestasi ini bersifat sesaat saja, tetapi sudah dapat dikatakan bahwa siswa tersebut benar-benar memiliki ilmu pada materi atau bahasan tertentu. Jadi, dengan adanya prestasi belajar, orang dapat mengetahui seberapa jauh siswa dapat menangkap, memahami, memiliki meteri pelajaran tertentu. Atas dasar itu, pendidik dapat menentukan strategi belajar mengajar yang lebih baik. Demikian pula dengan adanya prestasi belajar, pihak sekolah dan pihak lain memerlukan. Dengan demikian dapat memberikan motivasi seperlunya.
Share:
Read More

Potret Pelatihan Guru Indonesia

Lahirnya Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada dasarnya menuntut pemerintah untuk menata dan memperbaiki mutu guru di Indonesia. Michael G. Fullan yang dikutip oleh Ahmad Sudrajat (2007) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”. Perubahan dan pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru. Jika kita amati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (dalam Sudrajat 2007) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai.

Data menunjukkan bahwa dalam catatan MONE (2001), di Sekolah Dasar (SD) ada 25.697.810 siswa dengan 1.128.475 guru; di SMP ada 7.584.707 siswa dengan 463.864 guru; di SMA ada 4.872.451 siswa dengan 354.648 guru. Dengan demikian, di SD, tiap guru rata-rata membimbing 23 siswa; di SMP tiap guru rata-rata membimbing 17 siswa; dan di SMA setiap guru rata-rata membimbing 14 siswa.Dari data itu, secara umum jumlah guru di Indonesia sebenarnya memadai. Namun, dalam realitasnya banyak sekolah kekurangan guru. Sebagai ilustrasi, tidak hanya SD di luar Pulau Jawa, tetapi juga di Pulau Jawa masih kekurangan banyak guru. Satu SD "nonparalel" yang idealnya memiliki tujuh guru kenyataannya hanya memiliki dua atau tiga guru.

Dalam aspek kualitas pendidikan guru, secara obyektif mutu guru kita masih rendah. Balitbang Depdiknas pernah membuat laporan, dari seluruh guru SD ternyata hanya sekitar 30 persen yang layak mengajar di kelas. Guru SMP dan SMA pada dasarnya sama meski dengan proporsi berbeda. Guru MI, MTs, dan MA kondisinya lebih parah. Secara akademis, banyak guru tidak berkualifikasi mengajar, misalnya, lulusan SM mengajar SD dan MI, lulusan D II mengajar SMP dan MTs, dan lulusan D III mengajar SMA serta MA.

Kondisi ini diperparah lagi dengan kurang optimalnya motivasi mengajar sebagian guru. Hal ini dikarenakan kesejahteraan yang rendah. Bila selama ini banyak pendapat menyatakan profesionalisme guru di Indonesia relatif rendah atau kurang memadai, hal itu merupakan akibat langsung dari rendahnya kesejahteraan guru. Jumlah guru yang kurang, kualitas yang rendah dan profesionalisme yang kurang memadai adalah kombinasi sempurna guna menghasilkan lulusan yang kurang cerdas. Realitas inilah yang terjadi di negara kita bertahun-tahun.

Sebagai tindak lanjut Departemen Pendidikan Nasional menetapkan 4 (empat) hal sebagai prioritas strategis: 1) mengatur sistem manajemen pendidikan 2) meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan, 3) meningkatkan penyebaran dan penerapan pemerataan sehingga setiap orang berkesempatan untuk memperoleh pendidikan, 4) meningkatkan penguasaan dan penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Terdapat 3 (tiga) program utama untuk meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan: 1) akreditasi dan persamaan gelar di universitas (standar kualifikasi guru), 2) seminar dan pelatihan bagi para guru di LPMP dan PPPG, 3) MGMP, Musyawarah Guru Mata Pembelajaran untuk mengembangkan profesi.

Berdasarkan kebijakan diatas widyaiswara sebagai ujung tombak LPMP dalam pelaksanaan pelatihan dan pembinaan guru disetiap tempat, memiliki peran yang amat strategis. Widyaiswara, yang memiliki tugas dan fungsi pokok sebagai fasilitator dalam pelatihan dan pembinaan guru, tentunya dituntut untuk selalu mengembangkan kemampuannya dalam rangka penyelenggaraan pelatihan  dan pembinaan yang baik. Metode-metode yang dikembangkan nantinya tidak hanya harus inovatif akan tetapi juga efektif dalam penerapannya di lapangan. Hal ini mutlak dilakukan terlebih berdasarkan laporan awal Program SISTTEMMS, kerjasama Pemerintah Indonesia dan Japan International Cooperation Agency (JICA) pada bulan Mei Tahun 2006 kemarin, didalam pelatihan guru pada umumnya lebih didominasi oleh pembelajaran dengan model ceramah yang isinya hanya berorientasi pada teori semata (subject matter). Peningkatan kompetensi guru harus berbasis pendekatan klinis dan praktis, melalui praktek, pengamatan dan refleksi dalam pola yang sistematis.

Proses pelatihan dan pembinaan adalah serangkaian tahapan proses peningkatan kualitas kompetensi guru haruslah memiliki pola atau model yang lebih efektif. Dengan model ini tidak hanya mampu secara bertahap mengarahkan peserta pelatihan pada fase kemandirian, tetapi yang terpenting adalah mendorong penyempurnaan kualitas pelatihan dan pembinaan itu sendiri ke arah yang lebih baik. Sehingga untuk dapat mencapai hal tersebut keberadaan model ini pula harus mampu merevitalisasi peran dan fungsi sekolah sebagai tempat untuk saling belajar dan tumbuh berkembang.


Proses pelatihan dan pembinaan adalah serangkaian tahapan proses peningkatan kualitas kompetensi guru haruslah memiliki pola atau model yang lebih efektif. Dengan model ini tidak hanya mampu secara bertahap mengarahkan peserta pelatihan pada fase kemandirian, tetapi yang terpenting adalah mendorong penyempurnaan kualitas pelatihan dan pembinaan itu sendiri ke arah yang lebih baik. Sehingga untuk dapat mencapai hal tersebut keberadaan model ini pula harus mampu merevitalisasi peran dan fungsi sekolah sebagai tempat untuk saling belajar dan tumbuh berkembang.
Share:
Read More

Appreciative Inquairy (AI)

Secara sederhana appreciative inquairy (AI) dapat diartikan sebagai seni dan praktek bertanya yang memperkuat kapasitas manusia dan sistem untuk menciptakan masa depan yang penuh dengan harapan. Secara lebih serius, AI adalah metode yang mentransformasikan kapasitas sistem manusia untuk perubahan positif dengan menfokuskan pada pengalaman positif dan masa depan yang penuh dengan harapan. AI dapat diterapkan diberbagai bidang selama fokusnya adalah manusia dan sistem manusia. Sistem manusia dapat berarti manusia sebagai suatu makhluk yang utuh, dapat juga berarti keluarga, komunitas kelompok, organisasi bahkan kota.


AI pertama kali dikembangkan oleh David Cooperrider dan Suresh Srivastva di Case Western Reserve University di Clevelenad, Ohio. Dalam sepuluh tahun terakhir ini Ai sangat populer dan banyak dipraktekkan di berbagai wilayah dunia, seperti mengubah budaya organisasi, melakukan transformasi komunitas pinggiran, menciptakan pembaharuan organisasi, mengarahkan proses merger dan akuisisi dan menyelesaikan konflik. Dalam bidang sosial, AI digunakan untuk memberdayakan komunitas pinggiran, perubahan kota, membangun pemimpin religius, dan menciptakan perdamaian. Dalam dunia pendidikan, AI digunakan untuk perubahan budaya penyusunan rencana strategis, dan perubahan proses pembelajaran. Dalam pengelolaan SDM, AI diterapkan untuk melakukan wawancara seleksi, membentuk model kompetensi, penilaian kinerja, coaching dan mentoring, serta membentuk tim kerja. Selain itu, AI diterapkan juga untuk penciptaan keluarga, desain pendidikan anak, terapi individu dan terapi kelompok


AI berangkat dari dua hal pokok, apresiatif dan inkuiri. Apresiatif adalah apersepsi awal tentang sikap positif bahwa semua hal yang terjadi memiliki hikmah. Inkuri adalah pengembangan sikap untuk bertanya tentang sesuatu, tentang apa yang mampu diperoleh, tentang peluang-peluang strategis yang dapat diwujudkan. Untuk menerapkan 2 hal ini, terdapat 5 (lima) tahap siklus yang dikenal sebagai siklus 5D sebagai berikut:



Melalui penerapan AI dalam model pendidikan dan pelatihan guru yang ingin diwujudkan adalah peningkatan kecerdasan apresiatif guru. Kecerdasan apresiatif oleh Thatchenkery (Thatchenkery & Maetzker) dijelaskan sebagai “ the ability to reframe a given situation to recognize the positive possibilities embedded in it but it is not aparent to the untrained eye, and to engage in the necessary actions so that the desired outcomes may unfold from generative aspects of the current situation”.


Terdapat 3 (tiga) komponen kecerdasan apresiatif dapat dilihat dalam tabel berikut:

(i) Reframing (pembingkaian ulang)

Kemampuan untuk memiliki pandangan untuk membingkai ulang dan melihat potensi yang ada namun tidak terlihat


(ii) Appreciating the positive (sikap positif)


Kemampuan untuk menentukan aspek yang bernilai positif dan berharga


(iii) Seing how the future unfolds from the present (masa depan tidak terkait dengan kenyataan saat ini)


Kemampuan untuk menghubungkan hal-hal positif yang diketemukan dengan gambaran masa depan yang menjadi visi untuk diwujudkan


Indikator-indikator dalam kecerdasan appresiatif antara lain: kemampuan peserta pelatihan dan pendidikan yang muncul dalam perilaku positif, optimisme, kreatifitas, percaya diri/kemandirian, kerjasama, konsentrasi belajar, keberanian mengambil inisiatif, kemampuan pengelolaan masalah, kemampuan pengelolaan waktu, dan kemampuan komunikasi.

Share:
Read More

Perilaku Guru dan Implementasi TIK Dalam Pembelajaran

Oleh; Hafis Mu'addab

Menurut Kwarta (http://www.e-dukasi.net/artikel) Indonesia sebagai negara berpopulasi tertinggi ke-4 tentunya memiliki tantangan yang nyaris yang sama dengan negara China dan India. Problem kesehatan dan pendidikan selalu dijadikan parameter untuk mengukur kesejahteraan rakyat di suatu Negara. Indonesia dengan populasi 247 juta dimana diantaranya terdapat 51 juta siswa dan 2,7 juta guru di lebih dari 293.000 sekolah, serta 300.000 dosen di lebih dari 2.700 perguruan tinggi yang tersebar di 17.508 pulau, 33 provinsi, 461 kabupaten/kota, 5.263 Kecamatan, dan 62.806 desa. Tentunya juga memiliki tantangan khusus di bidang pendidikan.

Beberapa tantangan diantaranya adalah: masih banyaknya anak usia sekolah yang belum dapat menikmati pendidikan dasar 9 tahun: angka partisipasi anak berusia sekolah 7-12 tahun untuk bersekolah masih dibawah 80% (APK SMP 85,22 dan APK SMA 52,2). Tantangan berikutnya adalah (1) tidak meratanya penyebaran sarana dan prasarana pendidikan/sekolah (sebagai contoh: tidak semua sekolah memiliki saluran telepon, apalagi koneksi internet): Kota vs Desa/Daerah Terpencil/Daerah Perbatasan, Indonesia Barat vs Indonesia Timur. (2) Tidak seragamnya dan masih rendahnya mutu pendidikan di setiap jenjang sekolah yang ditandai dengan tingkat kelulusan UN yang masih rendah, demikian pula nilai UN yang diperoleh siswa. (3) Rendahnya kualitas kompetensi tenaga pengajar, dimana dari jumlah guru yang ada 2.692.217, ternyata yang memenuhi persyaratan (tersertifikasi) hanya 727.381 orang atau baru 27% dari total jumlah guru di Indonesia. Dan yang tidak kalah penting adalah (4) rendahnya tingkat pemanfaatan TIK di sekolah yang telah memiliki fasilitas TIK (utilitas rendah), disisi lain tidak semua sekolah mempunyai sarana TIK yang memadai.


Hambatan lain dalam penerapan teknologi dalam pembelajaran adalah kecenderungan perilaku guru pada umumnya;

(1)  Tidak mau repot atau merasa puas dengan hasil pekerjaan yang telah dicapai

Guru biasanya cenderung merasa puas dengan hasil pekerjaan yang telah dicapainya melalui cara kerja yang telah diterapkan. Tipe guru yang demikian ini “cenderung tidak mau repot-repot dengan hal-hal yang baru (termasuk pemanfaatan TIK dalam pembelajaran)”. Mengapa? Karena mereka berpikir bahwa dengan cara

mengajar yang lama saja, telah memberikan hasil prestasi belajar siswa yang menggembirakan atau bernilai baik. Mengandalkan pengalamannya yang telah berhasil membawa para siswanya mencapai prestasi belajar yang menggembirakan, maka tipe guru yang demikian ini akan cenderung memperlihatkan “sikap yang resistan terhadap setiap gagasan pembaharuan”

(2)  Sikap yang menghendaki bukti konkrit terlebih dahulu

Sikap guru yang “menghendaki bukti konkrit terlebih dahulu” masih dinilai lebih moderat dalam menyikapi gagasan pembaharuan dibandingkan dengan sikap guru yang “tidak mau repot-repot dengan sesuatu yang baru” atau “merasa puas dengan hasil belajar yang telah dicapai siswa”. Dalam kaitan ini, perlu dilakukan terlebih dahulu suatu model perintisan pemanfaatan TIK di beberapa sekolah yang guru-gurunya mempunyai keterbukaan terhadap gagasan pembaharuan. Keberhasilan penerapan pemanfaatan TIK di sekolah-sekolah perintisan akan menjadi acuan bagi beberapa sekolah yang ada di sekitarnya

Guru-guru yang berada di beberapa sekolah di sekitar sekolah perintisan akan tergugah dengan melihat langsung dampak positif dari hasil pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Guru-guru di sekitar sekolah perintisan yang sudah tergugah ini akan lebih mudah diajak untuk turut melaksanakan pemanfaatan TIK dalam pembelajaran

(3)  Sikap yang sekedar melaksanakan tugas yang diberikan pimpinan sekolah

Guru yang pada dasarnya tidak berminat untuk memanfaatkan TIK dalam kegiatan pembelajaran, tetapi karena ditugaskan oleh pimpinan, maka agar dinilai loyal terhadap pimpinan, maka sang guru yang sekalipun dengan berat hati akan melaksanakan pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajarannya. Pada umumnya, iklim yang demikian ini tidak akan berlangsung lama. Akan selalu saja ada alasan yang akan disampaikan sang guru apabila pimpinan sekolah sewaktu-waktu mengetahui bahwa sang guru tidak melaksanakan pemanfaatan TIK secara berkelanjutan dalam kegiatan pembelajarannya

Pemanfaatan TIK yang diterapkan oleh guru yang bersikap “sekedar melaksanakan tugas dari pimpinan” ini tidak akan membuahkan hasil sekalipun dipahami bersama bahwa TIK dapat memberikan nilai tambah. Nilai tambah akan diperoleh apabila memang TIK itu dimanfaatkan secara tepat (appropriate) dan dengan sungguh-sungguh. Tetapi justru sebaliknya, bukan nilai tambah yang diperoleh apabila sang guru hanya sekedar melaksanakan tugas pimpinan

(4)  Sikap yang suka mencoba hal-hal yang baru (responsif)

Seorang guru yang “suka mencoba hal-hal yang baru (responsif)” biasanya akan sangat berterima kasih apabila pimpinannya memintanya untuk melaksanakan suatu gagasan yang baru, misalnya saja pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Sekalipun tanpa adanya permintaan dari pimpinan, biasanya sang guru yang “suka mencoba hal-hal yang baru (responsif)” akan membawa gagasan baru yang diperolehnya di luar ke dalam sekolah. Bisa saja terjadi bahwa sang guru tidak menginformasikan penerapan gagasan pembaharuan yang telah dilaksanakannya di kelas kepada pimpinan sekolah. Justru pimpinan sekolah yang justru kemungkinan terkejut sewaktu ada pihak luar atau siswa yang bercerita bahwa sang guru telah memperkenalkan gagasan baru kepada para siswa

Perilaku-perilaku guru diatas inilah yang kemudian menjadi faktor mengapa implementasi TIK dalam pembelajaran masih sangat rendah sekali. Padahal untuk mewujudkan hal tersebut hanya permasalahan kemauan guru untuk belajar dan menghidupkan iklim pembelajaran yang dilakukannya di kelas. Persoalannya mau atau tidak? pilihan sekarang harus diputuskan.

Sang guru akan merasakan adanya kepuasan di dalam dirinya apabila berhasil memperkenalkan gagasan pembaharuan kepada para siswanya. Kepuasan sang guru akan bertambah apabila para siswanya memperlihatkan hasil belajar yang meningkat pula

(5)  Sikap pamrih dalam melaksanakan hal-hal yang baru

Pengenalan suatu gagasan pembaharuan, misalnya saja pemanfaatan TIK untuk kegiatan pembelajaran akan disambut positif oleh para guru. Mengapa? Karena mereka berpendapat bahwa kegiatan pengenalan ini akan diikuti dengan langkah berikutnya yaitu penerapannya apabila para guru memang memberikan respons yang positif. Pada umumnya, para guru yang merespons positif dan ditugaskan sekolah untuk berperanserta dalam penerapan pemanfaatan TIK akan dibekali dengan berbagai persiapan termasuk pelatihan untuk pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Selain bekal yang bersifat substansi, para guru juga dibekali dengan insentif atau biaya partisipasi. Kedua jenis bekal yang dalam hal ini disebut sebagai “pamrih”

(6)  Sikap ikut-ikutan agar tidak dikatakan ketinggalan jaman

Seorang guru cenderung tidak akan menolak apabila ditugaskan untuk turut serta melaksanakan sesuatu gagasan pembaharuan misalnya pemanfaatan TIK sekalipun mungkin dirinya tidak begitu yakin akan komitmen untuk penerapannya secara berkelanjutan. Setidak-tidaknya, sang guru akan dilihat oleh para koleganya sebagai orang yang tidak ketinggalan. Yang penting di dalam pemikiran sang guru adalah bahwa dirinya sudah mengikuti perkembangan atau kemajuan yang ada, terlepas bagaimana porsi atau kadar keikut-sertaannya

(7)  Sikap innovatif atau kreatif dalam melaksanakan tugas

Guru yang memang memiliki keterbukaan, baik dalam hal pemikiran maupun sikapnya terhadap setiap gagasan pembaharuan (misalnya pemanfaatan TIK yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hasil pembelajaran siswa), akan lebih mudah tergugah untuk mempelajari dan memahami suatu gagasan pembaharuan. Dengan kesediaan mempelajari suatu gagasan pembaharuan, maka guru akan memiliki pemahaman yang jelas di bidang pemanfaatan TIK sebelum menerima dan menerapkan gagasan
Share:
Read More

Problem Dasar Pembelajaran Sains

Hakikat pembelajaran Sains (Puskur, 2003) adalah pembelajaran yang mampu merangsang kemampuan berfikir siswa meliputi empat unsur utama (1) sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; IPA bersifat open ended; (2) proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan; (3) produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; (4) aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses pembelajaran IPA keterlibatan keempat unsur ini, diharapkan dapat membentuk peserta didik memiliki kemampuan pemecahan masalah dengan metode ilmiah, dan meniru cara ilmuwan bekerja dalam menemukan fakta baru

Namun pembelajaran sains yang selama ini terjadi di sekolah belum mengembangkan kecakapan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Padahal pengajaran sains dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah pengajaran yang mengajarkan siswa bagaimana belajar, bagaimana mengingat, bagaimana berfikir, dan bagaimana memotivasi diri mereka (Nur, 2005). Pengajaran sains merupakan proses aktif yang berlandaskan konsep konstruktivisme yang berarti bahwa sifat pengajaran sains adalah pengajaran yang berpusat pada siswa (student centered instruction).

Untuk menilai apakah IPA diimplementasikan di Indonesia, kita dapat melihat hasil literasi IPA anak-anak Indonesia. Hal ini mengingat arti literasi sains/IPA (scientific literacy) itu sendiri yang ditandai dengan kerja ilmiah, dan tiga dimensi besar literasi sains yang ditetapkan oleh PISA, yaitu konten IPA, proses IPA, dan konteks IPA. Hasil penelitian PISA tahun 2000 dan tahun 2003 menunjukkan bahwa literasi sains anak-anak Indonesia usia 15 tahun masing-masing berada pada peringkat ke 38 (dari 41 negara) dan peringkat ke 38 dari (40 negara) (Bastari Purwadi, 2006). Skor rata-rata pencapaian siswa ditetapkan sekitar nilai 500 dengan simpangan baku 100 point. Hal ini disebabkan kira-kira dua per tiga siswa di negara-negara peserta memperoleh skor antara 400 dan 600 pada PISA 2003. Ini artinya skor yang dicapai oleh siswa-siswa Indonesia kurang lebih terletak di sekitar angka 400. Ini artinya bahwa siswa-siswa Indonesia tersebut diduga baru mampu mengingat pengetahuan ilmiah berdasarkan fakta sederhana (Puskur, 2007)

Dalam prioritas pembangunan pendidikan nasional ditekankan juga pengembangan kemampuan belajar. Dalam prinsip pengembangan kurikulum berbasis kompetensi hal ini berkaitan dengan pengembangan keterampilan hidup, yang kemudian diterjemahkan dalam pendidikan kecakapan hidup. Oleh sebab itu perlu diberikan pengajaran strategi belajar kepada siswa sebab keberhasilan siswa sebagian besar bergantung pada kemahiran untuk mengajar secara mandiri dan memonitor belajar mereka sendiri (Nur, 2005). Dalam peristilahan lain hal ini dapat disebut sebagai kesadaran diri (self awareness). Konsep tentang bagaimana belajar, bagaimana mengingat, bagaimana berfikir, dan bagaimana memotivasi diri mereka dan sekaligus kesadaran diri adalah konsep dasar pengajaran metakognitif (teaching metacognitive) yang ingin diangkat dalam penelitian ini.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh dua hasil penelitian, pertama hasil penelitian Rowan Hollingworth dan Catherine McLoughlin berjudul The Development of Metacognitive Skill Among First Year Science Student yang menyebutkan kemampuan metacognitive perlu diberikan guna meningkatkan keteraturan belajar sains dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Kedua, hasil penelitian Dra. Endang Susantini, M.Pd berjudul “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Dengan Strategi Metakognitif Untuk Memberdayakan Kecakapan Berfikir Pada Siswa SMU”. Penggunaan lembar penilaian pemahaman diri (LPPD) oleh guru dalam penelitian tersebut diketahui dapat memberikan kecakapan berfikir bagi siswa dan meningkatkan kemandirian siswa. Hal positif lain yang dapat dicapai oleh guru adalah membentuk siswa untuk memiliki sikap jujur, berani mengakui kesalahan dan menilai pemahamannya sendiri atau dengan kata lain strategi metakognitif mampu memunculkan kemandirian siswa dalam belajar. Namun penggunaan konsep metakognitif sejauh ini masih sebatas strategi belajar yang bersifat khusus dan belum sebagai pendekatan yang berlaku umum.

Padahal menurut Prof. Zainuddin Maliki (Jawa Pos, 3 Januari 2009) dalam gagasan pendidikan konstruktivistik untuk menghadapi kehidupan yang kompleks ini siswa harus memiliki kecerdasan metakognitif, meliputi kecerdasan kognitif, kecerdasan afektif dan kecerdasan motorik yang sejauh ini belum mampu dilakukan oleh guru. Guru sejauh ini cenderung merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang lebih berorientasi kognitif (pengetahuan), dan kurang mengembangkan aspek kecerdasan lain yang dimiliki siswa. Idealnya seorang guru harus mampu melahirkan resilence behaviour dari pembelajaran yang dilaksanakannya yang terbentuk dari kecerdasan metakognitif yang merupakan perpaduan antara kecerdasan kognitif, afektif dan motorik. Resilence behaviour sendiri merupakan perilaku cerdas siswa dalam membangun keseimbangan menghadapi hidup dan kehidupan.

Ditambahkan juga oleh Beyer (1998) bahwa kemampuan metakognitif merupakan pijakan dasar perilaku berfikir (habit of mind) yang merupakan hasil dari proses belajar. Namun, sejauh ini belum pelatihan metakognitif yang ditujukan kepada para guru untuk mampu mengimplementasikan metode metakognitif dalam pembelajaran. Berangkat dari argumentasi diatas maka perlu dilakukan pengembangan model pelatihan pengajaran metakognitif (teaching metacognitive) yang ditujukan untuk membekalkan ketrampilan metakognitif kepada guru-guru sains. Dengan pengembangan model  pelatihan ini diharapkan dapat memberi dampak kepada guru sehingga menjadi pribadi guru yang mandiri (self regulated teacher), dan juga memiliki dampak bagi siswa sehingga menjadi pelajar yang mandiri (self regulated learner). Sehingga diharapkan dapat terbentuk konsep belajar sepanjang hayat (long life education) yang terintegrasi pada pribadi guru dan siswa dan pembelajaran yang dilaksanakan.

Lebih jauh hal ini juga merupakan bagian dari upaya peneliti selaku widyaiswara memiliki peran sebagai inovator dan peneliti dengan harapan mampu memberikan masukan dalam kebijakan terkait dengan kegiatan penjaminan mutu pendidikan. Disisi lain hal ini juga merupakan implementasi dari upaya mewujudkan empat pilar belajar yang dianjurkan UNESCO untuk Pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Konsekuensi bahwa guru harus kreatif, bekerja secara tekun dan mau meningkatkan kemampuannya.
Share:
Read More

Mengukur Cahaya

Cahaya adalah aspek dasar dari astronomi, tapi anehnya para astronom justru tak memiliki aturan pakem untuk mengukur tingkat keterangan. Nah, sebentar lagi ini akan berubah, karena ukuran skala terang kuno akan diperbaharui, sehingga sifat sebenarnya dari energi gelap juga bisa diketahui.

Lebih dari 2.000 tahun lalu, astronom asal Yunani, Hipparchus, menetapkan skala ranking terang bintang. Sekarang, para astronom masih memakai sistem itu, yaitu dengan mengukur tingkat terang dengan membandingkannya ke beberapa bintang referensi. Masalahnya, tingkat terang bintang-bintang referensinya saja tak diketahui dengan akurat, dan pengukurannya tidak sejalan dengan perkembangan teknologi pendeteksi.

Contohnya, pengukuran paling akurat untuk tingkat terang bintang Vega saja berasal dari tahun 70'an. "Mengejutkan. Kemajuan di bidang itu (ukuran tingkat terang bintang) sangat kecil dalam beberapa dekade terakhir," tutur Gary Bernstein dari Universitas Pennsylvania, Philadelphia.

Untuk memecahkan masalah ini, tim di bawah pimpinan Mary Elizabeth Kaiser dari Universitas Johns Hopkins, Maryland, berencana untuk meluncurkan roket berteleskop untuk membuat pengukuran paling akurat untuk bintang-bintang referensi.

Roket berteleskop itu dinamakan ACCESS; kepanjangannya bisa diterjemahkan sebagai eksperimen kalibrasi warna absolut untuk bintang standar. Misi ini didanai oleh NASA dan akan siap diluncurkan dalam satu atau dua tahun untuk melakukan empat penerbangan suborbit. Penerbangan suborbit maksudnya menembus atmosfer bumi untuk beberapa menit, karena atmosfer itu mengganggu pengukuran.

Dalam penerbangan itu ACCESS akan mengukur tingkat terang empat bintang referensi, yaitu dua bintang paling terang, yakni Sirius dan Vega; dan dua lagi yang lebih redup. Tingkat presisi pengukuran kali ini dua kali lebih akurat dari pada pengukuran yang ada. Kemajuan ini dimungkinkan karena sensor teleskop dikalibrasi sebelum peluncuran dengan memakai cahaya buatan.

Hasil pengukuran ACCESS akan menjadi tolok ukur untuk pengukuran teleskop-teleskop lainnya. Dengan kemajuan ini maka tingkat terang supernova dan benda-benda ruang angkasa lainnya bisa diukur dengan lebih akurat.

Presisi ini juga akan menjadi kunci untuk menebak rahasia energi gelap, yaitu suatu benda misterius yang menyebabkan jagad raya makin cepat membesar. Keberadaan energi gelap ditetapkan pada tahun 1998 ketika para astronom menyadari bahwa supernova yang berada sangat jauh makin redup, yang artinya supernova itu lebih jauh dari perkiraan.

Para astronom masih tak mengetahui asal energi gelap. Energi gelap ini bisa saja berasal dari suatu kekuatan fundamental yang baru, atau mungkin ini berarti pengertian kita tentang gravitasi selama ini ada kekurangan. Untuk lebih memahami energi gelap, para peneliti mempelajari sejarah perluasan kosmis, dengan mencari variasi perubahan kecepatan perluasan selama ini. Hal ini memerlukan ukuran tingkat terang supernova yang lebih akurat untuk tiap zaman kosmis.

Anggota tim ACCESS, Adam Riess, dari Universitas Johns Hopkins, yang juga merupakan salah satu penemu energi gelap, mengatakan, kesalahan-kesalahan kecil bisa muncul ketika menggabungkan data tingkat terang dari teleskop-teleskop berbeda, sehingga para astronom bisa saja salah kaprah tentang percepatan perluasan itu. "Bisa saja energi gelap disangka berubah seiring waktu, tapi padahal itu hanya akibat dari pengamatan dengan titik referensi yang berbeda-beda."

Misi ACCESS akan membantu para astronom agar tak melakukan kesalahan ini. "(ACCESS) tidak mengukur energi gelap itu sendiri, tapi akan membantu membuat skala ukurannya lebih akurat."

Sumber: Kompas.com
Share:
Read More

Literacy Sains (potret permasalahan pembelajaran sains di Indonesia)

Oleh: Hafis Mu'addab

Literasi sains atau scientific literacy didefinisikan PISA sebagai kapasitas untuk menggunakan pengetahuan ilmiah, mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan dan untuk menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti agar dapat memahami dan membantu membuat keputusan tentang dunia alami dan interaksi manusia dengan alam. Literasi sains dianggap suatu hasil belajar kunci dalam pendidikan pada usia 15 tahun bagi semua siswa, apakah meneruskan mengajarkan sains atau tidak setelah itu. Berpikir ilmiah merupakan tuntutan warganegara, bukan hanya ilmuwan. Keinklusifan literasi sains sebagai suatu kompetensi umum bagi kehidupan merefleksikan kecenderungan yang berkembang pada pertanyaan-pertanyaan ilmiah dan teknologis. Definisi yang digunakan dalam PISA tidak termasuk bahwa orang-orang dewasa masa yang akan datang akan memerlukan cadangan pengetahuan ilmiah yang banyak. Yang penting adalah siswa dapat berpikir secara ilmiah tentang bukti yang akan mereka hadapi.

Dimensi Literasi Sains
Dimensi Literasi Sains
(i) “Content” Literasi Sains
Dalam dimensi konsep ilmiah (scientific concepts) siswa perlu menangkap sejumlah konsep kunci/esensial untuk dapat memahami fenomena alam tertentu dan perubahanperubahan yang terjadi akibat kegiatan manusia. Hal ini merupakan gagasan besar pemersatu yang membantu menjelaskan aspek-aspek lingkungan fisik. PISA mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mempersatukan konsep-konsep fisika, kimia, biologi, serta ilmu pengetahuan bumi dan antariksa (IPBA).
(ii) “Process” Literasi Sains
PISA (Programme for International Student Assessment) mengases kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan pemahaman ilmiah, seperti kemampuan siswa untuk mencari, menafsirkan dan memperlakukan bukti-bukti. PISA menguji lima proses semacam itu, yakni: mengenali pertanyaan ilmiah (i), mengidentifikasi bukti (ii), menarik kesimpulan (iii), mengkomu-nikasikan kesimpulan (iv), dan menunjukkan pemahaman konsep ilmiah (v).
(iii) “Context” Literasi sains
Konteks literasi sains dalam PISA (Programme for International Student Assessment) lebih pada kehidupan sehari-hari daripada kelas atau laboratorium. Sebagaimana dengan bentuk-bentuk literasi lainnya, konteks melibatkan isu-isu yang penting dalam kehidupan secara umum seperti juga terhadap kepedulian pribadi. Pertanyaan-pertanyaan dalam PISA 2000 dikelompokkan menjadi tiga area tempat sains diterapkan, yaitu: kehidupan dan kesehatan (i), bumi dan lingkungan (ii), serta teknologi (iii).
Share:
Read More

Konsep Pembelajaran Sains

Oleh: Hafis Mu'addab

Sehubungan dengan pelaksanaan pembelajaran IPA/sains di Indonesia Dirjen PMPTK (dalam Depdiknas:21) menyebutkan bahwa pada umumnya; pembelajaran hanya beriorientasi pada tes/ujian, pengalaman belajar yang diperoleh di kelas tidak utuh dan tidak berorientasi pada tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar, pembelajaran lebih bersifat teacher-centered, guru hanya menyampaikan IPA sebagai produk dan peserta didik menghafal informasi faktual, peserta didik hanya mengajarkan IPA pada domain kognitif yang terendah, peserta didik tidak dibiasakan untuk mengembangkan potensi berpikirnya, cara berpikir yang dikembangkan dalam kegiatan belajar belum menyentuh domain afektif dan psikomotor. Alasan yang sering dikemukakan oleh para guru adalah keterbatasan waktu, sarana, lingkungan belajar, dan jumlah peserta didik per kelas yang terlalu banyak dan evaluasi yang dilakukan hanya berorientasi pada produk belajar yang berkaitan dengan domain kognitif dan tidak menilai proses.
IPA adalah studi mengenai alam sekitar, dalam hal ini berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Cain & Evans (1990) menyatakan bahwa IPA mengandung empat hal yaitu: konten atau produk, proses atau metode, sikap, dan teknologi. IPA sebagai konten dan produk mengandung arti bahwa di dalam IPA terdapat fakta-fakta, hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan teori-teori yang sudah diterima kebenarannya. IPA sebagai proses atau metode berarti bahwa IPA merupakan suatu proses atau metode untuk mendapatkan pengetahuan. IPA sebagai sikap berarti bahwa IPA dapat berkembang karena adanya sikap tekun, teliti, terbuka, dan jujur. IPA sebagai teknologi mengandung pengertian bahwa IPA terkait dengan peningkatan kualitas kehidupan. Jika IPA mengandung keempat hal tersebut, maka dalam pendidikan IPA di sekolah seyogyanya siswa dapat mengalami keempat hal tersebut, sehingga pemahaman siswa terhadap IPA menjadi utuh dan dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan hidupnya.
Pembelajaran IPA di sekolah diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mengajarkan diri sendiri dan alam sekitar. Pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan untuk “mencari tahu” dan “berbuat” sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Karena itu, pendekatan yang diterapkan dalam menyajikan pembelajaran IPA adalah memadukan antara pengalaman proses IPA dan pemahaman produk serta teknologi IPA dalam bentuk pengalaman langsung yang berdampak pada sikap siswa yang mengajarkan IPA

Lebih jauh diungkapkan bahwa pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran IPA berorientasi pada siswa. Peran guru bergeser dari menentukan “apa yang akan diajarkan” ke “bagaimana menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar siswa”. Pengalaman belajar diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksplorasi lingkungan melalui interaksi aktif dengan teman, lingkungan, dan nara sumber lain.
Ada enam pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran IPA, yaitu:
Empat pilar pendidikan (belajar untuk mengetahui, belajar untuk berbuat, belajar untuk hidup dalam kebersamaan, dan belajar untuk menjadi dirinya sendiri).
1. Inkuiri IPA.
2. Konstruktivisme.
3. Sains (IPA), lingkungan, teknologi, dan masyarakat (Salingtemas).
4. Penyelesaian Masalah.
5. Pembelajaran IPA yang bermuatan nilai.

Jadi seorang guru IPA seharusnya terbiasa memberikan peluang seluasluasnya agar siswa dapat belajar lebih bermakna dengan memberi respon yang mengaktifkan semua siswa secara positif dan edukatif. Seiring dengan pendekatan yang seharusnya dilakukan, maka penilaian tentang kemajuan belajar siswa seharusnya dilakukan selama proses pembelajaran. Penilaian tidak hanya dilakukan pada akhir periode tetapi dilakukan secara terintegrasi (tidak terpisahkan) dari kegiatan pembelajaran dalam arti kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan hanya hasil (produk). Penilaian IPA didasarkan pada penilaian otentik yang dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti: tes perbuatan, tes tertulis, pengamatan, kuesioner, skala sikap, portofolio, hasil proyek. Dengan demikian, lingkup penilaian IPA dapat dilakukan baik pada hasil belajar (akhir kegiatan) maupun pada proses perolehan hasil belajar (selama kegiatan belajar)
Share:
Read More

Soft Skill-Hard Skill Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi

Kurikulum (menurut SK Mendiknas No. 232/ U/ 2000 Ps. 1 butir 6) adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi maupun bahan kajian dan pelajaran serta cara penyampaiannya dan penilaiannya yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di perguruan Tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan Kompetensi (dalam SK Mendiknas No. 045/ U/ 2002, Ps. 21) adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Jadi Kurikulum berbasis Kompetensi ialah kurikulum yang disusun berdasarkan atas elemen-elemen kompetensi yang dapat menghantarkan peserta didik untuk mencapai kompetensi utama, kompetensi pendukung, dan kompetensi lain sebagai a method of inquiry yang diharapkan. Yang dimaksud dengan method inquary diantaranya adalah suatu metode pembelajaran yang menumbuhkan hasrat besar untuk ingin tahu, meningkatkan kemampuan untuk menggunakan atribut kompetensi guna menentukan pilihan jalan kehidupan di masyarakat, meningkatkan cara belajar sepanjang hayat (learning to learn dan learning throughout life). Dengan kata lain, KBK adalah kurikulum yang menitikberatkan pada pencapaian kompetensi lulusan. Dalam Taxonomi Bloom kompetensi terdiri dari Kognitif meliputi pengetahuan, Afektif meliputi sikap, nilai, minat, dan Psikomotorik yang mencakup ketrampilan.

Penerapan KBK berpengaruh besar terhadap perubahan sistem belajar-mengajar, yang dulunya teacher-centered (berpusat pada dosen), menjadi student-centered (berpusat pada mahasiswa). Perubahan proses ini juga berpengaruh terhadap metode belajar mengajar. Diyakini bahwa metode belajar yang berpusat pada mahasiswa lebih bisa mengembangkan softskill mahasiswa. Oleh karena selain memperoleh hard-skill (komptensi utama sesuai bidang ilmu), mahasiswa juga akan terbiasa mengasah kemampuan lain yang dibutuhkan untuk mendukung kesuksesannya dalam menjalankan profesinya, yakni softskill.

Dalam kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pentingnya penguasaan soft skill dan hard skill dibuktikan dengan penetapan pendidikan kecakapan hidup dalam pembelajaran. Didefinisikan bahwa seorang siswa memiliki beberapa kecakapan, yang harus mampu diimplementasikan dalam pembelajaran.

Konsep soft skill dan hard skill dalam Kurukulum Berbasis Kompetensi (KBK) memiliki kesamaan konsep pendidikan kecakapan hidup. Konsep kecakapan hidup sejak lama menjadi perhatian para ahli dalam pengembangan kurikulum. Tyler (1947) dan Taba (1962) misalnya, mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan salah satu fokus analisis dalam pengembangan kurikulum pendidikan yang menekankan pada kecakapan hidup dan bekerja. Pengembangan kecakapan hidup itu mengedepankan aspek-aspek berikut: (1) kemampuan yang relevan untuk dikuasai peserta didik, (2) materi pembelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, (3) kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik untuk mencapai kompetensi, (4) fasilitas, alat dan sumber belajar yang memadai, dan (5) kemampuan-kemampuan yang dapat diterapkan dalam kehidupan peserta didik. Kecakapan hidup akan memiliki makna yang luas apabila kegiatan pembelajaran yang dirancang memberikan dampak positif bagi peserta didik dalam membantu memecahkan problematika kehidupannya, serta mengatasi problematika hidup dan kehidupan yang dihadapi secara proaktif dan reaktif guna menemukan solusi dari permasalahannya

Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian kecakapan hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki makna yang lebih luas. WHO (1997) mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai keterampilan atau kemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam kehidupan secara lebih efektif. Kecakapan hidup mencakup lima jenis, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri, (2) kecakapan berpikir, (3) kecakapan sosial, (4) kecakapan akademik, dan (5) kecakapan kejuruan.
Barrie Hopson dan Scally (1981) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu, kelompok maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu. Sementara Brolin (1989) mengartikan lebih sederhana yaitu bahwa kecakapan hidup merupakan interaksi dari berbagai pengetahuan dan kecakapan sehingga seseorang mampu hidup mandiri. Pengertian kecakapan hidup tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu (vocational job), namun juga memiliki kemampuan dasar pendukung secara fungsional seperti: membaca, menulis, dan berhitung, merumuskan dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan menggunakan teknologi (Dikdasmen, 2002).
Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa pendidikan kecakapan hidup merupakan kecakapan-kecakapan yang secara praksis dapat membekali peserta didik dalam mengatasi berbagai macam persoalan hidup dan kehidupan. Kecakapan itu menyangkut aspek pengetahuan, sikap yang didalamnya termasuk fisik dan mental, serta kecakapan kejuruan yang berkaitan dengan pengembangan akhlak peserta didik sehingga mampu menghadapi tuntutan dan tantangan hidup dalam kehidupan
Share:
Read More

Apakah itu Soft Skill dan Hard Skill ?

Oleh: Hafis Mu'addab, S.Pd

Berdasarkan data yang diadopsi dari Havard School of Bisnis, kemampuan dan keterampilan yang diberikan di bangku pembelajaran, 90 persen adalah kemampuan teknis dan sisanya soft skill. Padahal, yang nantinya diperlukan untuk menghadapi dunia kerja yaitu hanya sekitar 15 persen kemampuan hard skill. Dari data tersebut, lanjutnya, dapat menarik benang merah bahwa dalam memasuki dunia kerja soft skill-lah yang mempunyai peran yang lebih dominan. Lalu apakah soft skill dan hard skill itu?

Menurut Jessica Hollbrook hard skills diartikan sebagai processes, procedures, industry specific jargon and are easy to measure and quantify. They are terms such as; account management, talent acquisition and development, client retention, data management, project management, accounts receivable and payable, product support, and new business development.

Personal and interpersonal behaviors that develop and maximize human performance (e.g., coaching, team building, decision making,initiative). Soft skills do not include technical skills, such as financial, computer, quality, or assembly skills.

Hard skills merupakan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan teknis yang berhubungan dengan bidang ilmunya. Sementara itu, soft skills adalah keterampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (interpersonal skills) dan keterampilan dalam mengatur dirinya sendiri (intrapersonal skills) yang mampu mengembangkan unjuk kerja secara maksimal (Dennis E. Coates, 2006).

Menurut Ramdhani (2008) Soft skill sering juga disebut keterampilan lunak adalah keterampilan yang digunakan dalam berhubungan dan bekerjasama dengan orang lain. Secara garis besar keterampilan ini dapat dikelompokkan ke dalam:
1. Process Skills
2. Social Skills
3. Generic Skills

Contoh lain dari keterampilan-keterampilan yang dimasukkan dalam kategori soft skills adalah integritas, inisiatif, motivasi, etika, kerja sama dalam tim, kepemimpinan, kemauan belajar, komitmen, mendengarkan, tangguh, fleksibel, komunikasi lisan, jujur, berargumen logis, dan lainnya. Keterampilan-keterampilan tersebut umumnya berkembang dalam kehidupan bermasyarakat.

Soft skills didefinisikan sebagai ”Personal and interpesonal behaviors that develop and maximize human performance (e.g. coaching, team building, initiative, decision making etc.) Soft skills does not include technical skills such as financial, computing and assembly skills “. (Berthal). Softskills adalah ketrampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Atribut soft skills, dengan demikian meliputi nilai yang dianut, motivasi, perilaku, kebiasaan, karakter dan sikap. Atribut softskills ini dimiliki oleh setiap orang dengan kadar yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kebiasaan berfikir, berkata, bertindak dan bersikap. Namun, atribut ini dapat berubah jika yang bersangkutan mau merubahnya dengan cara berlatih membiasakan diri dengan hal-hal yang baru.

Di Indonesia belum ada dokumen resmi untuk memberikan informasi atribut soft skills apa yang dibutuhkan oleh dunia kerja atau dunia usaha, Beberapa lembaga pendidikan/perguruan tinggi, lembaga konsultan SDM dan beberapa acara diskusi terbatas di DIKTI telah menghasilkan rumusan atribut soft skills yang bervariasi di dunia pekerjaan. Misalnya, hasil Tracer Study yang dilakukan oleh Departemen (dulu jurusan) Teknologi Industri Pertanian IPB tahun 2000, menyatakan bahwa atribut jujur, kerjasama dalam tim, integritas, komunikasi bahwakan rasa humor sangat diperlukan dalam dunia kerja.

Penulis buku-buku serial manajemen diri, Aribowo, membagi soft skills atau people skills menjadi dua bagian, yaitu intrapersonal skills dan interpersonal skills. Intrapersonal skills adalah keterampilan seseorang dalam ”mengatur” diri sendiri. Intrapersonal skills sebaiknya dibenahi terlebih dahulu sebelum seseorang mulai berhubungan dengan orang lain. Adapun Interpersonal skills adalah keterampilan seseorang yang diperlukan dalam berhubungan dengan orang lain. Dua jenis keterampilan tersebut dirinci sebagai berikut:

Intrapersonal Skill
• Transforming Character
• Transforming Beliefs
• Change management
• Stress management
• Time management
• Creative thinking processes
• Goal setting & life purpose
• Accelerated learning techniques

Interpersonal Skill
• Communication skills
• Relationship building
• Motivation skills
• Leadership skills
• Self-marketing skills
• Negotiation skills
• Presentation skills
• Public speaking skills

Dari deskripsi diatas maka dapat ditarik kesimpulan ;
Hard skill adalah penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan ketrampilan teknis yang berhubungan dengan bidang ilmunya. Sedangkan soft skill adalah ketrampilan seseorang dalam berhubungan dengan orang lain (termasuk dengan dirinya sendiri). Semua profesi membutuhkan keahlian (hard skill) tertentu akan tetapi semua profesi memerlukan soft skill
Share:
Read More

ROH HALUS, UNAS DAN PENDIDIKAN

Oleh: Hafis Mu'addab, S.Pd
Setidaknya ada yang sama dari penyelenggaraan UNAS dari tahun ke tahun, yaitu kasus kesurupan siswa yang terkadang masal terjadi disekolah. Bagi sebagian orang kesurupan adalah disebabkan oleh makhluk halus (setan), sedang sisanya mengartikan sebagai gejala psikologis sesorang atas kondisi tertentu. Padahal sewajarnya UNAS sebagai bentuk evaluasi belajar, merupakan hal biasa yang selalu dihadapi siswa.

Tapi semenjak UNAS bergulir seolah “kesurupan” sudah menjadi tradisi, yang hampir setiap tahun dialami oleh siswa. Sungguh ironis, sekarang mungkin tugas guru harus ditambah yaitu menjadi pawang hantu atau lebih mirip pemburu hantu. Disekolah ternyata bukan hanya siswa yang belajar mungkin juga makhluk itu ikut belajar dan jadi panik karena tidak bisa ikut UNAS.

Dalam istilah kedokteran kesurupan disebut possession trans atau suatu kondisi trans pemilikan yaitu terdapatnya perubahan tunggal atau episodic keadaan kesadaran sesorang di mana dapat diketahui adanya pergantian identitas pribadi dengan idenditas baru. Contohnya orang tersebut merasa menjadi orang lain yang hidup ratusan tahun yang lalu atau menyebut dirinya mbah dll. Akibatnya, orang tersebut mempunyai perilaku yang asing dan aneh.

Ditinjau dari sistem saraf, kesurupan adalah fenomena serangan terhadap sistem limbic yang sebagian besar mengatur emosi, tindakan dan perilaku. Sistem limbic sangat luas dan mencakup berbagai bagian di berbagai lobus otak. Dengan terganggunya emosi dan beratnya tekanan akibat kesulitan hidup, timbullah rangsangan yang akan memengaruhi sistem limbic. Akhirnya, terjadilah kekacauan dari zat pengantar rangsang saraf atau neurotransmitter. Zat penghantar rangsang saraf yang keluar mungkin norepinephrin atau juga serotonin yang menyebabkan perubahan perilaku atau sebaliknya

Sayangnya, sejauh ini belum ada penelitian khusus mengenai kaitan UNAS dan kesurupan, waduh pasti heboh. Apalagi jika dijadikan judul PTK guru, kira-kira judulnya begini “Upaya Mengatasi Kesurupan Siswa Dalam Rangka Meningkatkan Hasil Belajar ...”. Entah berapa lagi jumlah siswa yang akan mengalami nasib serupa. Meski tidak sampai mengakibatkan korban siswa yang bunuh diri seperti halnya di Jepang, tapi fenomena “kesurupan” cukup memberi bukti jika UNAS bukan komoditas biasa. Sayangnya meski memiliki efek terhadap siswa, UNAS masih saja berjalan dengan hampir tanpa ada koreksi.

Sehingga jangan salahkan jika yang terjadi adalah pengurangan jam pelajaran di sekolah untuk diisi jam pelajaran UNAS, menyewa LBB karena merasa tidak mampu menyiapkan siswanya menghadapi UNAS, membeli soal, membuat tim sukses (joki UNAS), kolusi pengawas dan apapun untuk satu hal “LULUS UNAS 100%”

Bahkan UNAS juga bagi sebagian pihak menjadi upaya untuk melanggengkan jabatannya, menjadi tolok ukur kinerja seorang kepala dinas. Tentu, rendahnya kelulusan UNAS disuatu daerah menjadi sebuah pertanyaan akan sejauhmana keberhasilan kebijakan pendidikan didaerah tersebut.

Semoga menjadi renungan, tentu kita tidak ingin memiliki generasi yang cacat mental (psikologis) karena sekedar tradisi UNAS, atau sebenarnya kita sudah meng UNAS-kan tradisi itu sendiri. Tentu bukan sebuah tradisi jika itu memasung kreativitas dan menghalal segala cara. Harus pula diakui UNAS telah bergeser dari sekedar alat evaluasi menjadi sebuah komoditas politik dan entah apa lagi pada akhirnya nanti. Sebab pembelajaran selalu dinamis...
Share:
Read More