Oleh: Hafis Mu'addab, S.Pd
Setidaknya ada yang sama dari penyelenggaraan UNAS dari tahun ke tahun, yaitu kasus kesurupan siswa yang terkadang masal terjadi disekolah. Bagi sebagian orang kesurupan adalah disebabkan oleh makhluk halus (setan), sedang sisanya mengartikan sebagai gejala psikologis sesorang atas kondisi tertentu. Padahal sewajarnya UNAS sebagai bentuk evaluasi belajar, merupakan hal biasa yang selalu dihadapi siswa.
Tapi semenjak UNAS bergulir seolah “kesurupan” sudah menjadi tradisi, yang hampir setiap tahun dialami oleh siswa. Sungguh ironis, sekarang mungkin tugas guru harus ditambah yaitu menjadi pawang hantu atau lebih mirip pemburu hantu. Disekolah ternyata bukan hanya siswa yang belajar mungkin juga makhluk itu ikut belajar dan jadi panik karena tidak bisa ikut UNAS.
Dalam istilah kedokteran kesurupan disebut possession trans atau suatu kondisi trans pemilikan yaitu terdapatnya perubahan tunggal atau episodic keadaan kesadaran sesorang di mana dapat diketahui adanya pergantian identitas pribadi dengan idenditas baru. Contohnya orang tersebut merasa menjadi orang lain yang hidup ratusan tahun yang lalu atau menyebut dirinya mbah dll. Akibatnya, orang tersebut mempunyai perilaku yang asing dan aneh.
Ditinjau dari sistem saraf, kesurupan adalah fenomena serangan terhadap sistem limbic yang sebagian besar mengatur emosi, tindakan dan perilaku. Sistem limbic sangat luas dan mencakup berbagai bagian di berbagai lobus otak. Dengan terganggunya emosi dan beratnya tekanan akibat kesulitan hidup, timbullah rangsangan yang akan memengaruhi sistem limbic. Akhirnya, terjadilah kekacauan dari zat pengantar rangsang saraf atau neurotransmitter. Zat penghantar rangsang saraf yang keluar mungkin norepinephrin atau juga serotonin yang menyebabkan perubahan perilaku atau sebaliknya
Sayangnya, sejauh ini belum ada penelitian khusus mengenai kaitan UNAS dan kesurupan, waduh pasti heboh. Apalagi jika dijadikan judul PTK guru, kira-kira judulnya begini “Upaya Mengatasi Kesurupan Siswa Dalam Rangka Meningkatkan Hasil Belajar ...”. Entah berapa lagi jumlah siswa yang akan mengalami nasib serupa. Meski tidak sampai mengakibatkan korban siswa yang bunuh diri seperti halnya di Jepang, tapi fenomena “kesurupan” cukup memberi bukti jika UNAS bukan komoditas biasa. Sayangnya meski memiliki efek terhadap siswa, UNAS masih saja berjalan dengan hampir tanpa ada koreksi.
Sehingga jangan salahkan jika yang terjadi adalah pengurangan jam pelajaran di sekolah untuk diisi jam pelajaran UNAS, menyewa LBB karena merasa tidak mampu menyiapkan siswanya menghadapi UNAS, membeli soal, membuat tim sukses (joki UNAS), kolusi pengawas dan apapun untuk satu hal “LULUS UNAS 100%”
Bahkan UNAS juga bagi sebagian pihak menjadi upaya untuk melanggengkan jabatannya, menjadi tolok ukur kinerja seorang kepala dinas. Tentu, rendahnya kelulusan UNAS disuatu daerah menjadi sebuah pertanyaan akan sejauhmana keberhasilan kebijakan pendidikan didaerah tersebut.
Semoga menjadi renungan, tentu kita tidak ingin memiliki generasi yang cacat mental (psikologis) karena sekedar tradisi UNAS, atau sebenarnya kita sudah meng UNAS-kan tradisi itu sendiri. Tentu bukan sebuah tradisi jika itu memasung kreativitas dan menghalal segala cara. Harus pula diakui UNAS telah bergeser dari sekedar alat evaluasi menjadi sebuah komoditas politik dan entah apa lagi pada akhirnya nanti. Sebab pembelajaran selalu dinamis...
No comments:
Post a Comment