Hakikat pembelajaran Sains (Puskur, 2003) adalah pembelajaran yang mampu merangsang kemampuan berfikir siswa meliputi empat unsur utama (1) sikap: rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang benar; IPA bersifat open ended; (2) proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah; metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan; (3) produk: berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum; (4) aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan sehari-hari. Dalam proses pembelajaran IPA keterlibatan keempat unsur ini, diharapkan dapat membentuk peserta didik memiliki kemampuan pemecahan masalah dengan metode ilmiah, dan meniru cara ilmuwan bekerja dalam menemukan fakta baru
Namun pembelajaran sains yang selama ini terjadi di sekolah belum mengembangkan kecakapan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Padahal pengajaran sains dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah pengajaran yang mengajarkan siswa bagaimana belajar, bagaimana mengingat, bagaimana berfikir, dan bagaimana memotivasi diri mereka (Nur, 2005). Pengajaran sains merupakan proses aktif yang berlandaskan konsep konstruktivisme yang berarti bahwa sifat pengajaran sains adalah pengajaran yang berpusat pada siswa (student centered instruction).
Untuk menilai apakah IPA diimplementasikan di Indonesia, kita dapat melihat hasil literasi IPA anak-anak Indonesia. Hal ini mengingat arti literasi sains/IPA (scientific literacy) itu sendiri yang ditandai dengan kerja ilmiah, dan tiga dimensi besar literasi sains yang ditetapkan oleh PISA, yaitu konten IPA, proses IPA, dan konteks IPA. Hasil penelitian PISA tahun 2000 dan tahun 2003 menunjukkan bahwa literasi sains anak-anak Indonesia usia 15 tahun masing-masing berada pada peringkat ke 38 (dari 41 negara) dan peringkat ke 38 dari (40 negara) (Bastari Purwadi, 2006). Skor rata-rata pencapaian siswa ditetapkan sekitar nilai 500 dengan simpangan baku 100 point. Hal ini disebabkan kira-kira dua per tiga siswa di negara-negara peserta memperoleh skor antara 400 dan 600 pada PISA 2003. Ini artinya skor yang dicapai oleh siswa-siswa Indonesia kurang lebih terletak di sekitar angka 400. Ini artinya bahwa siswa-siswa Indonesia tersebut diduga baru mampu mengingat pengetahuan ilmiah berdasarkan fakta sederhana (Puskur, 2007)
Dalam prioritas pembangunan pendidikan nasional ditekankan juga pengembangan kemampuan belajar. Dalam prinsip pengembangan kurikulum berbasis kompetensi hal ini berkaitan dengan pengembangan keterampilan hidup, yang kemudian diterjemahkan dalam pendidikan kecakapan hidup. Oleh sebab itu perlu diberikan pengajaran strategi belajar kepada siswa sebab keberhasilan siswa sebagian besar bergantung pada kemahiran untuk mengajar secara mandiri dan memonitor belajar mereka sendiri (Nur, 2005). Dalam peristilahan lain hal ini dapat disebut sebagai kesadaran diri (self awareness). Konsep tentang bagaimana belajar, bagaimana mengingat, bagaimana berfikir, dan bagaimana memotivasi diri mereka dan sekaligus kesadaran diri adalah konsep dasar pengajaran metakognitif (teaching metacognitive) yang ingin diangkat dalam penelitian ini.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh dua hasil penelitian, pertama hasil penelitian Rowan Hollingworth dan Catherine McLoughlin berjudul The Development of Metacognitive Skill Among First Year Science Student yang menyebutkan kemampuan metacognitive perlu diberikan guna meningkatkan keteraturan belajar sains dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Kedua, hasil penelitian Dra. Endang Susantini, M.Pd berjudul “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Dengan Strategi Metakognitif Untuk Memberdayakan Kecakapan Berfikir Pada Siswa SMU”. Penggunaan lembar penilaian pemahaman diri (LPPD) oleh guru dalam penelitian tersebut diketahui dapat memberikan kecakapan berfikir bagi siswa dan meningkatkan kemandirian siswa. Hal positif lain yang dapat dicapai oleh guru adalah membentuk siswa untuk memiliki sikap jujur, berani mengakui kesalahan dan menilai pemahamannya sendiri atau dengan kata lain strategi metakognitif mampu memunculkan kemandirian siswa dalam belajar. Namun penggunaan konsep metakognitif sejauh ini masih sebatas strategi belajar yang bersifat khusus dan belum sebagai pendekatan yang berlaku umum.
Padahal menurut Prof. Zainuddin Maliki (Jawa Pos, 3 Januari 2009) dalam gagasan pendidikan konstruktivistik untuk menghadapi kehidupan yang kompleks ini siswa harus memiliki kecerdasan metakognitif, meliputi kecerdasan kognitif, kecerdasan afektif dan kecerdasan motorik yang sejauh ini belum mampu dilakukan oleh guru. Guru sejauh ini cenderung merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang lebih berorientasi kognitif (pengetahuan), dan kurang mengembangkan aspek kecerdasan lain yang dimiliki siswa. Idealnya seorang guru harus mampu melahirkan resilence behaviour dari pembelajaran yang dilaksanakannya yang terbentuk dari kecerdasan metakognitif yang merupakan perpaduan antara kecerdasan kognitif, afektif dan motorik. Resilence behaviour sendiri merupakan perilaku cerdas siswa dalam membangun keseimbangan menghadapi hidup dan kehidupan.
Ditambahkan juga oleh Beyer (1998) bahwa kemampuan metakognitif merupakan pijakan dasar perilaku berfikir (habit of mind) yang merupakan hasil dari proses belajar. Namun, sejauh ini belum pelatihan metakognitif yang ditujukan kepada para guru untuk mampu mengimplementasikan metode metakognitif dalam pembelajaran. Berangkat dari argumentasi diatas maka perlu dilakukan pengembangan model pelatihan pengajaran metakognitif (teaching metacognitive) yang ditujukan untuk membekalkan ketrampilan metakognitif kepada guru-guru sains. Dengan pengembangan model pelatihan ini diharapkan dapat memberi dampak kepada guru sehingga menjadi pribadi guru yang mandiri (self regulated teacher), dan juga memiliki dampak bagi siswa sehingga menjadi pelajar yang mandiri (self regulated learner). Sehingga diharapkan dapat terbentuk konsep belajar sepanjang hayat (long life education) yang terintegrasi pada pribadi guru dan siswa dan pembelajaran yang dilaksanakan.
Lebih jauh hal ini juga merupakan bagian dari upaya peneliti selaku widyaiswara memiliki peran sebagai inovator dan peneliti dengan harapan mampu memberikan masukan dalam kebijakan terkait dengan kegiatan penjaminan mutu pendidikan. Disisi lain hal ini juga merupakan implementasi dari upaya mewujudkan empat pilar belajar yang dianjurkan UNESCO untuk Pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Konsekuensi bahwa guru harus kreatif, bekerja secara tekun dan mau meningkatkan kemampuannya.
No comments:
Post a Comment