Pagi itu ada diskusi yang
berkesan antara saya dengan seorang teman yang kebetulan seorang Jendral TNI AD
berbintang satu yang sudah hampir tutup usia. Diskusi kami tidak terlepas pada
tema tentang kekaguman saya yang demikian besar terhadap militer, khususnya
dalam pola pendidikan karakter yang kini sedang gencar dikampanyekan. Ingat
sekali waktu saya bertanya, “Bagi militer, sebenarnya apa mendasari pendidikan
baris berbaris dengan tentara, bukannya tentara itu tugasnya berperang ?”
seketika beliau tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan saya. “Sepintas
memang tidak ada, tetapi dalam militer baris berbaris adalah elemen paling
dasar yang harus diberikan kepada prajurit baru. Tujuan kami dari latihan
baris-berbaris ini tidak lain adalah untuk menanamkan nilai melalui gerak fisik
dan konsentrasi diri. Setiap prajurit diajarkan untuk cermat bertindak sesuai
dengan aba-aba, perintah dan pelaksanaan gerak yang harus seragam. Disinilah
arti 115 hari sebagai pembentukan sikap dan penanaman nilai pada diri setiap
prajurit, meskipun tentunya ditunjang oleh materi pendidikan lainnya. Disiplin
adalah nafasku, kesetiaan adalah kebanggaanku, kehormatan adalah
segala-galanya. Anda akan sering mendengar slogan tersebut di atas, apabila Anda
sering mengikuti pelatihan baris berbaris.”
“Lalu dari manakah aturan
tentang baris berbaris itu diatur?” lanjut saya bertanya. Beliau pun
menambahkan, “Peraturan baris berbaris diseluruh Indonesia hanya mengacu pada
Peraturan Baris Berbaris Militer yang terdapat dalam Buku Peraturan tentang
Baris Berbaris Angkatan Bersenjata. Buku ini disahkan oleh Surat Keputusan
Pangab dan peraturan yang terakhir adalah Skep Pangab nomor : Skep/011/X/1985
tanggal 2 Oktober 1985, tetapi tahun 1992 ada perubahan pada Skep tersebut pada
tempo langkah biasa dan langkah tegap dari 96 langkah tiap menit menjadi 120
langkah tiap menit. Kalau Anda ingin mengenal lebih jauh, sebenarnya berbaris
pertama kali dikenal pada jaman Kekaisaran Romawi pada saat Kaisarnya Julius Caesar,
dengan maksud agar pasukan yang berada dibawah kekuasaannya mempunyai rasa
tanggungjawab, disiplin yang tinggi dengan melihat hasil lahir, yaitu kerapihan,
kekompakan, ketertiban dan kesigapan. Bentuk disiplin yang dilakukan oleh
Julius Caesar ini kemudian terbukti efektif sebagai taktik manajemen manusia
dan berhasil membentuk tentara yang kuat diera kekuasaannya”.
“Dalam kaitan propaganda
politik, baris berbaris merupakan salah satu cara untuk membangun psikologis
bagi tentara dan warga negara. Hal ini dibuktikan oleh parade pasukan NAZI
Jerman di tahun 1930 yang benar-benar mengagumkan, cepat dan kuat. Mereka jelas
sekali menggunakan parade tersebut sebagai alat manipulasi psikologis, sehingga
mampu membuat masyarakat merasa kuat dan bangga, membuat mereka bahagia berada
dibelakang para pasukan yang sangat berdedikasi dan menginspirasi. Contoh lain
berasal dari Korea Utara Tahun 2002/2003 disaat menghadapi politik agresif
Amerika Serikat terkait pengembangan senjata nuklir. Korea Utara menempatkan
sejumlah besar parade militer, yang terkadang beberapa regu yang terdiri dari
anak-anak dengan memainkan instrument dan menampilkan Rigid Dance (tarian dalam
formasi baris berbaris). Hingga tindakan ini menarik perhatian masyarakat
melalui liputan berita yang disiarkan, hingga dari setiap liputan tersebut
berkomentar betapa modern militer dan tentara
Korea Utara. Tentunya ini adalah strategi untuk membangun psikologis
tentang betapa terlatihnya dan siapnya tentara Korea Utara terhadap ganguan apa
saja yang mungkin akan dialami oleh negaranya”.
Demikian petikan diskusi
pagi yang singkat namun benar-benar berkesan dan sarat makna yang dalam bagi
saya, tanpa kita sadari ternyata baris-berbaris adalah manifestasi peninggalan
budaya yang demikian mengakar baik secara filosofis maupun pragmatis. Di
sekolah pelatihan bagi penanaman pendidikan karakter yang diwakili salah
seorang guru beberapa bulan yang lalu selama 30 hari, ternyata dilaksanakan
markas komando Kopassus. Kopassus adalah sebutan untuk Komando Pasukan
Khusus sebagai bagian dari Bala Pertahanan Pusat yang dimiliki oleh TNI Angkatan Darat yang memiliki
kemampuan khusus seperti bergerak cepat di setiap medan, menembak dengan tepat,
pengintaian, dan anti teror. Dalam perjalanan sejarahnya, Kopassus berhasil
mengukuhkan keberadaannya sebagai pasukan khusus yang mampu menangani
tugas-tugas yang berat. Mencermati hal ini saya pun menjadi bertanya-tanya
apa keterkaitan pendidikan karakter dan militer, namun tentunya saya tidak anti
militer tetapi hanya anti pada bentuk militeristik yang kerapkali arogan dan
represif.
Permasalahan dasar
pendidikan karakter
Permasalahan digalakkannya pendidikan karakter
muncul berawal dari keprihatinan para orangtua
yang menyaksikan kenyataaan semakin banyaknya deviasi yang berkaitan
dengan karakter sebagian kecil anaknya yang kurang baik. Beberapa
karakter dasar yang dianggap kurang baik itu antara lain tanggungjawab
(responsibility) kedisiplinan (diciplinary), peduli (care), hormat (respect),
jujur (honest), cinta tanah air
(patriotism). Kurangnya
kepedulian, kurangnya rasa hormat dan etika sopan santun terhadap para guru dan karyawan, tidak ada tegur sapa. Semakin
banyaknya mahasiswa melakukan tindakan tidak jujur seperti penyontekan ketika
ujian, hingga
kerap ditemukannya siswa
membuat tugas hanya meniru hingga sekedar “copy paste” dari tugas temannya.
Menyikapi hal ini dalam
implementasi pendidikan karakter beberapa kalangan didunia pendidikan sempat
berwacana perlu pemberlakuan wajib militer. Hal ini mengacu pada apa yang telah
dilakukan sebagian negara-negara besar, contohnya Amerika
Serikat dan China, yang juga memberlakukan wajib militer. Amerika Serikat adalah negara yang menganut
politik supermasi sipil (warga Negara sipil yang boleh ikut berpolitik praktis,
militer tidak), tapi sejak lama sudah memberlakukan UU Wajib Militer
dinegaranya. Para pemimpin bangsa Amerika, hampir seluruhnya adalah veteran perang dunia
II atau perang Vietnam yang sangat berpengalaman dalam manajemen militer yang kemudian ditransformasikan kedalam
manajemen sipil di Amerika Serikat. Sejak lulus sekolah menengah,
para pemuda masuk
dalam pusat pelatihan militer. Para
pemuda digembleng menegakkan disiplin selama berbulan-bulan. Tentu saja
hasilnya rata-rata pemuda negeri-negeri tersebut memiliki karakter yang baik,
yaitu memiliki sikap tanggungjawab, disiplin, mandiri, peduli, maupun
patriotik.
Dalam tataran ideal, seharusnya pembelajaran karakter yang paling
baik adalah sejak di sekolah taman kanak-kanak, hingga pendidikan dasar dan
menengah. Pembelajaran tersebut sebenarnya merupakan pendidikan kecakapan hidup
mendasar (general lifeskills education)
yang menjadi materi dasar utama di pendidikan dasar, yaitu di Taman
Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Semakin ke jenjang
lebih tinggi, katakanlah di pendidikan menengah, misalnya Sekolah Menengah
Atas, porsinya semakin berkurang. Sehingga pada saat di perguruan tinggi mental dan karakter anak
itu dengan
sendirinya telah terbentuk.
Hal ini membuktikan bahwa dalam tolok ukur ideal tatanan pendidikan karakter
kita disekolah belum mampu berlaku ideal.
Dalam sejarah perkembangannya sebenarnya pendidikan karakter adalah gagasan
dipopulerkan Lawrence Kohlberg. Sosok Lawrence Kohlberg sendiri adalah seorang
profesor Psikologi Pendidikan dan Sosial di Harvard University. Ia dikenal
sebagai teoritikus moral dan karakter yang berpengaruh pada abad 20. Salah
satunya adalah Teori Tahapan Perkembangan Moral yang menjadi cikal bakal format
Pendidikan Karakter. Di Amerika Serikat Pendidikan karakter popular sebagai upaya
Presiden Bill Clinton untuk menekan angka kehamilan remaja, pemakaian narkotika,
kekerasan di sekolah, dan kriminalitas jalanan yang penanganannya bagai buntu
ditengah jalan. Meskipun pasca Bill Clinton meminta para guru (pada tanggal 23
Januari 1997) untuk memasukkan pendidikan karakter sebagai kurikulum
pengajaran, kehidupan remaja Amerika relatif tidak banyak mengalami kemajuan. Kegagalan
pendidikan karakter yang dicanangkan oleh Presiden Bill Clinton ini sebenarnya sudah
diperkirakan oleh Edward Wyne and Kevin Ryan. Dua tokoh pendidikan ternama di
Amerika menilai bahwa Pendidikan Karakter memang rentan kritik. Sebab model
pendidikan ini gagal untuk menjawab pertanyaan, “Nilai-nilai apa yang harus
diajarkan dalam pendidikan karakter?” tanya Wynne and Ryan. Mencermati hal ini
sejatinya, pendidikan Karakter menyimpan ruang problem yang cukup lebar saat
harus dilaksanakan disekolah disaat sekolah tidak bisa menjawab pertanyaan
dasar tentang persoalan nilai tersebut.
Arti Penting Pendidikan Karakter dan Kebangsaan
Terkait dengan permasalahan nilai yang ditanamkan tentunya beberapa
pihak memiliki solusinya sendiri, namun hal yang jamak kita temui adalah
keterlibatan militer dalam proses pembentukan karakter siswa. Atas dasar untuk
membentuk anak didik agar memiliki karakter yang bagus, SMKN 5 Kota Malang
membuat terobosan baru dalam Masa Orientasi Sekolah (MOS). Dengan membawa
langsung anak didik yang baru diterima, menjalani pelatihan karakter di
Dodikjur Kodam V Brawijaya, Kota Malang, Senin sampai dengan Rabu atau dari
tanggal 11 sampai dengan 13 Juli 2011. Dalam persepsi kelembagaan SMKN 5 Kota
Malang tentunya memiliki perpsepsi bahwa jika dibandingkan dengan sekolah
tentunya militer sebagai lembaga harus diakui telah mampu membangun dan
menjalankan pendidikan karakter yang professional yang sudah dimiliki militer
sejak lama. Memandang persepsi ini tentu hal yang membedakan keduanya menurut
saya adalah pola disiplin yang tinggi yang telah membudaya dilingkungan
militer. Oleh sebab itu meski tanpa harus melibatkan militer secara institusi
untuk mendidik karakter siswa, sebenarnya sekolah mampu untuk itu asalkan dapat
menanamkan pola disiplin tingkat tinggi kepada siswa. Ini dilakukan sebagai
salah satu jalan untuk bisa menciptakan generasi unggul yang salah satu
kuncinya adalah dengan memiliki disiplin tinggi. Sesuatu yang menurut saya
mulai jarang dan sulit diterapkan disekolah-sekolah hari ini, kunci yang
bermuara pada keteladanan guru sebagai kontekstual idol bagi siswanya.
Namun keberdayaan sekolah dalam menumbuhkan kedisiplinan yang tinggi
tentu tidak serta kemudian meniadakan peran militer dalam pembentukan karakter
siswa. Pilihan untuk melibatkan militer dalam pembentukan karakter haruslah
dilakukan secara proporsional, dengan tanpa melupakan peran sekolah sebagai
lembaga yang mencetak lulusan terdidik dan bermoral. Baik sekolah maupun
militer memiliki peran beserta keahlian dibidangnya masing-masing yang bukan
berarti menggantikan tugas dan peran masing-masing. Dalam kaitan ini, peran
militer harus ditetapkan pada rangkaian pembentukan “character nation”, yang
secara nomenklatur merupakan bagian tidak terpisahkan dari institusi militer
khususnya dalam konteks bela negara.
Diakui atau tidak nilai-nilai patriotism dan nasionalisme yang
notabene adalah nilai-nilai kebangsaan, kian hari semakin luntur dari pribadi
generasi muda kita. Oleh karena itu dalam rangka mengaktifkan kembali pola
penanaman nilai-nilai kebangsaan tersebut, peran militer menjadi penting
khususnya dalam membentuk sinergitas sebagai salah satu komponen bangsa. Dan
sekolah bergerak dalam pola pendidikan dan pembelajaran perilaku yang baik dari
para guru ditopang oleh implementasi aturan tata tertib siswa yang konsisten.
Peran sekolah dan militer dalam hal ini, harus dilihat sebagai dua ahli yang
berbeda dalam bidang keahliannya masing-masing. Sinergitas dan pemahaman fungsi
dan peran masing-masing pihak menjadi jawaban terhadap bentuk pendidikan
karakter yang akan ditampilkan. Hingga pada akhirnya pendidikan karakter akan
melahirkan calon pemimpin bangsa yang bermoral, professional, berkualitas dan
mampu menghadapi tantangan masa depan.
Untuk mewujudkan itu semua maka bukan berarti sekolah harus
memiliterkan dirinya, atau dengan memiliterkan seragam sekolahnya. Sekolah
hanya perlu untuk menerapkan beberapa hal yang dalam militer menjadi hal yang
pokok atau dasar. Oleh karenanya kembali pada konteks dialog yang ada diawal
tulisan ini. Maka hal sederhana yang bisa dilakukan sekolah untuk memulai
pendidikan karakter adalah dengan mulai mengenalkan kembali prinsip-prinsip
baris berbaris sebagai elemen dasar sikap tanggungjawab, disiplin, mandiri,
peduli, maupun patriotik. Seperti yang pernah disampaikan seorang tokoh besar
dunia bahwa keberhasilan selalu dimulai dari hal-hal sederhana yang dilakukan
secara terus menerus dan konsisten.
No comments:
Post a Comment