orang tua mencintai anaknya dengan caranya,
seorang anak menerima cinta orang tua melalui pilihannya
(Mohammad
Yusuf)
Seandainya mungkin dan ada pelajaran cinta di sekolah
tentunya, semua anak akan bersemangat. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah,
siapa yang akan mengajarkan pelajaran ini. Apakah guru bimbingan konseling?
tentu sulit menjawab pertanyaan ini. Namun tentunya istilah cinta ditingkat
anak sekolah relatif erat dengan apa yang mereka fahami sebagai “pacaran”. Pacaran sendiri
berarti hubungan antara pria dan wanita yang diwarnai keintiman dimana satu
sama lain terlibat dalam perasaan cinta dan saling mengakui pasangannya sebagai
pacar. Melalui berpacaran seseorang akan mempelajari mengenai perasaan emosional tentang kehangatan, kedekatan dan berbagi dalam
hubungan dengan orang lain. Salah satu tugas perkembangan dewasa muda adalah
berkisar pada pembinaan hubungan intim dengan orang lain. Persoalan pacaran sering
menjadi rahasia dan hanya boleh diketahui oleh pasangan tersebut, tidak peduli
orang tua apalagi seorang guru. Hingga inilah yang, pada akhirnya menjadikan
pacaran hanya menjadi konsumsi personal yang bersifat eksklusif (terbatas).
Tentunya dalam menyikapi pacaran atau yang ingin saya sebut sebagai pengenalan “cinta”, setiap orang tua memiliki sikapnya masing-masing. Tetapi pada umumnya setiap orang tua menyayangkan anaknya untuk berpacaran diusia dini. " Masih kecil jangan pacaran...!!", mungkin itu perkataan orang tua kita kepada anaknya. Meskipun memiliki banyak fungsi, pacaran pada rentang usia remaja dan dewasa memiliki fungsi diantaranya untuk rekreasi, memperoleh persahabatan tanpa menikah, memperoleh status, sosialisasi, eksperimentasi seksual, serta memperoleh keintiman. Diantara banyak fungsi tersebut, pacaran menurut Spanier (dalam Duvall & Miller, 1985) lebih erat kaitannya dengan perilaku seksual. Walaupun sempat merasa kurang yakin dengan penjelasan tersebut, fakta yang saya temui ternyata cukup mencengangkan. Artikel yang dimuat Kompas 28 Januari 2005 dengan judul ”40 % kawula muda ngeseks di rumah” mengungkap bahwa 474 remaja dengan usia 15-24 tahun yang menjadi partisipan penelitian 44 % diantaranya mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum berusia 18 tahun. Mereka yang melakukan hubungan seksual 85 % diantaranya melakukan dengan pacarnya, dan sebanyak 36 % menyatakan bahwa mereka mengenal pasangannya kurang dari enam bulan. Adapun penelitian ini dilakukan di wilayah Jakarta dan sekitar, Bandung, Surabaya, dan Medan.
Pada umumnya, untuk mencapai sebuah tahap perilaku tertentu harus terlebih dahulu melakukan tahap sebelumnya. Sebagai contoh, untuk mencapai perilaku berciuman pipi, maka diasumsikan sebelumnya telah melakukan berpegangan tangan, berangkulan, dan berpelukan. Dalam kesehariannya, mungkin bisa dijabarkan secara sederhana bahwa dalam berpacaran biasanya individu ‘baru berani’ berpegangan tangan setelah sekian waktu. Untuk kemudian, ‘baru berani’ rangkulan atau pelukan setelah sekian lama pula. Begitu pula perilaku seksual berikutnya, ‘baru berani’ setelah waktu tertentu. Sehingga seseorang yang pernah berpacaran sebanyak 10 kali memiliki kecendrungan yang lebih tinggi untuk melakukan perilaku seksual lebih banyak dibandingkan orang lain yang hanya 5 kali berpacaran.
Di Indonesia sendiri, penelitian serupa pernah dilakukan Ariyanto (2008) dengan sampel mahasiswi salah satu Universitas ternama di Indonesia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa diantara 138 partisipan, perilaku seksual yang paling banyak dilakukan adalah berciuman bibir dengan persentase sebesar 57 persen. Adapun waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk bisa mencapai perilaku berciuman tersebut adalah 4, 4 bulan. Tingginya persentase berciuman, menurut Ariyanto (2008) terjadi karena masih adanya norma yang mengikat para individu untuk menjaga hubungan pacaran dalam batas yang wajar. Namun pada kenyataannya, seringkali terjadi bahwa pacaran yang dilakukan remaja dapat menjurus kepada hal-hal yang negatif, misalnya pacaran diiringi dengan perilaku seksual pranikah, kekerasan dalam berpacaran, bahkan tidak jarang terjadi kasus-kasus pembunuhan, perkosaan hingga maraknya kasus-kasus hubungan seksual yang direkam melalui handphone.
Menanggapi fenomena pacaran
Secara
tradisional masa remaja dianggap
sebagai periode “badai dan topan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi
sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Ciri perkembangan psikologis remaja adalah
adanya emosi yang meledak-ledak, sulit dikendalikan, cepat depresi (sedih,
putus asa) dan kemudian melawan dan memberontak. Emosi tidak
terkendali ini disebabkan oleh konflik peran yang senang dialami remaja. Oleh
karena itu, perkembangan psikologis ini ditekankan pada keadaan emosi remaja. Menurut
Mappiare (dalam Hurlock, 1990) remaja mulai
bersikap kritis dan tidak mau begitu saja menerima pendapat dan perintah orang
lain, remaja menanyakan alasan mengapa sesuatu perintah dianjurkan atau dilarang,
remaja tidak mudah diyakinkan tanpa jalan pemikiran yang logis. Dengan perkembangan
psikologis pada remaja,
terjadi kekuatan mental, peningkatan kemampuan daya fikir, kemampuan mengingat
dan memahami, serta terjadi peningkatan keberanian dalam mengemukakan pendapat.
Masa pacaran merupakan masa yang mengasyikkan bagi seseorang yang pernah atau sedang mengalami. Sampai-sampai pepatah bilang: "dunia seakan-akan milik berdua". Banyak sekali perbedaan yang terjadi bagi mereka yang berpacaran. Perbedaan yang ada di antara mereka yang berpacaran antara lain adalah tidak sependapat mengenai gagasan-gagasan yang muncul, misalnya: ada aturan tidak tertulis harus menurut dengan pasangannya, melarang pasangannya untuk berteman dengan yang lain atau tidak berminat untuk mengikuti keinginan pasangannya seperti mengajak makan bersama, berjalan-jalan, bahkan melakukan hubungan seksual. Berangkat dari kondisi psikologis remaja inilah mengapa menurut saya tindakan melarang hingga bahkan memarahi dan memberi hukuman kepada anak tentu tidak akan memberikan pembelajaran yang baik bagi perkembangan seorang anak. Malah yang ada kemudian adalah traumatis psikologis dan tentu sebagai orang tua kita tidak menginginkan hal tersebut.
Maka dalam menanggapi fenomena ini seorang orang tua harus mau untuk membuka komunikasi yang terbuka dengan anaknya. Memberikan alokasi waktu untuk perhatian ekstra yang mungkin tidak pernah mereka dapatkan. Orang tua harus mampu memberikan pelajaran cinta yang sebenarnya kepada anak-anaknya. Saya memahami bahwa tidak ada sekolah khusus yang mengajari kita bagaimana agar menjadi orang tua, sehingga saya sadar bahwa cara orang tua kita mendidik kita adalah hasil modeling dari orang tuanya terdahulu, Dalam peran ini orang tua harus mampu menunjukkan bahwa cinta tidak hanya bersifat memikirkan diri sendiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang lain, dan pembelajaran itu tercermin dari pribadi orang tua mereka. Cinta berarti siap untuk memberi dan berbagi, Jika sebagai guru yang pertama, orang tua mampu melakukan ini maka betapa beruntungnya seorang anak. Sebab, ia telah mendapatkan pelajaran cinta yang berharga dari mereka yang tulus memberikan cintanya, yaitu orang tuanya sendiri.
Sumber gambar: http://www.zastavki.com/
No comments:
Post a Comment