Setelah
menjadi guru, akhirnya sampai juga sebuah kesadaran baru, bahwa jarang dari
kita menyadari bahwa sekolah tidak selalu begitu ramah untuk bertanya tentang
ide atau pemikiran. Entah itu berasal dari guru ataupun dari siswa, terlebih
apabila pemikiran itu tidak lazim. Untuk sesuatu sebut saja yang tidak umum,
siswa yang memiliki rasa ingin tahu dan lebih sering bertanya. Beberapa dari
kita akan lebih mudah menyebutnya “anak cerewet” dan bahkan untuk anak-anak
yang terkategori lambat belajar akan lebih mudah untuk menyebutnya bodoh. Entah
mengapa pra guru menjadi sangat sulit untuk bersabar, meluangkan waktu sekejap
memahami. Sedangkan untuk anak-anak yang pendiam dan penurut hampir semuanya
menyukai dan dengan mudah menyebutnya “anak yang baik”. Padahal apakah dengan
semudah itu kita dapat mengetahui karakter dan potensi seorang anak dan begitu
mudah bagi seorang anak untuk mendapatkan predikat tertentu.
Seharusnya
kita mengambil pelajaran dari apa yang pernah terjadi pada diri Thomas Alva
Edison. Ilmuwan dengan hak paten terbanyak yang pernah hadir di dunia ini dengan
tidak berlatar belakang sekolah formal. Disebutkan di beberapa literatur, bahwa
alasan pemicu dikeluarkannya Edison karena tingkah lakunya yang nakal, karena terlalu
banyak bertanya. Dan oleh para gurunya hal tersebut dianggap sebuah
pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu dan menganggapnya bodoh serta nakal. Namun,
meski tidak memiliki guru di sekolah formal tetapi ia memiliki orang tua yang
mampu melihat hal tersebut sebagai potensi besar. Dengan pertanyaan-pertanyaan
yang terkesan ‘bodoh’ seperti, “apakah lampu ini bisa menyala dengan kumis?”,
“bagaimana dengan jenggot?”, “bagaimana dengan korek api?” dan seterusnya,
hingga akhirnya dia menemukan bahan yang paling tepat, yaitu wolfram dan
terciptalah lampu bohlam.
Seandainya
Edison tidak bertanya-tanya seperti itu, mungkin kita sekarang masih hidup di
dalam kegelapan. Seandainya Einstein tidak pernah memiliki rasa penasaran yang
besar, mungkin tidak akan banyak perkembangan di dalam ilmu fisika dan kimia.
Seandainya Newton tidak pernah bertanya mengapa sebuah apel bisa terjatuh,
mungkin kita sekarang tidak akan pernah tahu apa itu gravitasi. Pemikiran-pemikiran
yang paling hebat datang dari rasa ingin tahu.
Hapus Dikotomi
Hal lain
yang lazim kita jumpai ditiap sekolah adalah dikotomi IPA dan IPS. Miris
rasanya ketika mendengar seorang siswa berkata “Aku takut tidak bisa masuk IPA.
Apa kata dunia ! Pola pikir dan pengaruh kuat lingkungan akan “lebih hebatnya” jurusan
IPA sungguh sebuah bencana pendidikan yang luar biasa besar. Dikotomi ini
membuat siswa yang berhasil masuk di kelas IPA terlihat sebagai pemenang dan
lebih pintar, sementara yang tersisa untuk menjadi penghuni kelas IPS adalah
kumpulan pecundang dan anak-anak bodoh yang bermasalah. Padahal dengan tidak
sengaja pendidikan kita telah mengarah pada praktek bullying, atau kekerasan verbal
dan psikis dalam pendidikan.
Sebuah
pembuktian atas fenomena yang mengemuka di Indonesia seperti, perilaku yang tidak
santun, pelecehan hak asasi manusia, perilaku kekerasan, penyalahgunaan
kekuasaan, dan menurunnya penghargaan terhadap orang lain. Hingga pendidikan
banyak dikritik sebagai penghasil manusia yang mudah tersinggung, tipis
toleransi, kurang menghargai orang lain, dan menganut budaya kekerasan.
Pusat-pusat pendidikan seperti keluarga, masyarakat, sekolah dan bahkan
universitas telah mengalami banyak kehilangan (missing) antara lain (Suyata,
2000): sense of identity, sense of humanity, sense of community, sense of
culture (values) dan sense of respect.
Pendidikan
telah mencerminkan fragmentasi kehidupan dan kurikuler, kompetisi individual,
berkembangnya materialism, dan ketidak pedulian pada orang lain, terhambatnya
kreatifitas, prakarsa, sikap kritis, inovasi dan keberanian mengambil resiko.
Kebebasan individual seakan terpasung oleh tujuan pendidikan yang cenderung
kognitif sentris, sehingga meminggirkan pengembangan aspek afektif seperti
moral dan budi pekerti.
Padahal
dalam tujuan pendidikan nasional, tertulis jelas bahwa prioritas pendidikan
adalah “promote respect for self and other”. Oleh sebab itu sekolah harus mampu
menjadi ruang kondusif berseminya benih-benih perdamaian. Dan sebentuk
keteladanan para guru tentang nilai-nilai moral, yang menurut Lickona (1991:53)
meliputi (1) sikap menghargai dan tanggung jawab, (2) kerjasama, suka menology,
keteguhan hati, komitmen (3) kepedulian dan empati, rasa keadilan, rendah hati,
suka menolong, (4) kejujuran, integritas, (5) berani, kerja keras, mandiri, sabar,
percaya diri, banyak akal, inovasi, (6) rasa bangga, ketekunan dan (7)
toleransi, kepedulian.
Ke depan
kita perlu berkomitmen untuk melepas semua atribut label yang kita berikan ke
anak didik kita. Menurut teori, labelling adalah pelabelan atau pemberian cap
terhadap suatu individu di masyarakat yang mempunyai sifat atau kebiasaan yang
dianggap minoritas oleh suatu masyarakat tersebut. Hal ini perlu dihidari,
sebab, seseorang yang diberi label akan mengalami perubahan peranan dan
cenderung akan berlaku seperti label yang diberikan kepadanya. Reaksi ini
muncul karena seseorang yang diberi label merasa terkurung dalam label yang
diberikan kepadanya.
Memaknai sebuah perjumpaan
Tidaklah
salah untuk menjumpai para guru untuk marah-marah di sekolah ataupun dikelas
saat pembelajaran berlangsung. Marah itu sebenarnya tidak begitu menjadi
persoalan, namun bagaimana rasa marah itu diekspresikan itu yang lebih
berbahaya. Disebut berbahaya bila bentuk kemarahan adalah bullying. Terlebih
lagi, bullying yang terwujud dalam kata-kata yang melecehkan atau
merendahkan.Kata-kata itu sendiri tidak berbahaya bila tidak disertai labelling
sebab krisis identitas biasanya bermula dari labelling.
Pendekatan
Six Thinking Logic dari Robert Dilt (Pakar NLP) menyatakan, ada 6 logika
berpikir yang saling memengaruhi, berturut-turut dari level tertinggi ke
terendah adalah: Purpose, Identity, Values and Belief, Capability, Behavior,
dan terakhir Environment. Semakin tinggi
maka makin kuat pengaruhnya terhadap orang yang di bawahnya. Ini berarti
Identity akan berdampak pada Values and Belief, Capability, Behavior, dan
terakhir berdampak pada Environment.Masuk akal bila seseorang merasa dirinya
bodoh (Identity) maka perilaku dan kemampuannya akan merefleksikan
kebodohannya. Pada akhirnya, yang bersangkutan akan semakin tidak yakin bahwa
mereka sebenarnya pintar.
Perjumpaan
dengan anak-anak didik yang unik harus kita anggap sebagai “blessing in
disguise” suatu keadaan yg terlihat
tidak menguntungkan bagi banyak pihak, tapi satu sisi menyenangkan. “A
misfortune that has an unexpected benefit”, ketidak beruntungan yang memberikan
peluang bagi kita untuk belajar hal-hal baru. Tidak akan pernah tercipta sebuah
perjumpaan tanpa alasan dan maksud yang indah. Dengan anak-anak yang unik kita
menjadi tahu sebatas apa rasa ingin tahu kita apabila kita ingin lebih maka
disitulah pengembangan diri kita sebenarnya. Inilah makna pendidikan yang
sebenarnya.
Dan
seperti kata Einstein, bahwa rasa ingin tahulah yang telah mempertahankan
pendidikan formal. Saatnya kita memberikan anak-anak pilihan tentang apa yang
mereka pelajari berpikir tentang berapa banyak mereka dapat belajar. Memberikan
kemerdekaan mereka untuk memperoleh apa yang ingin mereka ketahui. Hal utama
dari tugas-tugas kita sebagai guru adalah untuk memperbesar dan menghidupi rasa
ingin tahu itu dalam dunia kecil kita yang bernama sekolah.
Sumber
gambar: http://www.edutopia.org/
No comments:
Post a Comment