Ide tentang paperless school tampaknya telah dimulai semenjak
kementerian pendidikan mempekenalkan buku BSE dalam konsep E-Book. Ide transisi
pembelajaran kelas dari handbook menjadi e-book, secara tidak langsung telah
mengkampanyekan panggilan bagi guru untuk pergi paperless. Sebentuk keinginan
untuk mewujudkan penghematan biaya pemuatan kertas dan harmonisasi pendidikan
dengan lingkungan hidup. Hal ini juga dapat menjadi populer dengan para guru
untuk berbagai kemudahan ketika mendistribusikan dan mengumpulkan bahan-bahan.
Tapi bagaimana dengan belajar? Konsep paperless adalah sebuah langkah maju berbasis
teknologi tinggi untuk melakukan apa yang setiap orang selalu ingin lakukan.
Tapi apakah kita akan benar-benar tidak menggunakan kertas?
Kertas adalah bahan yang tipis dan rata, yang dihasilkan dengan kompresi
serat yang berasal dari pulp. Serat yang digunakan biasanya adalah alami, dan
mengandung selulosa dan hemiselulosa. Kertas dikenal sebagai media utama untuk
menulis, mencetak serta melukis dan banyak kegunaan lain yang dapat dilakukan
dengan kertas misalnya kertas pembersih (tissue) yang digunakan untuk hidangan,
kebersihan ataupun toilet. Adanya kertas merupakan revolusi baru dalam dunia
tulis menulis yang menyumbangkan arti besar dalam peradaban dunia.
Sebelum ditemukan kertas, bangsa-bangsa dahulu menggunakan tablet dari
tanah lempung yang dibakar. Hal ini bisa dijumpai dari peradaban bangsa
Sumeria, Prasasti dari batu, kayu, bambu, kulit atau tulang binatang, sutra,
bahkan daun lontar yang dirangkai seperti dijumpai pada naskah naskah Nusantara
beberapa abad lampau. Sekarang hampir dapat dipastikan bahwa setiap hari kita
pasti menggunakan atau paling tidak berhubungan dengan kertas. Akan tetapi, tanpa
sadar kalau perilaku boros kertas itu ternyata turut membantu laju penguranga
hutan (deforestasi).
Harmonisasi Dengan Alam
Padahal hutan adalah bagian dari ekosistem yang mempunyai peran penting
dalam kehidupan manusia. “Ekosistem hutan menyediakan berbagai barang dan jasa
yang diperlukan oleh manusia dan fauna untuk kesinambungan hidup manusia kini
dan di masa depan. Sejauh ini tercatat laju kerusakan hutan di Indonesia jauh
lebih tinggi dibanding negara-negara lain. Laju deforestasi hutan Indonesia
mencapai 610.375,92 Ha per tahun dan tercatat sebagai peringkat tiga terbesar
di dunia. Untuk memproduksi kertas, dibutuhkan 3 ton kayu dan 98 ton bahan baku
lainnya. Setiap jam, dunia kehilangan 1.732,5 hektare
hutan kayu karena ditebang untuk dijadikan bahan baku kertas. Setiap tahun
hutan Indonesia yang hilang setara dengan luas pulau Bali. Sebab setiap 15 rim
kertas ukuran A4 itu akan menebang 1 pohon berusia 5 tahun. Setiap 7000 eks
lempar koran yang kita baca setiap hari itu akan menghabiskan 10-17 pohon
hutan. Dalam satu hari ada berapa jutaan lembar kertas yang dipakai oleh orang
Indonesia, dan ini artinya ada jutaan pohon hutan yang ditebang untuk memenuhi
kebutuhan itu.
Sehingga jika seandainya kita menghemat 1 ton kertas, berarti kita juga
menghemat 13 batang pohon besar, 400 liter minyak,4100 Kwh listrik dan 31.780
liter air. Untuk memproduksi 3 lembar kertas membutuhkan 3
liter air. Dalam memproduksi 1 ton kertas,dihasilkan gas
karbondioksida sebanyak kurang lebih 2,6 ton. Jumlah ini setara dengan gas
buang yang dihasilkan sebuah mobil selama 6 bulan. Dalam memproduksi 1 ton kertas,dihasilkan kurang lebih 72.200 liter
limbah cair dan 1 ton limbah padat.
Hal meningkatkan resiko pencemaran dan perusakan lingkungan, sehingga
struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat pula
rusak karenanya. Pada akhirnya kehidupan umat manusia menjadi terancam. Ketika
lingkungan telah mengalami kerusakan, kita baru menyadari pentingnya
pelestarian lingkungan. Kita sadar bahwa apa yang dilakukan pada masa lalu adalah
suatu kekeliruan yang besar. Dahulu manusia selalu berfikir apa yang dapat saya
ambil dari lingkungan? Manusia merasa seolah-olah dirinya berada di luar
lingkungan. Padahal, terpeliharanya ekosistem yang baik dan sehat merupakan
tanggung jawab yang menuntut peran serta setiap manusia untuk meningkatkan daya
dukung lingkungan. Hal ini berlaku untuk semua aspek, tidak terkecuali
pendidikan
Sehingga pendidikan
seyogyanya sebagai proses peningkatan kualitas pendidikan harus merasa sebagai
bagian dari lingkungan yang ada disekitarnya. Dasar pemikiran inilah yang
kemudian mempopulerkan konsep paperless sebagai visi masa depan pendidikan dan
pelestarian lingkungan. Pemikiran yang sekaligus memperluas ruang belajar dari
yang selama ini hanya selebar dan setebal buku, menjadi demikian luas dan
saling terkait. Mendefenisikan kembali manusia tidak lagi sebagai makhluk
independen tetapi sebagai makhluk dependen, yang kelangsungan hidupnya juga
terkait dengan kelangsungan komponen lain yang ada dilingkungan hidupnya.
Otonom
dan Bertanggung Jawab
Konsep ini kemudian
berkembang menjadi beragam istilah dengan defenisinya masing-masing. Mulai dari
konsep paperless school, paperless learning, paperless teaching dan lain-lain
yang kesemuanya mengharuskan kita melihat kembali pada konsep kita tentang
kelas, sumber belajar, fungsi dan peran guru. Sebab semua proses belajar dan
bekerja tidak lagi harus menemukan jalan melalui kertas sebab siswa tentu akan begitu
banyak kehilangan. Ukuran dari sebuah ide tidak perlu dibatasi oleh jumlah
kertas yang tersedia untuk menampungnya.
Dalam dunia pendidikan
konsep ini berarti menerapkan sistem sentralisasi (centralized system) pada
individu siswa dengan membangun kesadaran belajar (self-regulated learning).
Hal ini sesuai dengan pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah, yang dikenal
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah pusat memberikan
sebagian besar otoritas pengembangan kurikulum kepada masing-masing lembaga
pendidikan, dengan mengacu kepada peraturan-peraturan pendidikan yang berlaku.
Peraturan-peraturan yang dimaksud antara lain UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan.
Sehingga untuk menerapkan
hal konsep paperless school tidak perlu merubah konsep kurikulum. Pemerintah
pusat hanya perlu membuat model kurikulum KTSP yang sekarang telah
bertransformasi menjadi kurikulum 2013, dan menentukan standar kompetensi dari
berbagai pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum tersebut.
Selebihnya masing-masing lembaga pendidikan harus mengembangkan sendiri
kurikulum mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan
kompetensi, menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi kekhasan
daerah dan kebutuhan sekolah, serta menyusun standar kompetensi untuk pelajaran
yang tidak menjadi memiliki standar nasional, seperti bahasa daerah.
Lebih jauh, konsep
paperless ini tidak dapat dipungkiri akan memberikan kesempatan kepada semua
pihak untuk lebih terlibat dalam pengambilan berbagai kebijakan pendidikan. Bahkan
mendekatkan masyarakat dalam pengambil keputusan pendidikan, sebagai pihak yang
selama ini dianggap sering mempersalahkan institusi pendidikan terhadap apa
yang terjadi pada siswa. Sehingga kesenjangan antara harapan dan kenyataan
menjadi kian sempit. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan tentang pendidikan
diharapkan semakin memperhatikan kebutuhan lembaga-lembaga pendidikan dan para
peserta didik, serta semakin aplikatif untuk dilaksanakan.
Dampak positif dari
diberlakukannya konsep paperless school dalam pendidikan, adalah diharapkan
dapat memacu pertumbuhan pendidikan nasional, baik dalam hal kuantitatif maupun
kualitatif. Secara kuantitatif, pertumbuhan pendidikan dapat dilihat dari
meningkatnya akses dan angka partisipasi pendidikan di tiap jenjangnya.
Sementara secara kualitatif, peningkatan pendidikan dapat diukur dengan
prestasi dan kualitas hasil pendidikan yang dihasilkan. Dengan pemberian
otoritas lebih besar kepada siswa, ada semacam semangat kompetisi di antara
para pemegang otoritas belajar (siswa) untuk menunjukkan keberhasilan mereka
dalam pembelajaran. Sehingga pada gilirannya mereka mampu menjadi lebih
mandiri, mampu memanfaatkan potensi yang ada secara maksimal, dan lebih peka
terhadap kebutuhan aktualisasi diri di masa depan.
Sekarang apakah konsep
paperless school akan dengan mudah diterapkan ? Dan bersediakah para guru itu
memberikan otoritas belajar kepada siswa dengan konsekuensi perubahan yang
tidak biasa dan sulit untuk kita bayangkan bersama.