Tips Belajar Akuntansi

Paperless School dan Pendidikan Era Digital



Ide tentang paperless school tampaknya telah dimulai semenjak kementerian pendidikan mempekenalkan buku BSE dalam konsep E-Book. Ide transisi pembelajaran kelas dari handbook menjadi e-book, secara tidak langsung telah mengkampanyekan panggilan bagi guru untuk pergi paperless. Sebentuk keinginan untuk mewujudkan penghematan biaya pemuatan kertas dan harmonisasi pendidikan dengan lingkungan hidup. Hal ini juga dapat menjadi populer dengan para guru untuk berbagai kemudahan ketika mendistribusikan dan mengumpulkan bahan-bahan. Tapi bagaimana dengan belajar? Konsep paperless adalah sebuah langkah maju berbasis teknologi tinggi untuk melakukan apa yang setiap orang selalu ingin lakukan. Tapi apakah kita akan benar-benar tidak menggunakan kertas?
Kertas adalah bahan yang tipis dan rata, yang dihasilkan dengan kompresi serat yang berasal dari pulp. Serat yang digunakan biasanya adalah alami, dan mengandung selulosa dan hemiselulosa. Kertas dikenal sebagai media utama untuk menulis, mencetak serta melukis dan banyak kegunaan lain yang dapat dilakukan dengan kertas misalnya kertas pembersih (tissue) yang digunakan untuk hidangan, kebersihan ataupun toilet. Adanya kertas merupakan revolusi baru dalam dunia tulis menulis yang menyumbangkan arti besar dalam peradaban dunia.
Sebelum ditemukan kertas, bangsa-bangsa dahulu menggunakan tablet dari tanah lempung yang dibakar. Hal ini bisa dijumpai dari peradaban bangsa Sumeria, Prasasti dari batu, kayu, bambu, kulit atau tulang binatang, sutra, bahkan daun lontar yang dirangkai seperti dijumpai pada naskah naskah Nusantara beberapa abad lampau. Sekarang hampir dapat dipastikan bahwa setiap hari kita pasti menggunakan atau paling tidak berhubungan dengan kertas. Akan tetapi, tanpa sadar kalau perilaku boros kertas itu ternyata turut membantu laju penguranga hutan (deforestasi).
Harmonisasi Dengan Alam
Padahal hutan adalah bagian dari ekosistem yang mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. “Ekosistem hutan menyediakan berbagai barang dan jasa yang diperlukan oleh manusia dan fauna untuk kesinambungan hidup manusia kini dan di masa depan. Sejauh ini tercatat laju kerusakan hutan di Indonesia jauh lebih tinggi dibanding negara-negara lain. Laju deforestasi hutan Indonesia mencapai 610.375,92 Ha per tahun dan tercatat sebagai peringkat tiga terbesar di dunia. Untuk memproduksi kertas, dibutuhkan 3 ton kayu dan 98 ton bahan baku lainnya. Setiap jam, dunia kehilangan 1.732,5 hektare hutan kayu karena ditebang untuk dijadikan bahan baku kertas. Setiap tahun hutan Indonesia yang hilang setara dengan luas pulau Bali. Sebab setiap 15 rim kertas ukuran A4 itu akan menebang 1 pohon berusia 5 tahun. Setiap 7000 eks lempar koran yang kita baca setiap hari itu akan menghabiskan 10-17 pohon hutan. Dalam satu hari ada berapa jutaan lembar kertas yang dipakai oleh orang Indonesia, dan ini artinya ada jutaan pohon hutan yang ditebang untuk memenuhi kebutuhan itu.
Sehingga jika seandainya kita menghemat 1 ton kertas, berarti kita juga menghemat 13 batang pohon besar, 400 liter minyak,4100 Kwh listrik dan 31.780 liter air. Untuk memproduksi 3 lembar kertas membutuhkan 3 liter air. Dalam memproduksi 1 ton kertas,dihasilkan gas karbondioksida sebanyak kurang lebih 2,6 ton. Jumlah ini setara dengan gas buang yang dihasilkan sebuah mobil selama 6 bulan. Dalam memproduksi 1 ton kertas,dihasilkan kurang lebih 72.200 liter limbah cair dan 1 ton limbah padat. 
Hal meningkatkan resiko pencemaran dan perusakan lingkungan, sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat pula rusak karenanya. Pada akhirnya kehidupan umat manusia menjadi terancam. Ketika lingkungan telah mengalami kerusakan, kita baru menyadari pentingnya pelestarian lingkungan. Kita sadar bahwa apa yang dilakukan pada masa lalu adalah suatu kekeliruan yang besar. Dahulu manusia selalu berfikir apa yang dapat saya ambil dari lingkungan? Manusia merasa seolah-olah dirinya berada di luar lingkungan. Padahal, terpeliharanya ekosistem yang baik dan sehat merupakan tanggung jawab yang menuntut peran serta setiap manusia untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Hal ini berlaku untuk semua aspek, tidak terkecuali pendidikan
Sehingga pendidikan seyogyanya sebagai proses peningkatan kualitas pendidikan harus merasa sebagai bagian dari lingkungan yang ada disekitarnya. Dasar pemikiran inilah yang kemudian mempopulerkan konsep paperless sebagai visi masa depan pendidikan dan pelestarian lingkungan. Pemikiran yang sekaligus memperluas ruang belajar dari yang selama ini hanya selebar dan setebal buku, menjadi demikian luas dan saling terkait. Mendefenisikan kembali manusia tidak lagi sebagai makhluk independen tetapi sebagai makhluk dependen, yang kelangsungan hidupnya juga terkait dengan kelangsungan komponen lain yang ada dilingkungan hidupnya.
Otonom dan Bertanggung Jawab
Konsep ini kemudian berkembang menjadi beragam istilah dengan defenisinya masing-masing. Mulai dari konsep paperless school, paperless learning, paperless teaching dan lain-lain yang kesemuanya mengharuskan kita melihat kembali pada konsep kita tentang kelas, sumber belajar, fungsi dan peran guru. Sebab semua proses belajar dan bekerja tidak lagi harus menemukan jalan melalui kertas sebab siswa tentu akan begitu banyak kehilangan. Ukuran dari sebuah ide tidak perlu dibatasi oleh jumlah kertas yang tersedia untuk menampungnya.
Dalam dunia pendidikan konsep ini berarti menerapkan sistem sentralisasi (centralized system) pada individu siswa dengan membangun kesadaran belajar (self-regulated learning). Hal ini sesuai dengan pemberlakuan kurikulum berbasis sekolah, yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pemerintah pusat memberikan sebagian besar otoritas pengembangan kurikulum kepada masing-masing lembaga pendidikan, dengan mengacu kepada peraturan-peraturan pendidikan yang berlaku. Peraturan-peraturan yang dimaksud antara lain UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan.
Sehingga untuk menerapkan hal konsep paperless school tidak perlu merubah konsep kurikulum. Pemerintah pusat hanya perlu membuat model kurikulum KTSP yang sekarang telah bertransformasi menjadi kurikulum 2013, dan menentukan standar kompetensi dari berbagai pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum tersebut. Selebihnya masing-masing lembaga pendidikan harus mengembangkan sendiri kurikulum mereka dengan mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan kompetensi, menambahkan pengalaman belajar yang dianggap menjadi kekhasan daerah dan kebutuhan sekolah, serta menyusun standar kompetensi untuk pelajaran yang tidak menjadi memiliki standar nasional, seperti bahasa daerah.
Lebih jauh, konsep paperless ini tidak dapat dipungkiri akan memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk lebih terlibat dalam pengambilan berbagai kebijakan pendidikan. Bahkan mendekatkan masyarakat dalam pengambil keputusan pendidikan, sebagai pihak yang selama ini dianggap sering mempersalahkan institusi pendidikan terhadap apa yang terjadi pada siswa. Sehingga kesenjangan antara harapan dan kenyataan menjadi kian sempit. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan tentang pendidikan diharapkan semakin memperhatikan kebutuhan lembaga-lembaga pendidikan dan para peserta didik, serta semakin aplikatif untuk dilaksanakan.
Dampak positif dari diberlakukannya konsep paperless school dalam pendidikan, adalah diharapkan dapat memacu pertumbuhan pendidikan nasional, baik dalam hal kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, pertumbuhan pendidikan dapat dilihat dari meningkatnya akses dan angka partisipasi pendidikan di tiap jenjangnya. Sementara secara kualitatif, peningkatan pendidikan dapat diukur dengan prestasi dan kualitas hasil pendidikan yang dihasilkan. Dengan pemberian otoritas lebih besar kepada siswa, ada semacam semangat kompetisi di antara para pemegang otoritas belajar (siswa) untuk menunjukkan keberhasilan mereka dalam pembelajaran. Sehingga pada gilirannya mereka mampu menjadi lebih mandiri, mampu memanfaatkan potensi yang ada secara maksimal, dan lebih peka terhadap kebutuhan aktualisasi diri di masa depan.
Sekarang apakah konsep paperless school akan dengan mudah diterapkan ? Dan bersediakah para guru itu memberikan otoritas belajar kepada siswa dengan konsekuensi perubahan yang tidak biasa dan sulit untuk kita bayangkan bersama.


Share:
Read More

Proyek Rasa Ingin Tahu

Setelah menjadi guru, akhirnya sampai juga sebuah kesadaran baru, bahwa jarang dari kita menyadari bahwa sekolah tidak selalu begitu ramah untuk bertanya tentang ide atau pemikiran. Entah itu berasal dari guru ataupun dari siswa, terlebih apabila pemikiran itu tidak lazim. Untuk sesuatu sebut saja yang tidak umum, siswa yang memiliki rasa ingin tahu dan lebih sering bertanya. Beberapa dari kita akan lebih mudah menyebutnya “anak cerewet” dan bahkan untuk anak-anak yang terkategori lambat belajar akan lebih mudah untuk menyebutnya bodoh. Entah mengapa pra guru menjadi sangat sulit untuk bersabar, meluangkan waktu sekejap memahami. Sedangkan untuk anak-anak yang pendiam dan penurut hampir semuanya menyukai dan dengan mudah menyebutnya “anak yang baik”. Padahal apakah dengan semudah itu kita dapat mengetahui karakter dan potensi seorang anak dan begitu mudah bagi seorang anak untuk mendapatkan predikat tertentu.

Seharusnya kita mengambil pelajaran dari apa yang pernah terjadi pada diri Thomas Alva Edison. Ilmuwan dengan hak paten terbanyak yang pernah hadir di dunia ini dengan tidak berlatar belakang sekolah formal. Disebutkan di beberapa literatur, bahwa alasan pemicu dikeluarkannya Edison karena tingkah lakunya yang nakal, karena terlalu banyak bertanya. Dan oleh para gurunya hal tersebut dianggap sebuah pertanyaan-pertanyaan yang tidak perlu dan menganggapnya bodoh serta nakal. Namun, meski tidak memiliki guru di sekolah formal tetapi ia memiliki orang tua yang mampu melihat hal tersebut sebagai potensi besar. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkesan ‘bodoh’ seperti, “apakah lampu ini bisa menyala dengan kumis?”, “bagaimana dengan jenggot?”, “bagaimana dengan korek api?” dan seterusnya, hingga akhirnya dia menemukan bahan yang paling tepat, yaitu wolfram dan terciptalah lampu bohlam.

Seandainya Edison tidak bertanya-tanya seperti itu, mungkin kita sekarang masih hidup di dalam kegelapan. Seandainya Einstein tidak pernah memiliki rasa penasaran yang besar, mungkin tidak akan banyak perkembangan di dalam ilmu fisika dan kimia. Seandainya Newton tidak pernah bertanya mengapa sebuah apel bisa terjatuh, mungkin kita sekarang tidak akan pernah tahu apa itu gravitasi. Pemikiran-pemikiran yang paling hebat datang dari rasa ingin tahu.

Hapus Dikotomi
Hal lain yang lazim kita jumpai ditiap sekolah adalah dikotomi IPA dan IPS. Miris rasanya ketika mendengar seorang siswa berkata “Aku takut tidak bisa masuk IPA. Apa kata dunia ! Pola pikir dan pengaruh kuat lingkungan akan “lebih hebatnya” jurusan IPA sungguh sebuah bencana pendidikan yang luar biasa besar. Dikotomi ini membuat siswa yang berhasil masuk di kelas IPA terlihat sebagai pemenang dan lebih pintar, sementara yang tersisa untuk menjadi penghuni kelas IPS adalah kumpulan pecundang dan anak-anak bodoh yang bermasalah. Padahal dengan tidak sengaja pendidikan kita telah mengarah pada praktek bullying, atau kekerasan verbal dan psikis dalam pendidikan.
Sebuah pembuktian atas fenomena yang mengemuka di Indonesia seperti, perilaku yang tidak santun, pelecehan hak asasi manusia, perilaku kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, dan menurunnya penghargaan terhadap orang lain. Hingga pendidikan banyak dikritik sebagai penghasil manusia yang mudah tersinggung, tipis toleransi, kurang menghargai orang lain, dan menganut budaya kekerasan. Pusat-pusat pendidikan seperti keluarga, masyarakat, sekolah dan bahkan universitas telah mengalami banyak kehilangan (missing) antara lain (Suyata, 2000): sense of identity, sense of humanity, sense of community, sense of culture (values) dan sense of respect.
Pendidikan telah mencerminkan fragmentasi kehidupan dan kurikuler, kompetisi individual, berkembangnya materialism, dan ketidak pedulian pada orang lain, terhambatnya kreatifitas, prakarsa, sikap kritis, inovasi dan keberanian mengambil resiko. Kebebasan individual seakan terpasung oleh tujuan pendidikan yang cenderung kognitif sentris, sehingga meminggirkan pengembangan aspek afektif seperti moral dan budi pekerti.
Padahal dalam tujuan pendidikan nasional, tertulis jelas bahwa prioritas pendidikan adalah “promote respect for self and other”. Oleh sebab itu sekolah harus mampu menjadi ruang kondusif berseminya benih-benih perdamaian. Dan sebentuk keteladanan para guru tentang nilai-nilai moral, yang menurut Lickona (1991:53) meliputi (1) sikap menghargai dan tanggung jawab, (2) kerjasama, suka menology, keteguhan hati, komitmen (3) kepedulian dan empati, rasa keadilan, rendah hati, suka menolong, (4) kejujuran, integritas, (5) berani, kerja keras, mandiri, sabar, percaya diri, banyak akal, inovasi, (6) rasa bangga, ketekunan dan (7) toleransi, kepedulian.
Ke depan kita perlu berkomitmen untuk melepas semua atribut label yang kita berikan ke anak didik kita. Menurut teori, labelling adalah pelabelan atau pemberian cap terhadap suatu individu di masyarakat yang mempunyai sifat atau kebiasaan yang dianggap minoritas oleh suatu masyarakat tersebut. Hal ini perlu dihidari, sebab, seseorang yang diberi label akan mengalami perubahan peranan dan cenderung akan berlaku seperti label yang diberikan kepadanya. Reaksi ini muncul karena seseorang yang diberi label merasa terkurung dalam label yang diberikan kepadanya.
Memaknai sebuah perjumpaan
Tidaklah salah untuk menjumpai para guru untuk marah-marah di sekolah ataupun dikelas saat pembelajaran berlangsung. Marah itu sebenarnya tidak begitu menjadi persoalan, namun bagaimana rasa marah itu diekspresikan itu yang lebih berbahaya. Disebut berbahaya bila bentuk kemarahan adalah bullying. Terlebih lagi, bullying yang terwujud dalam kata-kata yang melecehkan atau merendahkan.Kata-kata itu sendiri tidak berbahaya bila tidak disertai labelling sebab krisis identitas biasanya bermula dari labelling.
Pendekatan Six Thinking Logic dari Robert Dilt (Pakar NLP) menyatakan, ada 6 logika berpikir yang saling memengaruhi, berturut-turut dari level tertinggi ke terendah adalah: Purpose, Identity, Values and Belief, Capability, Behavior, dan terakhir Environment. Semakin  tinggi maka makin kuat pengaruhnya terhadap orang yang di bawahnya. Ini berarti Identity akan berdampak pada Values and Belief, Capability, Behavior, dan terakhir berdampak pada Environment.Masuk akal bila seseorang merasa dirinya bodoh (Identity) maka perilaku dan kemampuannya akan merefleksikan kebodohannya. Pada akhirnya, yang bersangkutan akan semakin tidak yakin bahwa mereka sebenarnya pintar.
Perjumpaan dengan anak-anak didik yang unik harus kita anggap sebagai “blessing in disguise”  suatu keadaan yg terlihat tidak menguntungkan bagi banyak pihak, tapi satu sisi menyenangkan. “A misfortune that has an unexpected benefit”, ketidak beruntungan yang memberikan peluang bagi kita untuk belajar hal-hal baru. Tidak akan pernah tercipta sebuah perjumpaan tanpa alasan dan maksud yang indah. Dengan anak-anak yang unik kita menjadi tahu sebatas apa rasa ingin tahu kita apabila kita ingin lebih maka disitulah pengembangan diri kita sebenarnya. Inilah makna pendidikan yang sebenarnya.
Dan seperti kata Einstein, bahwa rasa ingin tahulah yang telah mempertahankan pendidikan formal. Saatnya kita memberikan anak-anak pilihan tentang apa yang mereka pelajari berpikir tentang berapa banyak mereka dapat belajar. Memberikan kemerdekaan mereka untuk memperoleh apa yang ingin mereka ketahui. Hal utama dari tugas-tugas kita sebagai guru adalah untuk memperbesar dan menghidupi rasa ingin tahu itu dalam dunia kecil kita yang bernama sekolah.


Sumber gambar: http://www.edutopia.org/
Share:
Read More

Soal Uji Kompetensi Keahlian Perbankan SMK Tahun 2017

Uji Kompetensi Keahlian (UKK) adalah bagian dari intervensi Pemerintah dalam menjamin mutu pendidikan pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan. Pelaksanaan UKK bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi siswa pada level tertentu sesuai Kompetensi Keahlian yang ditempuh selama masa pembelajaran di SMK. UKK terdiri dari Ujian Praktik Kejuruan yang umumnya diselenggarakan sebelum pelaksanaan Ujian Nasional dan Ujian Teori Kejuruan yang merupakan bagian dari rangkaian pelaksanaan Ujian Nasional.
Ujian Praktik Kejuruan dapat dilaksanakan menggunakan standar yang ditetapkan oleh industri, Lembaga Sertifikasi Profesi dan perangkat uji yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Tempat-tempat uji kompetensi. Satuan pendidikan yang menyelenggarakan UKK harus dinyatakan layak sebagai tempat uji kompetensi oleh koordinator Ujian Nasional Tingkat Provinsi atau Lembaga Sertifikasi Profesi. Perangkat ujian praktik yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersifat terbuka dan peserta uji dapat berlatih menggunakan perangkat ujian tersebut sebelum pelaksanaan ujian.
Secara umum perangkat Uji Kompetensi Keahlian terdiri atas :
  1. Kisi-kisi Soal/Ujian Teori kejuruan (KST). Kisi-kisi soal ujian Teori Kejuruan merupakan konsep, prinsip-prinsip, prosedur, materi,bahan, dan lain-lain yang harus dikuasai peserta uji dalam melaksanakan pekerjaan bidang tertentu. Kisi-kisi ujian Teori kejuruan terbuka untuk umum.
  2. Soal Teori Kejuruan (STK) adalah berupa soalpilihan ganda dengan 5 opsi jawaban. Soal Teori Kejuruan terdiri dari model Ujian Nasional Berbasis Kertas (Paper-based Test) dan Ujian Nasional Berbasis Komputer (Computer-based Test).
  3. Kisi-kisi Soal Praktik Kejuruan (KSP). Kisi-kisi soal ujian Praktik Kejuruan merupakan kompetensi utama Standar Kompetensi danKompetensi Dasar yang harus dikuasai peserta uji dalam melaksanakan pekerjaan bidang tertentu. Kisi-kisi ujian Praktik kejuruan digunakan sebagai acuan dalam pembuatan perangkat ujian praktik kejuruan (Soal Praktik Kejuruan, LembarPedoman Penilaian, dan Instrumen Verifikasi)
  4. Soal Praktik Kejuruan (SPK) adalah berupa penugasanbagi peserta uji untuk membuat atau proses dan mengerjakan suatu produk/jasa
  5. Lembar Pedoman Penilaian Soal Praktik (PPsp) adalah rubrik yang digunakan untuk pemberian skor setiap komponen penilaian. Lembar penilaian memuat komponen penilaian, sub-komponen penilaian, pencapaian kompetensi, dan kriteria penilaian.
  6. Instrumen Verifikasi Penyelenggara Ujian Praktik Kejuruan (InV) adalah instrumen yang digunakan untuk menilai kelayakan satuan pendidikan atau institusi lain sebagai tempat penyelenggaraan ujian Praktik Kejuruan. Instrumen verifikasi memuat standar persyaratan peralatan utama, standar persyaratan peralatan pendukung,standar persyaratan tempat/ruang serta memuat persyaratan penguji yang terdiri atas penguji internal dan eksternal.
Perangkat-perangkatujian tersebut dapat diunduh melalui tautan berikut ini :
  1. Kisi-kisi Soal/Ujian Teori Kejuruan
  2. Perangkat Ujian Praktik Kejuruan (Draft Final)
Share:
Read More

Membangun Social Security System Dalam Penanggulangan Kemiskinan


Kemiskinan merupakan fenomena yang selalu diusahakan untuk diminimalisasi, bahkan mungkin dihilangkan. Hal ini menimbulkan kesadaran sebagai tantangan di kalangan elite yang melahirkan gagasan besar untuk menanggulanginya baru muncul pada abad 19 sebagai reaksi terhadap gagasan yang muncul pada abad 19 yang menitik-beratkan pada gagasan untuk mencapai kemakmuran bangsa (the wealth of nation). Pada abad 18, gagasan yang muncul adalah bahwa kemakmuran bangsa akan dicapai apabila setiap individu diberi kebebasan untuk bekerja memenuhi kebutuhannya sendiri. Hipotesanya adalah jika setiap orang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, maka kemakmuran masyarakat akan dengan sendirinya tercapai. Dengan perkataan lain, kemiskinan akan terhapus dalam kebebasan berusaha. Gagasan itu berasal dari Adam Smith (1773-1790) melalui bukunya “The Wealth of Nation: The Inquiry into the Wealth of Nation” (1776), yang kemudian disebut sebagai kapitalisme. Tapi kapitalisme dinilai akhir-akhir ini oleh ekonom kontemporer Amerika, Robert Hessen dianggap sebagai salah kaprah dalam penyebutan (misnomer), dan ia lebih suka menyebutnya sebagai individualisme ekonomi (economic individualism) yang dilawankan dengan gagasan kolektivisme. Walaupun demikian gagasan Smith itu lebih lazim disebut sebagai kebebasan ekonomi (economic liberalism).
Namun kenyataannya, kemiskinan masih selalu melekat dalam setiap sendi kehidupan manusia, sehingga membutuhkan upaya penanggulangan yang komprehensif, integral, dan berkelanjutan. Berkaitan dengan hal itu, para pemimpin negara sedunia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Millenium di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York tahun 2000, menetapkan upaya mengurangi separuh dari kemiskinan di dunia sebagai “Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals)” bagi negara-negara anggota PBB yang harus dicapai pada tahun 2015 melalui 8 (delapan) jalur sasaran, yaitu: (1) Mengurangi separuh proporsi penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari dan proporsi penduduk yang menderita kelaparan; (2) Mengurangi separuh proporsi jumlah penduduk yang tidak memiliki akses pada air minum yang sehat; (3) Menjamin semua anak, laki-laki dan perempuan, menyelesaikan sekolah dasar; (4) Menurunkan hingga 2/3 kematian bayi dan anak dibawah usia lima tahun; (5) Menghentikan penyebaran penyakit HIV/AIDS, malaria, dan jenis penyakit menular lainnya; (6) Menghilangkan ketidaksetaraan gender di sekolah; (7) Menerapkan dengan konsekuen kebijakan pembangunan berkelanjutan; dan (8) Mengembangkan kemitraan untuk pembangunan di semua tingkatan.
Komitmen semua bangsa di dunia untuk menghapus kemiskinan dari muka bumi ini ditegaskan dan dikokohkan kembali dalam “Deklarasi Johannesburg mengenai Pembangunan Berkelanjutan” yang disepakati oleh para Kepala Negara/Pemerintahan dari 165 negara yang hadir pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg, Afrika Selatan, bulan September 2002, dan kemudian dituangkan dalam dokumen “Rencana Pelaksanaan KTT Pembangunan Berkelanjutan.
Tentunya sebentuk komitmen belumlah cukup, kemiskinan pun dapat disebabkan oleh ketidaksempurnaan pasar sehingga membutuhkan peran negara dalam ekonomi. Hal ini berpijak pada analisis Karl Marx dan Frederick Engels yang menyatakan bahwa “a free market did not lead to greater social wealth, but to greater poverty and exploitation…a society is just when people’s needs are met, and when inequality and exploitation in economic and social relations are eliminated” (Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998: 91 dan 97). Dengan ketidaksempurnaan mekanisme pasar ini, peranan pemerintah banyak ditampilkan pada fungsinya sebagai agent of economic and social development. Artinya, pemerintah tidak hanya bertugas mendorong pertumbuhan ekonomi, melainkan juga memperluas distribusi ekonomi melalui pengalokasian public expenditure dalam APBN dan kebijakan publik yang mengikat. Selain dalam policy pengelolaan nation-state-nya pemerintah memberi penghargaan terhadap pelaku ekonomi yang produktif, ia juga menyediakan alokasi dana dan daya untuk menjamin pemerataan dan kompensasi bagi mereka yang tercecer dari persaingan pembangunan.
Memandirikan Masyarakat
Robert Malthus (1766-1834) melihat suatu gejala kecenderungan ke arah kemiskinan atau kemerosotan kesejahteraan keluarga yang disebabkan oleh perkembangan jumlah penduduk mengikuti deret ukur yang tidak diimbangi dengan perkembangan produksi pangan mengikuti deret hitung. Asumsinya tentang hubungan antara penduduk dan kemiskinan itu adalah bahwa, peningkatan kesejahteraan akan mendorong keluarga untuk menambah jumlah anak. Tapi dengan lahirnya lebih banyak anak yang menambah jumlah penduduk akan mengurangi tingkat kesejahteraan keluarga, dan karena itu ia menganjurkan pengendalian diri berdasarkan nilai moral (moral restraint). Karena itu solusi terhadap masalah kemiskinan adalah mengurangi tingkat penduduk dengan pengendalian diri atau mengimbanginya dengan peningkatan produksi pangan. Tapi pemikir yang lain, David Ricardo (1772-1823), berpendapat bahwa peningkatan produksi pangan dibatasi oleh ketersediaan lahan yang subur. Dalam hal ini baik Mathus dan Ricardo tetap melihat bayang-bayang kemiskinan dalam perkembangan ekonomi dan masyarakat. Sehingga tepat apabila peningkatan produksi pangan secara optimal harus diikuti dengan pengendalian pertumbuhan penduduk, karena kekhawatiran tentang kemerosotan kesejahteraan keluarga.
Sementara itu, sebagaimana diasumsikan oleh Smith, telah terjadi pertumbuhan ekonomi, sebagai hasil dari proses industrialisasi pada abad ke 19. Tetapi seiring proses industrialisasi itu telah lahir kemiskinan massal, karena tingkat upah yang rendah di satu pihak dan meningkatnya kebutuhan hidup di lain pihak, yang mencakup kesehatan dan pendidikan. Daerah perkotaan dalam masyarakat industri dan daerah perdesaan di kalangan petani kecil, karena kekurangan modal untuk bertani, memiliki hubungan kausalitas dalam berkontribusi sebagai kantong-kantong kemiskinan. Sebab apabila ada bencana alam yang menghentikan kegiatan bertani akan mengakibatkan terjadi kemiskinan massal di daerah perdesaan sekaligus merosotnya produksi pangan. Hal ini akan menyebabkan harga pangan di daerah perkotaan meningkat yang tidak terjangkau oleh buruh yang berpendapatan rendah
Oleh sebab itu kemiskinan adalah produk struktural dari sebuah sistem yang saling terkait, yakni sistem ekonomi (pertumbuhan dan pemerataan pendapatan nasional), pendidikan (pemberdayaan dan pengembangan SDM) dan jaminan sosial (bantuan sosial dan asuransi sosial). Oleh karenanya upaya pengentasan kemiskinan harus pula diikuti dengan upaya bagaimana membangun sistem ekonomi agar tumbuh setinggi mungkin, dengan diarahkan secara sungguh-sungguh untuk membangun sistem jaminan sosial yang kuat. Agar keberhasilan di bidang ekonomi menjadi rentan terhadap goncangan, sekaligus menjauhkan Indonesia dari permasalahan sosial yang kompleks. Singkatnya, paradigma pembangunan harus berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan aspek perlindungan sosial guna menopang dan menjaga kestabilan ekonomi. Mewujudkan masyarakat sejahtera dan mandiri di tingkat lokal (kabupaten/kota), maupun di tingkat hierarki yang lebih rendah dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Jaminan sosial merupakan istilah “baru” yang lahir pada Abad 20. Sistem ini pertama-tama diterapkan sebagai alternatif untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial akibat krisis ekonomi dan untuk mengubah kapitalisme agar menjadi lebih manusiawi (compassionate capitalism) (Spicker, 1995; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998; MHLW, 1999; Suharto, 2001a; 2001b; 2001c; 2002a). Pengertian jaminan social (social security) dapat didefinisikan secara luas sebagai tindakan publik, termasuk yang dilakukan oleh masyarakat, untuk melindungi kaum miskin dan lemah dari perubahan yang merugikan dalam standar hidup, sehingga mereka memiliki standar hidup yang dapat diterima (The World Bank Researcher Observer, 1991). Instrumen yang terkait adalah jaminan pekerjaan dan pendapatan, serta beberapa instrumen kebijakan formal, seperti : asistensi, asuransi sosial, dan tunjangan keluarga. Jaminan sosial bukan untuk melindungi kaum kaya tetapi untuk memberikan efek insentif. Pengembangan suatu sistem keterjaminan sosial untuk mendukung pencapaian kesejahteraan rakyat perlu dipandang sebagai suatu usaha untuk mengembalikan kemampuan masyarakat mencapai kesejahteraannya sendiri. Oleh sebab itu, keterjaminan sosial secara normatif harus mengacu pada kemampuan masyarakat menghadapi krisis, apa pun penyebabnya.
Studi ILO 1984 menggambarkan adanya 3 (tiga) tahap evolusi jaminan sosial, yaitu: a) Sumbangan/derma dari kaum kaya yang disediakan untuk para fakir miskin, tetapi kondisi dan stigma keras yang diterapkan sering tidak dapat diterima; b) Skema asuransi sosial dikembangkan berdasarkan suatu kewajiban premi yang diberikan pada peserta berupa pensiun dan pembayaran masa sakit; dan c) Konsep pencegahan dengan tujuan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas hidup.
Dalam literatur pekerjaan sosial (social work), jaminan sosial (social security) merupakan salah satu jenis kebijakan sosial untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan dalam masyarakat. Setiap negara memiliki definisi, sistem, dan pendekatan yang berbeda dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, dan karenanya, memiliki sistem dan strategi jaminan sosial yang berbeda pula. Jaminan sosial umumnya diimplementasikan ke dalam berbagai bentuk tunjangan pendapatan secara langsung (income support) yang terkait erat dengan kebijakan perpajakan dan pemeliharaan pendapatan (taxation and income-maintenance policies). Namun demikian, jaminan sosial kerap meliputi pula berbagai skema peningkatan akses terhadap pelayanan sosial dasar, seperti perawatan kesehatan, pendidikan, dan perumahan (Huttman, 1981; Gilbert dan Specht, 1986; Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998). Jaminan sosial yang berbentuk tunjangan pendapatan dapat disebut benefits in cash, sedangkan yang berwujud bantuan barang atau pelayanan sosial sering disebut benefits in kind (Shannon, 1991; Hill, 1996; MHLW, 1999).
Sebagai bentuk komitmen dan piranti negara dalam mewujudkan keadilan social, jaminan sosial perlu dibangun dalam aspek-aspek: ketahanan pangan, kesehatan, sandang, kerja dan usaha, perumahan dan pendidikan. Urutan tersebut diperkirakan merupakan urutan kepekaan masyarakat terhadap krisis. Artinya, jika krisis melanda maka yang pertama kali akan dikorbankan adalah pendidikan, dan jika telah mencapai krisis pangan maka kondisi yang terjadi sudah merupakan bencana yang sangat serius. Tetapi jika ditinjau dari sudut pandang pemerintah, layanan harus diprioritaskan kepada aspek pendidikan, kesehatan, pangan, serta kerja dan usaha, yang diwujudkan dalam bentuk asuransi sosial (social insurance) dan atau bantuan sosial (social assistance) (MHLW, 1999).
Dalam hal ini, pemerintah akan lebih berperan hanya sebagai inisiator dan selanjutnya bertindak sebagai fasilitator dalam proses tersebut, sehingga akhirnya, kerangka dan pendekatan penanggulangan kemiskinan menjadi lebih komprehensif dan tersistem. Sebab hal terpenting dari membangun kemandirian masyarakat adalah menyediakan ruang gerak yang seluas-luasnya, bagi munculnya aneka inisiatif dan kreativitas masyarakat di berbagai tingkat (pemberdayaan masyarakat). Membuka peluang dan kesempatan berusaha bagi orang miskin untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan ekonomi. Dan menjadi tugas pemerintah untuk menciptakan iklim agar pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, terutama oleh penduduk miskin.


Share:
Read More

Surat Ketetapan Pajak, Apakah itu?

Surat ketetapan pajak terdiri atas 6 (enam) macam, yaitu :
1. Surat Tagihan Pajak (STP)
Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat sesorang atau wajib badan terdaftar sebagai wajib pajak. Adapun jenis penagihan pajak ada dua bentuk:

a. Penagihan pajak aktif
b. Penagihan pajak pasif

Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2000 KUP, Surat tagihan Pajak diterbitkan dalam hal-hal sebagai berikut:
  • Apabila Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
  • Apabila dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung
  • Apabila Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga
  • Apabila pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang PPn dan perubahannya tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP).
  • Apabila pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tetapi membuat faktur pajak.
  • Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tidak membuat atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak.


Penerbitan surat tagihan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan untuk paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau bagian tahun atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya surat tagihan pajak.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi admnistrasi, dan jumlah pajak yang msih harus dibayar. Sebagaimana diatur dalam pasal 13 undang-undang KUP yang dapat diterbitkan dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat tertangnya pajak, berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak dalam hal-hal sebagai berikut :
  1. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.
  2. Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis, tidak disampaikan juga seperti ditentukan dalam surat teguran.
  3. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atas PPn dan PPnBM ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tariff 0%.
  4. Apabila wajib pajak tidak melakukan kewajiban pembukuan dan tidak memenuhi permintaan dalam pemeriksaan pajak, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang.

Penerbitan SKPKB akan diikuti dengan sanksi administrasi yang bisa berupa denda maupun kenaikan. Sanksi administrasi berupa denda  sebesar 2% sebulan akan dikenakan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa wajibpajak tidak atau kurang membayar besarnya pajak yang terutang.

3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
SKPKBT adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam SKPKBT. SKPKBT diatur dalam pasal 13 undang-undang KUP yang diterbitkan untuk menampung beberapa kemungkinan yang terjadi seperti :
  • Adanya SKPKBT yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah dripada perhitungan yang sebenarnya.
  • Adanya proses pengembalian pajak yang telah ditetapkan dalam SKPLB yang seharusnya tidak dilakukan.
  • Adanya pajak terutang dalam surat ketetapan pajak nihil (SKPN) yang ditetapkan ternyata lebih rendah.

Penerbitan SKPKBT dilakukan apabila ditemukan data baru (novum) dan atau data yang semula belum terungkap yang dapat menyebabkan penambahan pajak yang terutang.

4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
SKPLB adalah Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. SKPLB diatur dalm Pasal 17 Undang-undang KUP yang telah diterbitkan untuk hal-hal sbb:
  • Untuk Pajak Penghasilan (PPh), jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembeyaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
  • Untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
  • Untuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.

SKPLB akan diterbitkan jika ada permohonan tertulis dari wajib pajak.

5. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
SKPN adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan untuk menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. SKPN diatur dalam Pasal 17A Undang-undang KUP dalam hal sbb:
  • Untuk PPh, jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
  • Untuk PPn, jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
  • Untuk PPnBM, jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak.


6. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
SPPT adalah surat yang diterbitkan oleh DJP untuk memberitahukan besarnya pajak yang terutang kepada Wajib Pajak. SPPT diatur dalam Pasal 10 ayat 1 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). SPPT merupakan dokumen yang berisi besarnya utang atas pajak bumi dan Bangunan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak pada waktu yang telah ditentukan. SPPT diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) ang trlah disampaikan oleh Wajib Pajak atau berdasarkan data Objek Pajak yang telah ada di Kantor Pelayanan PBB. 

Share:
Read More

Cara Mudah Aktivasi EFIN untuk E-filing Pajak di DJP Online

EFIN dibutuhkan untuk registrasi pertama kali pada menu DJP online baik itu untuk e-filing maupun e-biling dan e-tracking. Kini Wajib Pajak diwajibkan untuk menyampaikan SPT Tahunannya dengan e-filing padahal tentunya tidak semua familiar dengan internet. Oleh karena itu akan kami coba sampaikan bagaimana cara melakukan aktivasi EFIN pada DJP Online untuk pengisian SPT Tahunan melalui e-filing.  Selain itu EFIN juga dibutuhkan pada saat anda ingin mengganti password atau pada saat ingin mengganti email yang digunakan dan seterusnya. Oleh karena itu EFIN harus disimpan dan bersifat rahasia. Untuk registrasi pada menu DJP online begini cara aktivasi EFIN untuk e-filing di DJP online.

Buka situs utama DJP online di alamat www.djponline.pajak.go.id lalu klik "daftar disini" seperti pada gambar yang digaris bawah berwarna merah.
Setelah itu akan terbuka halaman registrasi. Pada halaman ini silakan masukkan NPWP, EFIN dan Kode Keamanan lalu klik "Verifikasi"

Setelah di klik verifikasi, maka anda diminta untuk cek kembali data anda dan membuat password untuk login ke DJP Online. Lihat gambar di bawah ini:

Sistem akan mengirimkan link aktivasi melalui email yang anda gunakan. Silakan cek email anda dan klik link tersebut sehingga akan terbuka halaman login DJP Online.

Login dengan menggunakan NPWP dan Password yang telah anda buat pada langkah kedua.

Anda telah berhasil mengaktivasi EFIN dan siap untuk melakukan pengisian SPT Tahunan dengan menggunakan e-filing.


Demikian cara aktivasi EFIN untuk e-filing pajak di DJP online. Sangat mudah bukan? Semoga artikel ini bermanfaat dan terimakasih.

Referensi: http://www.mas-fat.com/2016/03/cara-aktivasi-efin-untuk-e-filing-pajak.html

Share:
Read More