Perdesaan dan berbagai jenis kesenjangan, merupakan kata yang seringkali dipadankan. Perdesaan mengalami kesenjangan ekonomi dibandingkan perkotaan karena kegiatan ekonomi terakumulasi di pusat pengembangan bisnis dan perputaran uang. Perdesaan yang terpencil juga mengalami kesenjangan akibat letak geografisnya yang
membuat masyarakat sulit menjangkau sarana pelayanan (kesehatan,pendidikan) dan sebaliknya sulit dijangkau sarana dan prasarana pelayanan umum (air bersih, listrik, saluran telepon). Perdesaan juga
mengalami kesenjangan modal (aset) dengan lebih banyak tersedianya kemudahan dan bantuan modal bagi bisnis dan usaha berskala besar ketimbang usaha perdesaan. Perdesaan juga mengalami kesenjangan informasi dengan masih mahalnya biaya komunikasi dan transportasi. Bagi masyarakat perkotaan, biaya
pendidikan memang mahal. Tetapi, bagi masyarakat perdesaan yang masih harus membayar biaya transportasi tinggi untuk menjangkau sarana pendidikan, biaya itu menjadi lebih tak terjangkau oleh
mereka.
Kesenjangan informasi menjadi sebab dan akibat dari kesenjangan lainnya. Miskinnya informasi mengenai berbagai hal menyebabkan masyarakat perdesaan kesulitan mengembangkan alternatif hidup. Terisolirnya menyebabkan satu-satunya usaha masyarakat adalah mengandalkan pertanian (atau merambah sumber
daya alam yang ada seperti hutan dan tambang) sehingga kemiskinan (ekonomi) semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan kelangkaan lahan. Akhirnya, tingkat putus sekolah di
perdesaan menjadi sangat memprihatinkan dan kemampuan menggunakan layanan kesehatan semakin rendah dan sebagainya. Inilah yang kemudian disebut sebagai ’Lingkaran Ketidakberdayaan’ akibat berbagai kesenjangan yang terjadi di perdesaan. Tentunya kesenjangan ini akan makin besar menimpa kelompok miskin dan marjinal perdesaan. Kesenjangan antara kelompok berbeda di perdesaan pun akan terjadi, bukan hanya antara perdesaan dan perkotaan.
“Dunia tanpa batas”, ungkapan ini mungkin sangat tepat mencerminkan abad 21 sebagai era informasi dan komunikasi dijital. Pada tahun 2000-an ini, tidak ada peristiwa politik di belahan dunia mana pun yang tak terjangkau pemberitaan media massa. Namun, kontradiksi dengan hal tersebut, sebagian besar masyarakat miskin perdesaan belum tersentuh perkembangan komunikasi-informasi dan kemudahan-kemudahan yang diperoleh dari TIK. Perkembangan TIK bahkan semakin memperbesar kesenjangan bagi kalangan marjinal, terutama kelompok miskin dan perempuan, yang tidak memiliki peluang akses terhadap pembangunan dan sumber komunikasi-informasi yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan kehidupannya.
Inilah yang menjadikan isu “kesenjangan dijital” (digital divide) mengemuka sebagai agenda pembangunan dalam lima tahun terakhir ini di Indonesia. Masyarakat perdesaan membutuhkan informasi dan pengetahuan yang dapat mereka manfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidupnya dalam berbagai aspek (kesehatan, sosial, budaya,
politik, ekonomi, lingkungan, rekreasi). Perubahan konstelasi politik di Indonesia, dengan terjadinya reformasi dan diberlakukannya otonomi daerah, sangat berpengaruh terhadap desa. Kemampuan untuk menghadapi perubahan ini, akan ditentukan dengan kemampuan masyarakat untuk memahami perkembangan melalui kemampuan untuk mengakses informasi secara cerdas dan kritis serta kemampuannya berinteraksi dengan pihak lain melalui penggunaan sarana TIK. Gelombang informasi luar semestinya mendorong masyarakat untuk mengembangkan pengetahuan dan teknologi lokal secara dinamis dan inovatif, bukan sebaliknya, menjadikan masyarakat terbawa arus dan menghilangkan kebanggaan akan lokalitasnya.
No comments:
Post a Comment