Tips Belajar Akuntansi

Kesenjangan Informasi sebagai ‘Lingkaran'Ketidakberdayaan

Perdesaan dan berbagai jenis kesenjangan, merupakan kata yang seringkali dipadankan. Perdesaan mengalami kesenjangan ekonomi dibandingkan perkotaan karena kegiatan ekonomi terakumulasi di pusat pengembangan bisnis dan perputaran uang. Perdesaan yang terpencil juga mengalami kesenjangan akibat letak geografisnya yang
membuat masyarakat sulit menjangkau sarana pelayanan (kesehatan,pendidikan) dan sebaliknya sulit dijangkau sarana dan prasarana pelayanan umum (air bersih, listrik, saluran telepon). Perdesaan juga
mengalami kesenjangan modal (aset) dengan lebih banyak tersedianya kemudahan dan bantuan modal bagi bisnis dan usaha berskala besar ketimbang usaha perdesaan. Perdesaan juga mengalami kesenjangan informasi dengan masih mahalnya biaya komunikasi dan transportasi. Bagi masyarakat perkotaan, biaya
pendidikan memang mahal. Tetapi, bagi masyarakat perdesaan yang masih harus membayar biaya transportasi tinggi untuk menjangkau sarana pendidikan, biaya itu menjadi lebih tak terjangkau oleh
mereka.
Kesenjangan informasi menjadi sebab dan akibat dari kesenjangan lainnya. Miskinnya informasi mengenai berbagai hal menyebabkan masyarakat perdesaan kesulitan mengembangkan alternatif hidup. Terisolirnya menyebabkan satu-satunya usaha masyarakat adalah mengandalkan pertanian (atau merambah sumber
daya alam yang ada seperti hutan dan tambang) sehingga kemiskinan (ekonomi) semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan kelangkaan lahan. Akhirnya, tingkat putus sekolah di
perdesaan menjadi sangat memprihatinkan dan kemampuan menggunakan layanan kesehatan semakin rendah dan sebagainya. Inilah yang kemudian disebut sebagai ’Lingkaran Ketidakberdayaan’ akibat berbagai kesenjangan yang terjadi di perdesaan. Tentunya kesenjangan ini akan makin besar menimpa kelompok miskin dan marjinal perdesaan. Kesenjangan antara kelompok berbeda di perdesaan pun akan terjadi, bukan hanya antara perdesaan dan perkotaan.

“Dunia tanpa batas”, ungkapan ini mungkin sangat tepat mencerminkan abad 21 sebagai era informasi dan komunikasi dijital. Pada tahun 2000-an ini, tidak ada peristiwa politik di belahan dunia mana pun yang tak terjangkau pemberitaan media massa. Namun, kontradiksi dengan hal tersebut, sebagian besar masyarakat miskin perdesaan belum tersentuh perkembangan komunikasi-informasi dan kemudahan-kemudahan yang diperoleh dari TIK. Perkembangan TIK bahkan semakin memperbesar kesenjangan bagi kalangan marjinal, terutama kelompok miskin dan perempuan, yang tidak memiliki peluang akses terhadap pembangunan dan sumber komunikasi-informasi yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan kehidupannya.
Inilah yang menjadikan isu “kesenjangan dijital” (digital divide) mengemuka sebagai agenda pembangunan dalam lima tahun terakhir ini di Indonesia. Masyarakat perdesaan membutuhkan informasi dan pengetahuan yang dapat mereka manfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidupnya dalam berbagai aspek (kesehatan, sosial, budaya,

politik, ekonomi, lingkungan, rekreasi). Perubahan konstelasi politik di Indonesia, dengan terjadinya reformasi dan diberlakukannya otonomi daerah, sangat berpengaruh terhadap desa. Kemampuan untuk menghadapi perubahan ini, akan ditentukan dengan kemampuan masyarakat untuk memahami perkembangan melalui kemampuan untuk mengakses informasi secara cerdas dan kritis serta kemampuannya berinteraksi dengan pihak lain melalui penggunaan sarana TIK. Gelombang informasi luar semestinya mendorong masyarakat untuk mengembangkan pengetahuan dan teknologi lokal secara dinamis dan inovatif, bukan sebaliknya, menjadikan masyarakat terbawa arus dan menghilangkan kebanggaan akan lokalitasnya.
Share:
Read More

Manajemen Konflik

Jika dua orang berkumpul, maka siap-siaplah akan tejadi pertentangan baik disimpan di dalam hati maupun ditampakkan dengan perilaku. Sudah menjadi kodrat manusia bahwa bila mereka berdekatan, pasti terjadi gesekan perasaan karena suasana hati manusia itu secara garis besar berkisar antara rasa senang, sedih, marah, dan takut (cemas). Komunikator ang handal dapat mengetahui suasana hati manusia dari penampilan wajahnya. Konflik tidak selamanya negatif, ada pla konflik yang menyebabkan positif, misalnya berkonflik karena persaingan secara sehat.Manager dan leader dalam menjalankan tugasnya pasti berhadapan dengan konflik. Untuk itu perlu dibekali bagaimana cara-cara mengatasi konflik.

Burns (1978: 37) menyatakan bahwa potensi konflik dapat melancarkan hubungan umat manusia, sekaligus menjadi kekuatan penyehat dan pertumbuhan, sebagaimana dapat pulas perusak. Tidak ada kelompok dapat hidup harmonis secara keseluruhan; yang demikian itu akan sepi dari proses dan struktur.

Sebuah organisasi selaykanya dikembangkan sebagai system yang mendorong upaya kerjasama antar manusia. Namun, dalam “kehidupan nyata” (the real world), organisasi akan selalu diwarnai oleh adanya konflik dalam berbagai bentuk dan tingkat kekuatannya, baik secara positif dan negatif. Dalam situasi yang dinamis seperti sekarang ini, dapat dipikirkan untuk meminimalisasi kerusakan akibat konflik dan menanganinya secara produktif.

Konflik akan selalu menyelimuti pengalaman umat manusia. Pasti akan terjadi, bahkan dalam diri individu sekalipun; biasa disebut konflik intrapersonal (intrapersonal conflict). Konflik ini, sering muncul akibat pertentangan antara dua perasaan atau kepentingan, yang mendorong timbulnya stress. Di samping itu, konflik akan selalu muncul dalam pengalaman social, antar individu-individu, kelompok-kelompok, dan antara masyarakat dan kultur yang lebih luas lagi.

Konflik dapat terjadi di dalam (within) pribadi (person) dan unit social (intrapersonal, intragroup, atau intranational). Konflik juga dapat dialami antara (between) dua pihak atau lebih (interpersonal, intergroup, atau international). Konflik dalam kehidupan organisasional biasanya melibatkan konflik antarpribadi dan antar kelompok.

Hakekat Konflik

Pada hakikatnya, konflik pasti terjadi, berkonotasi negatif, hasil akhhir tergantung manajemennya, dan perlu dikenali. Munculnya konflik biasanya diisyaratkan oleh adanya komentar emosional, serangan gagasan yang apriori, saling tuduh, dan saling serang pada pribadi. Penanganannya dapat dilakukan dengan cara konfrontasi agresif, manufer negatif, penundaan terus menerus, dan bertempur secara pasif.

Sumber konflik berawal dari sikap menghalangi sasaran perorangan, perbedaan sudut pandang, kehilangan otonomi/kekuasaan, dan kehilangan sumber yang mengakibatkan ketidak adilan, ancaman terhadap nilai/norma, dan perbedaan persepsi, tujuan,kebutuhan, kebutuhan dan nilai. Konflik dapat direspon dengan cara menghindar, mengakomodasi, menang/kalah, dan penyelesaian masalah (kolaborasi win-win).

Berdasarkan teori manajemen klasik (classical management theory), adanya konflik dipandang sebagai bukti perpecahan organisasi, yakni gagalnya pihak manajemen merencanakan dan melaksanakan pengendalian secara memadai. Sementara menurut pandangan hubungan manusiawi (human relation), konflik dipandang secara negatif sebagai bukti gagalnya pihak manajemen mengembangkan norma-norma yang sesuai dalam kelompok. Adapun teori administrasi tradisional lebih melihat organisasi yang sehat didasarkan kepada suasana yang harmonis, kesatuan, koordinasi, efisiensi, dan tertib. Hubungan manusiawi berupaya menciptakan iklim tersebut melalui suasana kerja yang menyenangkan, sedang aliran klasik menciptakannya melalui kontrol dan struktur organisasi yang ketat. Keduanya sepakat bahwa konflik cenderung merugikan, oleh karena itu harus dihindari.

Definisi Konflik

Pada dasarnya, tidak ada kesepakatan tentang definisi konflik di kalangan ahli (Thomas, 1976). Hal ini, tercermin dalam rumusan yang dikemukakan oleh mereka. Deutsch (1973: 10) memandang bahwa konflik akan muncul jika terjadi kesenjangan aktifitas.

Konflik ialah proses kegiatan A merugikan B sehingga menimbulkan perselisihan sehingga dapat menimbulan stres (Gibson, et.al, 2003). Konflik disebat juga fight, strungle, quarrel, defference, opposition, .and disagrement. Konflik yang berkepanjangan dapat mengakibatkan stres bagi yang berkonflik. Konflik dapat terjadi dengan: (1) diri sendiri, (2) seseorang, (3) kelompok, (4) organisasi, (5) kelompok dengan kelompok, (6) kelompok dengan organisasi, dan (7) organisasi dengan oganisasi.

Pandangan perilaku menyatakan konflik adalah sesuatu yang wajar (alamiah) karena perbedaan perilaku dalam berorganisasi. Pandangan intraksionis menyatakan bahwa konflik adalah proses interaktif yang mendorong keharminisan, kedamaian, dan kerjasama untuk melakukan inovasi, perubahan dan peningkatan.

Pandangan Kontemporer tentang Konflik. Konflik dalam organisasi saat ini tidak dapat dihindari, endemic, dan legitimate. Hal ini, karena individu dan kelompok di dalam system social manusia interdependen dan selalu berkait dalam proses definisi dan redefinisi terhadap sifat dan rentang interdependensi mereka. Proses tersebut, misalnya, ditandai oleh fakta bahwa lingkungan tempat tinggal mereka berubah secara konstan. Barnard (1938) pernah menyatakan melekat dalam konsepsi kebebasan berkehendak dalam lingkungan yang terus berubah pola-pola social yang ditandai dengan negosiasi, stress, dan konflik.

Efek Konflik Organisasi. Konflik yang terlalu sering dan menguat dapat berdampak pada prilaku orang dalam organisasi. Penarikan diri secara psikososial, seperti alienasi, apatis, dan tidak peduli merupakan indikasi umum yang mempengaruhi pelaksanaan fungsi organisasi. Penarikan diri secara fisik, seperti ketidakhadiran, keterlambatan, dan pengunduran diri merupakan respon terhadap konflik di sekolah sebagai akibat lemahnya system administrasi.

Tentu, konflik dalam organisasi pendidikan tidak diinginkan. Manajemen konflik yang tidak efektif dapat menimbulkan iklim yang memperburuk situasi dan memperluas frustasi, penuruan iklim organisasi, dan meningkatkan perusakan lebih lanjut. Sebaliknya, manajemen konflik yang efektif dapat mendorong kinerja yang produktif dan meningkatkan kesehatan organisasi dalam waktu yang lama.

Berdasar paparan di atas, dapat ditegaskan bahwa konflik tidak dapat dilihat baik atau buruk begitu saja; eksistensinya netral. Dampaknya terhadap organisasi dan prilaku orang di dalamnya sangat tergantung kepada ketepatan cara yang diperlakukan. Hal ini, mengisyaratkan bahwa penyelesaian konflik di lingkungan Departemen Agama RI perlu menggunakan berbagai pendekatan dan multiperspektif.

Kinerja Organisasi. Untuk membicarakan konflik organisasi sebagai sesuatu yang baik atau buruk, fungsional atau disfungsional, mensyaratkan adanya criteria yang digunakan untuk membuat penilaian. Sebagai langkah awal, perlu digali dampak konflik terhadap kapabilitas organisasi sebagai sebuah system.

Pengukuran produktifitas organisasi dan pembahasan tentang relefansi system sekolah atau kondisi internal sekolah harus dikedepankan. Oleh karena itu, akibat konflik secara fungsional atau disfungsional terhadap organisasi harus dipahami dalam kaitannya dengan kesehatan organisasi, adaptabilitas dan stabilitas.

Sebagaimana kita ketahui, teori motivasi moderen menjelaskan bahwa tantangan, signifikansi, dan kebutuhan untuk memecahkan masalah menjadi cirri penting yang mampu membuat orang menjadi tertarik, senang, dan termotivasi. Demikian juga, konsep tentang kepemimpinan partisipatif mendasarkan kepada keyakinan bahwa banyak anggota organisasi memiliki gagasan bagus dan kualitas informasi yang memberi kontribusi positif untuk membuat kebijakan yang lebih baik dalam organisasi.

Thomas (1976) memandang bahwa Pertentangan pandangan-pandangan yang beragam sering menghasilkan gagasan mutu yang lebih unggul.

Persepsi Terhadap Konflik

Mitos terhadap konflik adalah: (1) kelemahan kepemimpnan, (2) kurang perhatian terhadap organisasi, (3) jika dibiarkan akan reda dengan sendirinya, (4) harus dipecahkan, dan (5) menyeybabkan marah dan merusak. Ada tiga pandangan terhadap konflik: (1) tradisional, (2) perilaku, dan (3) interaksionis. Pandangan tradional menyatakan konflik adalah negatif dan harus dihindari.






























































No. Lama (Dampak Negatif)Baru (Dampak Positif)
1.Semua konflik berakibat negatifKonfik dapat berakibat negatif dan positif
2.Harus dihindari (tradisional)Harus dikelola
3.Berdampak negatif bagi organisasi (disfuntional)Berdampak positif bagi orgnisasi (functional)
4.Mengganggu norma yang sudah mapanMerevisi dan memperbaharui norma yang sudah mapan
5.Menghambat efektivitas organisasiMeningkatkan efektivitas organisasi
6.Mengganggu hubungan kerja sama (menghambat komunikasi)Menambah intim hubungan kerja sama.
7.Mengarah ke disintegrasiMenuju ke integrasi
8.Menghabiskan waktu dan tenagaMenghemat waktu, dan tenaga.
9.Stress, frustrasi, tegang, kurang konsentrasi, dan kurang puasMampu menyesuaikan diri, dan meningkatkan kepuasan
10.Tidak mampu mengambil tindakanMampu mengambil tindakan

Munculnya konflik pada hakikatnya melalui tahapan-tahapan dinamis, dengan modus sebagai berikut: (1) Tidak merasa tertekan (biasa-biasa), (2) Agak tertekan, (3) Merasa tertekan
Negoisasi Konflik

Dalam setiap negosiasi memiliki potensi konflik dalam seluruh prosesnya, penting sekali bagi kita untuk memahami cara mengatasi atau menyelesaikan konflik. Untuk menjelaskan berbagai alternatif penyelesaian konflik dipandang dari sudut menang – kalah masing-masing pihak, ada empat kuadran manajemen konflik :
1. Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari konflik).
Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Kita tidak memaksakan keinginan kita dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain.
Cara ini sebetulnya hanya bisa kita lakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan kita, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat segera diselesaikan.
2. Kuadran Menang-Kalah (Persaingan)
Kuadran kedua ini memastikan bahwa kita memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kita menggunakan kekuasaan atau pengaruh kita untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut kita yang keluar sebagai pemenangnya. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas.
3. Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi).
Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kita kalah – mereka menang ini berarti kita berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini kita gunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang kita inginkan.
Mengalah dalam hal ini bukan berarti kita kalah, tetapi kita menciptakan suasana untuk memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan kita sehingga selanjutnya kita bersama bisa menuju ke kuadran pertama.
4. Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi).
Kuadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuan kita adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya.

Dinsmore (1990) memberikan taktik untuk mengurangi konflik dengan cara mengikuti sarannya seperti tabel berikut ini.

Tabel . Taktik Mengurangi Konflik



















No.Strategi
1Meminimalkan konflik dengan atasan

  • Tempatkan dirinya sebagai “sepatu bos”

  • Anaalisis pola pikir boss

  • Jangan menyempaikan masalah kepada bos tetapi pemecahan masalahnya.

  • Dengarkan dengan baik infomasi bos untuk rencana dan pengembangan

  • Berkonsultasi dengan bos terhadap kebijakan, prosedur, dan kriteria.

  • Jangan memaksa bos

Meminimalkan konflik dengan bawahan

  • Temukan profesional dan tujuan personal anggota tim.

  • Jelaskan harapan Anda

  • Definisikan ukuran kontrol

  • Kembangkan toleransi kegagalan untuk membangkitkan kreativitas.

  • Beri umpan balik positif.

  • Beri kesempatan dan penghargaan

2Meminimalkan konflik dengan teman selevel.

  • Bantu kelompok mencapai tujuannya.

  • Bangun iklim kerjasama

  • Beri catatan kemajuan untuk membantu anda dari kelompok

  • Usahakan saluran komunikasi informal

  • Coba mereka dengan percobaan yang Anda inginkan.

Meminimalkan konflik dengan pelanggan

  • Dorong pelanggan menuju yang mereka inginkan.

  • Pelihara kontak tertutup dengan pelanggan.

  • Hindari kejutan

  • Siaplah melayani setiap level

  • Kembangkan hubungan informal sebaik mungkin.

  • Laksanakan proyek pertemuan reguler.


(Dinsmore,1990)
Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari kedua pihak untuk menyelesaikannya dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang kokoh . Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut.
Share:
Read More

Negoisasi

Tanpa kita sadari, setiap hari kita sesungguhnya selalu melakukan negosiasi. Negosiasi adalah sesuatu yang kita lakukan setiap saat dan terjadi hampir di setiap aspek kehidupan kita. Selain itu negosiasi adalah cara yang paling efektif untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik atau perbedaan kepentingan.
Kita memperoleh apa yang kita inginkan melalui negosiasi. Mulai dari bangun pagi, mungkin kita harus mengambil kesepakatan siapa yang harus menggunakan kamar mandi terlebih dahulu, kemudian apakah sopir harus mengantar isteri anda atau anda terlebih dahulu. Demikian pula di kantor misalnya kita melakukan negosiasi dalam rapat direksi, rapat staf, bahkan untuk menentukan di mana akan makan siang kita harus bernegosiasi dengan rekan sekerja kita.
Jadi kita semua pada dasarnya adalah negosiator. Beberapa dari kita melakukannya dengan baik, sedangkan sebagian lagi tidak pernah memenangkan negosiasi. Sebagian kita hanya menjadi pengikut atau selalu mengikuti dan mengakomodasi kepentingan orang lain. Negosiasi dilakukan oleh semua manusia yang berinteraksi dengan manusia lainnya. Mulai dari anak kecil sampai orang tua, semua lapisan dari kalangan sosial terbawah sampai dengan kaum elit di kalangan atas.
Negosiasi dilakukan mulai dari rumah, sekolah, kantor, dan semua aspek kehidupan kita. Oleh karena itu penting bagi kita dalam rangka mengembangkan dan mengelola diri (manajemen diri), untuk dapat memahami dasar-dasar, prinsip dan teknik-teknik bernegosiasi sehingga kita dapat melakukan negosiasi serta membangun relasi yang jauh lebih efektif dan lebih baik dengan siapa saja.
Kita bernegosiasi dengan siapa saja, mulai dari isteri atau suami, anak, orang tua, bos kita, teman dan relasi bisnis. Dan kegiatan negosiasi kita lakukan setiap saat setiap hari. Negosiasi dapat berupa apa saja – gaji kita, mobil dan rumah yang kita beli, biaya servis mobil, biaya liburan keluarga, dan sebagainya.
Negosiasi terjadi ketika kita melihat bahwa orang lain memiliki atau menguasai sesuatu yang kita inginkan. Tetapi sekedar menginginkan tidak cukup. Kita harus melakukan negosiasi untuk mendapatkan apa yang kita inginkan dari pihak lain yang memilikinya dan yang juga mempunyai keinginan atas sesuatu yang kita miliki. Sedangkan agar negosiasi dapat terjadi dengan sukses, kita harus juga bersiap untuk memberikan atau merelakan sesuatu yang bernilai yang dapat kita tukar dengan sesuatu yang kita inginkan tersebut.
Dalam buku Teach Yourself Negotiating, karangan Phil Baguley, dijelaskan tentang definisi NEGOSIASI yaitu suatu cara untuk menetapkan keputusan yang dapat disepakati dan diterima oleh dua pihak dan menyetujui apa dan bagaimana tindakan yang akan dilakukan di masa mendatang. Sedangkan negosiasi memiliki sejumlah karakteristik utama, yaitu:
1. Senantiasa melibatkan orang – baik sebagai individual, perwakilan organisasi atau perusahaan, sendiri atau dalam kelompok;
2. memiliki ancaman terjadinya atau di dalamnya mengandung konflik yang terjadi mulai dari awal sampai terjadi kesepakatan dalam akhir negosiasi;
3. menggunakan cara-cara pertukaran sesuatu –baik berupa tawar menawar (bargain) maupun tukar menukar (barter);
4. hampir selalu berbentuk tatap-muka –yang menggunakan bahasa lisan, gerak tubuh maupun ekspresi wajah;
5. negosiasi biasanya menyangkut hal-hal di masa depan atau sesuatu yang belum terjadi dan kita inginkan terjadi;
6. ujung dari negosiasi adalah adanya kesepakatan yang diambil oleh kedua belah pihak, meskipun kesepakatan itu misalnya kedua belah pihak sepakat untuk tidak sepakat.
Share:
Read More

Pendampingan Sosial Sebagai Strategi Pemberdayaan

Bagi para pekerja sosial di lapangan, kegiatan pemberdayaan di atas dapat dilakukan melalui pendampingan sosial. Terdapat lima kegiatan penting yang dapat dilakukan dalam melakukan pendampingan sosial:


1.   Motivasi. Keluarga miskin dapat memahami nilai kebersamaan, interaksi sosial dan kekuasaan melalui pemahaman akan haknya sebagai warga negara dan anggota masyarakat. Rumah tangga miskin perlu didorong untuk membentuk kelompok yang merupakan mekanisme kelembagaan penting untuk mengorganisir dan melaksanakan kegiatan pengembangan masyarakat di desa atau kelurahannya. Kelompok ini kemudian dimotivasi untuk terlibat dalam kegiatan peningkatan pendapatan dengan menggunakan sumber-sumber dan kemampuan-kemampuan mereka sendiri.

2.   Peningkatan kesadaran dan pelatihan kemampuan. Peningkatan kesadaran masyarakt dapat dicapai melalui pendidikan dasar, pemasyarakatan imunisasi dan sanitasi. Sedangkan keterampilan-keterampilan vokasional bisa dikembangkan melalui cara-cara partsipatif. Pengetahuan lokal yang biasanya diperoleh melalui pengalaman dapat dikombinasikan dengan pengetahuan dari luar. Pelatihan semacam ini dapat membantu masyarakat miskin untuk menciptakan matapencaharian sendiri atau membantu meningkatkan keahlian mereka untuk mencari pekerjaan di luar wilayahnya.

3.   Manajemen diri. Kelompok harus mampu memilih pemimpin mereka sendiri dan mengatur kegiatan mereka sendiri, seperti melaksanakan pertemuan-pertemuan, melakukan pencatatan dan pelaporan, mengoperasikan tabungan dan kredit, resolusi konflik dan manajemen kepemilikan masyarakat. Pada tahap awal, pendamping dari luar dapat membantu mereka dalam mengembangkan sebuah sistem. Kelompok kemudian dapat diberi wewenang penuh untuk melaksanakan dan mengatur sistem tersebut.

4.   Mobilisasi sumber. Merupakan sebuah metode untuk menghimpun sumber-sumber individual melalui tabungan reguler dan sumbangan sukarela dengan tujuan menciptakan modal sosial. Ide ini didasari pandangan bahwa setiap orang memiliki sumbernya sendiri yang, jika dihimpun, dapat meningkatkan kehidupan sosial ekonomi secara substansial. Pengembangan sistem penghimpunan, pengalokasian dan penggunaan sumber perlu dilakukan secara cermat sehingga semua anggota memiliki kesempatan yang sama. Hal ini dapat menjamin kepemilikan dan pengelolaan secara berkelanjutan.

5.   Pembangunan dan pengembangan jaringan. Pengorganisasian kelompok-kelompok swadaya masyarakat perlu disertai dengan peningkatan kemampuan para anggotanya membangun dan mempertahankan jaringan dengan berbagai sistem sosial di sekitarnya. Jaringan ini sangat penting dalam menyediakan dan mengembangkan berbagai akses terhadap sumber dan kesempatan bagi peningkatan keberdayaan masyarakat miskin.


Dalam kaitannya dengan masyarakat miskin, lima aspek pemberdayaan di atas dapat dilakukan melalui lima strategi pemberdayaan yang dapat disingkat menjadi 5P, yaitu: Pemungkinan, Penguatan, Perlindungan, Penyokongan dan Pemeliharaan (Suharto, 1997:218-219):


1.   Pemungkinan: menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat miskin berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat miskin dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat.

2.   Penguatan: memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat miskin dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuh-kembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat miskin yang menunjang kemandirian mereka.

3.   Perlindungan: melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat) antara yang kuat dan lemah, dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.

4.   Penyokongan: memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat miskin mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat miskin agar tidak terjatuh ke dalam keadaan dan posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan.

5.   Pemeliharaan: memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha.
Share:
Read More

Apa itu pendampingan sosial?

Pemberdayaan masyarakat dapat didefinisikan sebagai tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau memenuhi kebutuhan sosial sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimilikinya. Dalam kenyataannya, seringkali proses ini tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial baik yang bekerja berdasarkan dorongan karitatif maupun perspektif profesional. Para pekerja sosial ini berperan sebagai pendamping sosial.


Masyarakat miskin seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya. Pendamping sosial kemudian hadir sebagai agen perubah yang turut terlibat membantu memecahkan persoalan yang dihadapi mereka. Pendampingan sosial dengan demikian dapat diartikan sebagai interaksi dinamis antara kelompok miskin dan pekerja sosial untuk secara bersama-sama menghadapi beragam tantangan seperti; (a) merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi, (b) memobilisasi sumber daya setempat (c) memecahkan masalah sosial, (d) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan, dan (e) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat.


Pendampingan sosial sangat menentukan kerberhasilan program penanggulangan kemiskinan. Mengacu pada Ife (1995), peran pendamping umumnya mencakup tiga peran utama, yaitu: fasilitator, pendidik, perwakilan masyarakat, dan peran-peran teknis bagi masyarakat miskin yang didampinginya.


1.   Fasilitator. Merupakan peran yang berkaitan dengan pemberian motivasi, kesempatan, dan dukungan bagi masyarakat. Beberapa tugas yang berkaitan dengan peran ini antara lain menjadi model, melakukan mediasi dan negosiasi, memberi dukungan, membangun konsensus bersama, serta melakukan pengorganisasian dan pemanfaatan sumber.

2.   Pendidik. Pendamping berperan aktif sebagai agen yang memberi masukan positif dan direktif berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya serta bertukar gagasan dengan pengetahuan dan pengalaman masyarakat yang didampinginya. Membangkitkan kesadaran masyarakat, menyampaikan informasi, melakukan konfrontasi, menyelenggarakan pelatihan bagi masyarakat adalah beberapa tugas yang berkaitan dengan peran pendidik.

3.   Perwakilan masyarakat. Peran ini dilakukan dalam kaitannya dengan interaksi antara pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat dampingannya. Pekerja sosial dapat bertugas mencari sumber-sumber, melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan masyarakat, dan membangun jaringan kerja.

4.   Peran-peran teknis. Mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis. Pendamping dituntut tidak hanya mampu menjadi ‘manajer perubahan” yang mengorganisasi kelompok, melainkan pula mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar, seperti; melakukan analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin relasi, bernegosiasi, berkomunikasi, memberi konsultasi, dan mencari serta mengatur sumber dana.


DIMENSI DAN INDIKATOR KEMISKINAN


Berdasarkan definisi kemiskinan dan fakir miskin dari BPS dan Depsos (2002), jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa dan 15,6 juta jiwa (43%) diantaranya masuk kategori fakir miskin. Secara keseluruhan, prosentase penduduk miskin dan fakir miskin terhadap total penduduk Indonesia adalah sekira 17,6 persen dan 7,7 persen. Ini berarti bahwa secara rata-rata jika ada 100 orang Indonesia berkumpul, sebanyak 18 orang diantaranya adalah orang miskin, yang terdiri dari 10 orang bukan fakir miskin dan 8 orang fakir miskin (Suharto, 2004:3).


Pengertian Kemiskinan


·     Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos, 2002:3).

·     Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002:4).

·     Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (SMERU dalam Suharto dkk, 2004).

·     Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan (Depsos, 2001).

·     Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup (Friedman dalam Suharto, dkk.,2004:6).


Dimensi Kemiskinan


Kemiskinan merupakan fenomena yang berwayuh wajah. David Cox (2004:1-6) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi:


·     Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan pengkalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi.

·     Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).

·     Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas.

·     Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk.


Menurut SMERU (2001), kemiskinan memiliki berbagai dimensi:


·     Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan).

·     Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).

·     Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).

·     Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.

·     Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.

·     Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat.

·     Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan.

·     Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.

·     Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil)(Suharto, dkk, 2004:7-8).


DIMENSI DAN INDIKATOR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


Salah satu pendekatan yang kini sering digunkan dalam meningkatkan kualitas kehidupan dan mengangkat harkat martabat keluarga miskin adalah pemberdayaan masyarakat. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya, kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan belaka. Melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat dimobilisasi untuk perbaikan hidupnya. Konsep pemberdayaan memberi kerangka acuan mengenai matra kekuasaan (power) dan kemampuan (kapabilitas) yang melingkup aras sosial, ekonomi, budaya, politik dan kelembagaan.


Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Ilmu sosial tradisional menekankan bahwa kekuasaan berkaitan dengan pengaruh dan kontrol. Pengertian ini mengasumsikan bahwa kekuasaan sebagai sesuatu yang tidak berubah atau tidak dapat dirubah. Kekuasaan sesungguhnya tidak terbatas pada pengertian di atas. Kekuasaan tidak vakum dan terisolasi. Kekuasaan senantiasa hadir dalam konteks relasi sosial antar manusia. Kekuasaan tercipta dalam relasi sosial. Karena itu, kekuasaan dan hubungan kekuasaan dapat berubah. Dengan pemahaman kekuasaan seperti ini, pemberdayaan sebagai sebuah proses perubahan kemudian memiliki konsep yang bermakna. Dengan kata lain, kemungkinan terjadinya proses pemberdayaan sangat tergantung pada dua hal: (1) Bahwa kekuasaan dapat berubah. Jika kekuasaan tidak dapat berubah, pemberdayaan tidak mungkin terjadi dengan cara apapun; dan (2) Bahwa kekuasaan dapat diperluas. Konsep ini menekankan pada pengertian kekuasaan yang tidak statis, melainkan dinamis.


Pengertian Pemberdayaan


·     Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995: 56).

·     Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin (1987: xiii).

·     Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984: 3).

·     Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al., 1994:106).

·     Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-baran dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.


Beragam definisi pemberdayaan menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagi tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses.


Indikator Pemberdayaan


Agar para pendamping mengetahui fokus dan tujuan pemberdayaan, maka perlu diketahui berbagai indikator yang dapat menunjukkan seseorang itu berdaya atau tidak. Sehingga ketika pendampingan sosial diberikan, segenap upaya dapat dikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan (keluarga miskin) yang perlu dioptimalkan. Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan (Girvan, 2004):


·     Kebebasan mobilitas: kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.

·     Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.

·     Kemampuan membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri.

·     Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.

·     Kebebasan relatif dari dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja di luar rumah.

·     Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.

·     Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri yang mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah.

·     Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya.


Keberhasilan pemberdayaan keluarga miskin dapat dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan politis jenis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu: ‘kekuasaan di dalam’ (power within), ‘kekuasaan untuk’ (power to), ‘kekuasaan atas’ (power over), dan ‘kekuasaan dengan’ (power with).
Share:
Read More

Bagaimanakah Teknik Pendampingan Masyarakat

Tidak ada satu metode pendampingan yang paling efektif, kecuali metode pendampingan yang sesuai dengan kondisi masyarakat yang didampingi. Metode partisipatif yang selama ini dikatakan yang paling efektif dan baik, belum tentu efektif dan baik bila digunakan untuk mendampingi masyarakat yang berada pada tingkat tidak mau dan tidak tahu. Sebaliknya, metode mengarahkan yang selama ini dinilai tidak efektif dan tidak baik, mungkin akan lebih baik dibanding metode yang lainnya, bila diterapkan pada masyarakat yang tidak mampu dan tidak mau.

Secara sederhana, tingkat perkembangan masyarakat dapat dikelompokan ke dalam 4 tahapan, yaitu: (1) tahap tidak mau melakukan dan tidak mampu melakukan, (2) tahap tidak mau melakukan tetapi mampu melakukan, (3) tahap mau melakukan tetapi tidak mampu melakukan, dan (4) tahap mau dan mampu melakukan. Seorang pendamping yang efektif adalah seorang pendamping yang menggunakan metode pendampingan, sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat yang didampingi. Karena ada empat tahapan perkembangan masyarakat, maka metode pendampinganpun ada empat gaya, yaitu:

1)     Gaya mengarahkan

2)     Gaya partisipatif

3)     Gaya konsultatif

4)     Gaya delegatif


A. MENGARAHKAN

Pada tahap perkembangan masyarakat belum mau dan belum mampu, maka peran pendamping cukup dominant. Seorang pendamping perlu menjelaskan apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukanna, dan kapan selesai. Pendamping juga harus memantau terus perkembangannya. Walaupun demikian, seorang pendamping harus melakukannya dengan cara persuasive.

B. PARTISIPATIF

Kalau masyarakat sudah mampu tetapi belum ada motivasi, maka metode pendampingan yang disarankan adalah dengan gaya partisipatif atau melibatkan. Masyarakat harus dilbatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Masyarakat harus diberi tahu dan diajak diskusi  mengenai mengapa itu dilakukan, dan sebagainya.

C. KONSULTATIF

Kalau masyarakat sudah ada motivasi tetapi belum memiliki kemampuan, maka gaya pendampingan yang disarankan adalah gaya konsultatif. Pada tahapan ini peran pendamping sudah relative kecil. Pendamping hanya membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat dampingannya. Keputusan diambil sendiri oleh masyarakat, dan pendamping hanya memberi pertimbangan.

D. DELEGATIF

Pada tahap masyarakat sudah mampu dan sudah mau, maka peran pendamping sudah amat terbatas. Semua sudah diserahkan kepada masyarakat. Mengenai apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukannya, kapan jadwal waktunya, diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat.

Share:
Read More

Teknik Komunikasi

Kata Komunikasi bukan lagi kata baru bagi kita.  Karena komunikasi sudah merupakan bagian penting dalam setiap gerak hidup kita.  Komunikasi lebih dirasakan lagi pentingnya bagi para organisatoris, tidak peduli bagaimana bentuknya dan apa tujuannya, adalah ditopang, disatukan dan melakukan fungsinya melalui proses komunikasi.  Tanpa komunikasi, tak akan ada interaksi antara perorangan, tak ada kelompok – kelompok, tak ada pemerintah, bahkan tak ada suatu masyarakat seperti yang kita kenal dewasa ini.

Komunikasi antar manusia ternyata merupakan problem utama dari setiap organisasi.  Adanya kesalahan komunikasi dapat merugikan, bahkan kalau dapat dinilai dalam bentuk uang, tidak mustahil mencapai nilai berjuta Rupiah.  Seorang Pembina dalam tugasnya ternyata menggunakan sebagian besar waktunya untuk memotivir, memberi penjelasan berbicara dan mendengarkan orang, ketrampilan utama baginya ialah kemampuan berkomunikasi secara effektif .  “Membaca” orang dan mengetahui bagaimana melaksanakan sesuatu dengan baik melalui manusia – manusia.  Tulisan berikut ini ingin membahas yang perlu diperhatikan dalam melakukan komunikasi.

Komunikasi berasal dari kata Communi = SAMA.

Antar individu, komunikasi berarti  :

“ pesan yang akan disampaikan oleh komunikator (pengirim pesan) haruslah diterima dan dimengerti sama  oleh komunikan (penerima pesan)”.

Bagi organisasi, komunikasi berarti :

“ Saluran untuk melakukan dan menerima pengaruh, mekanisme, perubahan, serta alat untuk mendorong dan mempertinggi motivasi dan merupakan perantara / sarana yang memungkinkan organisasi untuk mencapai tujuan.

Dengan demikian dapatlah disimpulakn, jika kita mengadakan komunikasi berarti ada tujuan yang dapat berupa :

-         Kita menghendaki seseorang berbuat sesuatu, dan atau

-         Kita menghendaki seseorang berfikir atau merasakan sesuatu cara tertentu

Untuk mencapai tujuan itu kita melalui suatu proses selama kita melakukan aktivitas komunikasi.  Proses itu dapat digambarkan demikian  :



  1. Pengirim pesan merasakan suatu kebutuhan untuk melakukan komunikasi.  Kemudian ia menyusun keinginan – keinginan tersebut dalam lambang – lambang atau kata – kata.


  1. Langkah berikut pengirim pesan menyampaikan atau menyalurkan tanda – tanda itu melalui gelombang – gelombang udara yang menjadi perantara atau saluran.

Misalnya  : jika pengirim pesan menulis nota, maka kertas dan pensillah yang menjadi salurannya.



  1. Bagi penerima pesan, ketika ia mendengar tanda – tanda itu, segera memberi arti kepada tanda – tanda itu, menjadi berarti baginya


  1. Akhirnya pengirim pesan dapat mengatakan ia sudah mengkomunikasikan pesannya, jika terjadi reaksi dari penerima pesan, sesuai dengan yang diinginkannya.  Reaksi penerima pesan ini dikenal dengan umpan balik.

Kelancaran proses komunikasi amat dipengaruhi oleh persamaan bidang – bidang pengalaman pengirim dan penerima pesan.  Tetapi kita sadar bahwa persamaan ini tidak terjadi begitu saja, terutama jika kita masuk dalam proses komunikasi dengan orang yang baru saja kita kenal.  Karenanya harus ada usaha – usaha untu menyampaikan pengalaman tadi, baik datangnya dari pengirim maupun penerima pesan.

Usaha – usaha itu mencakup :

Pengenalan Terhadap Diri Sendiri

Pengertian terhadap diri sendiri merupakan dasar utama untuk suatu proses komunikasi yang efektif.  Kita mempunyai keyakinan – keyakinan tertentu tentang diri kita.  Kumpulan dari keyakinan – keyakinan tentang siapa dan apa , kita akan membuat atau membentuk gambaran diri kita.  Gambaran dari ini tersusun dari presepsi – presepsi jasmaniah dan sosial diri kita , yang kita peroleh melalui pengaruh atau interaksi kita dengan orang lain, dan yang sudah tersusun kuat oleh pengalaman – pengalaman kita.  Gambaran diri yang lemah, kecil, tak berarti, menyulitkan untuk berkomunikasi.

Pengenalan Terhadap Orang Lain


Jika akan mengerti gambaran diri orang lain, cobalah menerima dan memakai kerangka referensi pikirannya, dan perhatikanlah sudut pandangan yang lain.

Ini berarti kita tidak hanya menempatkan diri sendiri ditempat orang lain seperti penyesuaian diri yang biasa.  Tetapi jauh lebih dalam lagi, yaitu kita berusaha memahami dan menyelami pikirannya, melihat dunianya, dan merasakan untuk dan tentang orang lain adalah baik dan dikehendaki, tapi bepikir dan merasa bersama dia adalah jauh lebih baik dan produktif.

Memang akan ada resiko yang besar, yaitu kita akan semakin tidak setuju dengan apa yang kita lihat dan dengar melalui proses seperti itu.  Tapi tujuan dari usaha kita untuk keluar dari sarang ego kita dan memasuki ego orang lain, aialh untuk memahami jiwanya, bukan selalu untuk memperoleh perseuaian.

Sekali kita sudah mengembangkan pengertian atau pemahaman tentang :

-         bagaimana orang lain melihat realita,

-         bagaimana orang lain melihat dan menanggapi dirinya,

-         bagaimana dia menilai hubungan timbal balik diri kita dengan dia;

Dengan demikian, kita akan sanggup untuk membentuk komunikasi kita menjadi komunikasi yang betul – betul efektif.  Kita akan terhindari dari perangkap yang sering terjadi yaitu berbicara pada diri sendiri.  Apalagi sebagai seorang manajer, tujuan kita ialah untuk mengadakan komunikasi, bukan untuk menimbulkan atau memberi kesan.  Komunikasi yang efektif bukanlah suatu kontes bersilat lidah atau usaha permainan kata – kata, melalui komunikasi seorang manajer berusaha untuk membangun satu team kerjasama yang akan mencapai tujuan bersama.

Kemauan untuk Mendengarkan

Mendengarkan di sini bukan hanya sekedar ‘to hear’, tetapi lebih kepada ‘to listen’, yang berarti kita tidak hanya menggunakan telinga kita, tetapi mengerahkan seluruh indera yang kita miliki untuk mendengarkan.

Beberapa prinsip yang dapat membantu untuk menjadi pendengar yang baik, adalah :



  1. Pendengar harus mempunyai alas an dan kesediaan untuk mendengarkan.

  2. Pendengar harus sanggup dan bersedia menunda penilaiannya sampai pihak pembicara selesai menyampaikan komunikasinya secara lengkap.

  3. Pendengar harus sanggup dan bersedia mengabaikan hal-hal lain yang akan merebut perhatiannya (suara lain, pemandangan lain, orang lain), dan memberikan perhatian penuh kepada pihak yang sedang berkomunikasi dengannya.

  4. Pendengar harus sanggup untuk tidak memotong pembicaraan, di tengah – tengah pembicaraannya.

  5. Pendengar hendaknya mencari intisari dari pada apa yang hendak disampaikan oleh pembicara.

  6. Pendengar hendaknya siap memberikan tanggapan terhadap pembicaraan yang disampaikan kepadanya.

Kemauan untuk Memberikan Pernyataan Secara Jelas

Pada hakekatnya tujuan komunikasi adalah menyampaikan isi hati dan pikiran kita kepada orang lain, agar ia dapat berbuat sesuatu atau agar ia bersedia berpikir  dan atau merasakan sesuatu.  Karenanya, pernyataan kita haruslah jelas bagi pihak pendengar.  Istilah – istilah yang kita gunakan haruslah sama dimengerti oleh pihak pendengar, bukan serampangan saja, agar tidak dimengerti oleh pendengar.

Kemauan dan Kesanggupan Memberikan Umpan-Balik

Umpan-balik merupakan tanggapan pendengar terhadap pembicara, Umpan-balik yang tepat pertanda keberhasilan suatu proses komunikasi.  Tidak jarang ditemui kesulitan untuk menerima dan memberikan umpan-balik, karena pengaruh-pengaruh seperti; kurang pengalaman, keragu-raguan, karena natura dan nilai sosial yang ada, keengganan karena adanya resiko yang harus diambil, kekhawatiran dalam melontarkan dan menangkap umpan balik, karena tata cara dalam organisasi, merupakan faktor-faktor yang dominan untuk memberikan dan menerim umpan balik.

Bila umpan-balik diberikan dan diterima berarti membuka daerah buta dan rahasia.  Berarti daerah terbuka menjadi lebih luas, tapi tidak berarti bahwa seluruhnya akan terbuka, Karena tak semua hal ada hubungannya dengan kita dan teman kita.

Beberapa pedoman dalam memberi dan menerima umpan-balik :

A. PEMBERI





  1. Memperhatikan kesiapan artinya hanya memberi pada mereka yang siap menerima umpan-balik atau yang secara kongkrit memintanya.

  2. Menggambarkan atau memberi fakta dan bukan memberikan tafsiran.

  3. Hanya memberi fakta yang masih hangat dan baru saja terjadi.

  4. Mengingat waktu yang tepat.

  5. Memberi yang baru bagi si penerima, jangan hal – hal yang sudah diketahui.

  6. Menyangkut hal – hal yang memang dapat diubah.

  7. Jangan ada presensi untuk merubah, apalagi memerintahkan segera ada perubahan.

  8. Jangan terlalu banyak hal.

  9. Siap untuk membantu.

  10. Yang lebih jangan hal yang umum.

B. PENERIMA




  1. Nyatakan secara tegas dalam hal apa umpan-balik yang diperlukan, Cek kembali apa yang saudara dengar.

  2. Berikan tanggapan saudara terhadap umpan-balik yang diberikan.

Kemauan Membuka Diri

Kemauan membuka diri disini berarti kemampuan berbicara secara jujur lengkap dan tentang keadaan dirinya .  Terutama keberanian mengungkapkan emosi yang dirasakan , misalnya marah.

Menerima rasa amarah, hanya merupakan usaha penundaan yang tidak berarti, karena pada saat ia meledak kita tidak dapat lagi mengendalikannya.  Padahal amarah (walaupun dipendam) dapat mewarnai suatu komunikasi, karenanya perlu disalurkan dengan cara yang membangun.  Untuk dapat melampiaskan rasa amarah ke arah yang membangun, usaha berikut dapat membantu, yaitu :



  1. Sadarlah akan emosi diri sendiri.

  2. Akuilah adanya emosi itu, jangan abaikan atau menyangkal.  Miliki emosi itu dan kembangkan rasa tanggung jawab terhadap akibat emosi itu.

  3. Kenalilah emosi sendiri jangan mencari cara untuk menunjukkan kesalahan orang lain dan memenangkan diri sendiri dalam pertengkaran.

  4. Ucapkanlah isi emosi sendiri, supaya seimbang antara pernyataan, pikiran, dan perbuatan.

  5. Integrasikanlah emosi, pikiran dan kemauan, supaya pelampiasannya terarah dan kita belajar menumbuhkan pribadi sendiri.


III.    RINTANGAN – RINTANGAN KOMUNIKASI

Sekalipun kita sudah mengetahui usaha – usaha untuk memperlancar proses komunikasi, belumlah menjamin bahwa komunikasi yang kita lakukan akan berhasil tanpa ada kesalahan atau penyelewengan.  Karena pada waktu berhubungan dengan orang lain ada beberapa rintangan-rintangan yang dapat timbul dan menyebabkan komunikasi tidak berjalan sempurna.  Rintangan itu mungkin berasal dari lingkungan sekitar, emosi diri, pihak – pihak yang terlibat, kesulitan bahasa, dan masih banyak lagi.  Walaupun sulit melakukan komunikasi secara sempurna, tetapi dengan kita ketahui dan sadari rintangan-rintangan yang dapat timbul, akan membantu kita meningkatkan efektivitas komunikasi.

Para ahli komunikasi telah mengemukakan rintangan-rintangan yang sering timbul dalam proses komunikasi, antara lain :

Sifat egois  :

Sifat selalu memikirkan kepentingan diri sendiri, tindakan atau kebijaksanaan yang diambil didasari pertimbangan pribadi, sehingga cenderung kurang menghargai keterangan – keterangan yang dikomunikasikan orang lain. Emosional  :

Emosi seseorang atau kelompok yang terlibat dalam proses komunikasi amat mempengeruhi proses komunikasi.  Orang yang emosional akan mudah tersinggung dan cenderung menilai sesuatu dari segi negatip, yang tentunya tidak menghasilkan komunikasi yang efektif.

Hubungan yang tidak serasi antar pengirim dan penerima pesan :

Akibat dari ini ialah adanya kecurigaan dan selalu menghubungkan segala sesuatu dengan hal – hal yang bersifat negative.

Pengalaman Lampau yang tidak baik  :

Seorang pengirim pesan yang pernah menimbulkan kesan jelek, akan jauh lebih sulit mengkomunikasikan pesan-pesannya.  Misalnya pernah bebohong sewaktu menyampaikan pesannya, pada saat ia akan menyampaikan pesan lagi, sulit bagi pendengarnya untuk percaya, sekalipun apa yang ingin disampaikannya benar.  Pengalaman masa lampau yang jelek akan menghambat komunikasi, tetapi pengalaman lampau yang baik akan lebih memudahkan komunikasi.

Lingkungan Fisik yang kurang menguntungkan  :

Tempat yang pengap, hujan yang deras, udara yang panas, suasana yang gaduh membuat orang sulit untuk konsentrasi sewaktu memberikan dan menerima pesan.

Perbedaan status sosial  :

Harus diakui bahwa perbedaan tingkat pendidikan dan tata budaya, merupakan hambatan yang paling sering ditemui.  Orang-orang yang datang dari tingkat pendidikan yang setarap, keadaan ekonomi dan tata budaya yang sama, akan jauh lebih mudah melakukan komunikasi.  Sedangkan kelompok atau orang-orang yang berbeda tingkat pendidikan, keadaan ekonomi, serta tata-budayanya, lebih sering mengalami jurang komunikasi.

Permusuhan  :

Apabila kita dalam kondisi marah pada seseorang, yang juga berarti kita dalam situasi permusuhan, sebagai pengirim pesan kita cenderung memilih kata – kata yang tajam, dan penerima pesan cenderung menafsirkan pesan tersebut sebagai serangan.  Proses komunikasi otomatis berhenti.

Charisma  :

Karunia yang dimiliki seorang pengirim pesan sehingga ia dapat menyampaikan pesannya dengan cara yang begitu menyakinkan dan menarik, cenderung mengakibatkan penerima pesan terpuakau dan tidak bertanya lebih lanjut, walaupun pada akhirnya ia sadar bahwa tidak ada yang dimengertinya dari pesan yang diberikan padanya.

Stereotip   :

Merupakan gambaran tertentu mengenai pribadi seseorang menurut golongannya, yang bersifat negatip.  Menghadapi seseorang yang disteretotipkan ke dalam suku bangsa tertentu yang disamaratakan sebagai penipu, jorok, akan merintangi komunikasi.

Misalnya   :  Seorang pemuda yang berambut gondrong, sulit berkomunikasi dengan polisi yang terlanjur menstereotipkannya dengan gerombolan pemuda nakal.


Share:
Read More