What is Creative accounting? kata ‘creative’ berarti
kebolehan seseorang menciptakan ide baru yang efektif, dan kata ‘accounting’
itu artinya pembukuan tentang financial events yang senantiasa berusaha untuk
setia kepada kondisi keuangan yang sebenarnya (faithful representation of
financial events). Jadi „creative accounting‟ sebenarnya adalah euphemism dari
sistem pelaporan keuangan yang tidak setia pada kondisi keuangan yang
sebenarnya yang dibuat dengan sengaja untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Dalam pandangan orang awam „creative accounting‟ dianggap
tidak etis, bahkan merupakan bentuk dari manipulasi informasi sehingga
menyesatkan perhatiannya. Tetapi dalam pandangan teori akuntansi positif,
sepanjang „creative accounting‟ tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
akuntansi yang berterima umum, tidak ada masalah yang harus dipersoalkan.
Asalkan tidak ada asimetri informasi antara pelaku „creative accounting‟ dan pengguna
informasi keuangan.
Creative accounting‟ menurut Amat, Blake dan Dowd (1999)
adalah sebuah proses dimana beberapa pihak menggunakan kemampuan pemahaman
pengetahuan akuntansi (termasuk didalamnya standar, teknik dsb.) dan menggunakannya
untuk memanipulasi pelaporan keuangan. Creative accounting‟ dapat dikatakan sebagai sebuah praktek
akuntansi yang buruk, karena cenderung mereduksi reliabilitas informasi
keuangan. Karena manajer memiliki asimetri informasi, yang bagi pihak di luar
perusahaan sangat sulit diketahui, maka memaksimalkan keuntungan dengan
‘creative accounting’ akan selalu ada. Masalah sebenarnya adalah tidak
diberikannya pengungkapan yang transparan secara menyeluruh tentang proses
pertimbangan-pertimbangan dalam penentuan kebijakan akuntansi (accounting
policy). Akibatnya, laporan keuangan dianggap masih memiliki keterbatasan mendasar
sehingga belum memadai untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan
Dalam pelaporan keuangan perilaku yang tidak semestinya
(disfunctional behaviour) para manajer terjadi akibat adanya asimetri informasi
dalam penyajian laporan keuangan tidak terlepas dari pertimbangan konsekuensi
ekonomi. Perhatian kita mungkin diarahkan bagaimana mendorong keterbukaan
informasi secara lebih luas sehingga inside information bukanlah sesuatu yang
„tabu‟ untuk diumumkan kepada khalayak. Karena dalam kerangka keterbukaan yang
menyeluruh sebenarnya ‘creative accounting’, tidak akan berpengaruh kepada
semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi. Karena semua pihak akan
mempunyai informasi yang sama dan tidak ada asimetri informasi lagi.
Merujuk
agency theory, laporan keuangan dipersiapkan oleh manajemen sebagai
pertanggungjawaban mereka kepada principal. Karena manajemen terlibat secara
langsung dalam kegiatan usaha perusahaan maka manajemen memiliki asimetri
informasi dengan melaporkan segala sesuatu yang memaksimumkan utilitasnya.
‘Creative accounting’ sangat mungkin dilakukan oleh manajemen, karena manajemen
dengan asimetri informasi yang dimilikinya akan leluasa untuk memilih
alternatif metode akuntansi. Manajemen akan memilih metode akuntansi tertentu
jika terdapat insentif dan motivasi untuk melakukannya. Cara yang paling sering
digunakan adalah dengan merekayasa laba (earning management), karena laba
seringkali menjadi fokus perhatian para pihak eksternal yang berkepentingan.
Menurut Watt dan Zimmerman
(1986), manajer dalam bereaksi terhadap pelaporan keuangan digolongkan menjadi
tiga buah hipotesis, yaitu bonus-plan hyphotesis, debtcovenant hyphotesis dan
political cost hyphotesis.
Bonus plan hyphotesis Healy (1985) dalam Scott
(1997) menyatakan bahwa manajer seringkali berperilaku seiring dengan bonus
yang akan diberikan. Jika bonus yang diberikan tergantung pada laba yang akan
dihasilkan, maka manajer akan melakukan ‘creative accounting’ dengan menaikkan
laba atau mengurangi laba yang akan dilaporkan. Pemilik biasanya menetapkan
batas bawah laba yang paling minim agar mendapatkan bonus. Dari pola bonus ini
manajer akan menaikkan labanya hingga ke atas batas minimal tadi. Tetapi jika
pemilik perusahaan membuat batas atas untuk mendapatkan bonus, maka manajer
akan berusaha mengurangkan laba sampai batas atas tadi dan mentransfer laba
saat ini ke periode yang akan datang. Hal ini dia lakukan karena jika laba
melewati batas atas tersebut manajer sudah tidak mendapatkan insentif tambahan
atas upayanya memperoleh laba di atas batas yang ditetapkan oleh pemilik
perusahaan.
Debt-covenant hyphotesis.
Penelitian dalam bidang teori akuntansi positif juga menjelaskan praktek
akuntansi mengenai bagaimana manajer menyikapi perjanjian hutang. Manajer dalam
menyikapi adanya pelanggaran atas perjanjian hutang yang telah jatuh tempo,
akan berupaya menghindarinya dengan memilih kebijakan-kebijakan akuntansi yang
menguntungkan dirinya. Ada dua kejadian dalam pemilihan kebijakan akuntansi,
yaitu pada saat diadakannya perjanjian hutang dan pada saat jatuh temponya
hutang. Kontrak hutang jangka panjang (debt covenant) merupakan perjanjian
untuk melindungi pemberi pinjaman dari tindakan-tindakan manajer terhadap
kepentingan kreditur, seperti pembagian deviden yang berlebihan, atau
membiarkan ekuitas berada di bawah tingkat yang telah ditentukan. Semakin
cenderung suatu perusahaan untuk melanggar perjanjian hutang maka manajer akan
cenderung memilih prosedur akuntansi yang dapat mentransfer laba periode
mendatang ke periode berjalan karena hal tersebut dapat mengurangi resiko
„default‟. Perilaku „memindahkan‟ laba tersebut dilakukan oleh perusahaan
bermasalah yang terancam kebangkrutan dan ini merupakan strategi untuk bertahan
hidup.
Political-cost hyphotesis. Dalam
pandangan teori agensi (agency theory), perusahaan besar akan mengungkapkan
informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil. Perusahaan besar melakukannya
sebagai upaya untuk mengurangi biaya keagenan tersebut. Perusahaan besar
menghadapi biaya politis yang lebih besar karena merupakan entitas yang banyak
disorot oleh publik secara umum. Para karyawan berkepentingan melihat kenaikan
laba sebagai acuan untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui kenaikan gaji.
Pemerintah melihat kenaikan laba perusahaan sebagai obyek pajak yang akan
ditagihkan. Sehingga pilihan yang dihadapi oleh organisasi adalah dengan cara
bagaimana lewat proses akuntansi agar laba dapat ditampilkan lebih rendah. Hal
ini yang seringkali disebut dengan political cost hyphoyesis (Watts dan Zimmerman:
1986).
Creative accounting bisa saja lolos dari prinsip-prinsip accounting standards yang
berlaku, karena cara-cara creative accounting biasanya memang tidak atau belum
diakomodasi oleh standar akuntansi yang berlaku, atau memang sengaja mencari celah-celah
di dalam standar akuntansi tersebut. Akan tetapi, ini bukan berarti creative accounting bisa
lolos apabila diuji dengan kacamata kebenaran, dalam arti merefleksikan kondisi finansial
yang sebenarnya.
No comments:
Post a Comment