Tips Belajar Akuntansi

Upaya Menjadi Pribadi Profesional


Kita tentunya tidak tahu pasti semenjak kapan istilah keteladanan menjadi wajib untuk ditampilkan oleh guru. Tetapi kita semua sepakat bahwa keteladanan seorang guru adalah kata kunci keberhasilan penanaman karakter kepada siswa. Keteladanan yang dimaksud dalam hal ini, sesungguhnya adalah sesuatu yang muncul bersama proses pembelajaran, hubungan dan interaksi selama proses pendidikan sehingga dikemudian hari atau masa depan menjadi contoh yang selalu di tiru dan di gugu peserta didik. Oleh sebab itu tentunya, guru teladan tidak ada hubungannya dengan sosok guru yang senantiasa menjaga wibawa, menjaga ‘image’ dengan selalu menampilkan dirinya ‘ferfect’ dan ‘penuh aturan’ dan kaku di hadapan peserta didik.

Dalam sebuah proses belajar, disadari atau tidak ‘perilaku’ seorang guru akan menjadi komunikasi (penyampaian pesan) paling efektif dan pengaruhnya sangat besar (90%) pada peserta didik. Perilaku inilah yang akan menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan sosial peserta didik. Secara psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut adalah pengaruh bawah sadar peserta didik, yang akan muncul kembali saat ia melakukan aktifitas dalam ‘bersikap’, ‘bertindak’ atau ‘menilai sesuatu’ pada dirinya maupun orang lain. Jika merefleksikan pada pemikiran Ki Hajar Dewantara maka seorang guru yang ingin diteladani haruslah melepaskan ‘trompah’ dari jiwa, sikap, dan perilaku mengajarnya. Guru tidak berangkat dari ‘kepahlawanan’ untuk kemudian ‘mendidik’ tetapi dari mendidiklah kemudian dia layak menjadi ‘pahlawan’ pada hati setiap manusia lain. Bagaimana agar ketadanan seorang guru berbuah hal yang baik pada jiwa, sikap dan perilaku peserta didiknya dimasa akan datang, maka seorang guru haruslah ‘profesional’ dalam pengajaran dan hubungan social. Bukan professional ‘to have’ tetapi professional ‘to be’. Bukan professional disebabkan kebendaan (materi) tetapi professional bersumber dari ‘penguasaan diri’, ‘pengabdian’ dan ‘kehormatan’ diri dan bangsanya. Sehingga dalam prosesnya ‘mengajar’ akan menjadi cara hidup seorang guru untuk mencapai kemanfaatan sebanyak-banyaknya melalui ‘pengabdiannya’ dan proses menebarkan ‘kehormatan’ tersebut pada hati, kepala dan pancaindera peserta didiknya.

Proses memindahkan segala keteladanan diri, pengetahuan diri dan perilaku professional seorang guru kepada peserta didik dibutuhkan teknik yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut ‘among’ mendidik dengan sikap asih, asah dan asuh. Sehingga dibutuhkan guru yang tidak hanya mampu ‘mengajar’ tetapi juga mampu ‘mendidik’. Hal ini didasarkan karena output pendidikan yang dihasilkan haruslah peserta didik yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Oleh sebab itu dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah metode yang secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand) atau yang dikenal dengan sistem among tadi.

Terlebih dewasa ini lembaga pendidikan dan guru juga dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang pesat. Perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek nilai moral yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Beberapa contoh penyimpangan-penyimpangan perilaku amoral saat ini diantaranya maraknya perkelahian antar pelajar, perampokan, pembunuhan yang disertai mutilasi, korupsi, dan isu-isu moralitas yang terjadi di kalangan remaja, seperti penggunaan narkotika, perkosaan, pornografi sudah sangat merugikan dan akan berujung pada keterpurukan suatu bangsa.

Kesahajaan Dalam Keteladanan
Sebagaimana kita ketahui bersama digalakkannya pendidikan karakter sendiri muncul berawal dari keprihatinan para orangtua menyaksikan kenyataaan diatas, yang dianggap menjadi faktor deviasi negatif dari karakter anaknya.  Beberapa karakter dasar yang dianggap kurang baik itu antara lain tanggungjawab (responsibility) kedisiplinan (diciplinary), peduli (care), hormat (respect), jujur (honest),  cinta tanah air (patriotism). Kurangnya kepedulian, kurangnya rasa hormat dan etika sopan santun terhadap para guru dan karyawan, tidak ada tegur sapa. Semakin banyaknya siswa melakukan tindakan tidak jujur seperti penyontekan ketika ujian, hingga kerap ditemukannya siswa membuat tugas hanya meniru hingga sekedar “copy paste” dari tugas temannya.

Oleh karenanya dalam tataran ideal pembelajaran karakter harus dilakukan sejak di sekolah taman kanak-kanak, hingga pendidikan dasar dan menengah. Pembelajaran tersebut harus merupakan pendidikan kecakapan hidup mendasar (general lifeskills education)   yang menjadi materi dasar utama di pendidikan dasar, yaitu di Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Semakin ke jenjang lebih tinggi, katakanlah di pendidikan menengah, misalnya Sekolah Menengah Atas, porsinya semakin berkurang. Sehingga pada saat di perguruan tinggi mental dan karakter anak itu dengan sendirinya telah terbentuk. Jika dibandingkan dengan kenyataan yang ada, kondisi ini membuktikan bahwa dalam tolok ukur ideal tatanan pendidikan karakter kita disekolah belum mampu berlaku ideal.

Namun tentunya, pendidikan karakter yang secara konsepsi merupakan gagasan Lawrence Kohlberg, tidak boleh gagal untuk menjawab pertanyaan tentang nilai-nilai apa yang harus diajarkan dalam pendidikan karakter, sebagaimana pernah terjadi di Amerika Serikat. Sebab disaat harus dilaksanakan disekolah, disaat yang sama pula guru dan sekolah harus bisa menjawab pertanyaan dasar tentang persoalan nilai tersebut. Inilah mengapa keteladanan guru menjadi penting, sebab kemampuan guru untuk menjawab pertanyaan dasar diatas berangkat dari implementasi nilai dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Sehingga sebagai implementasi sikap, pada gilirannya keteladanan yang harus diajarkan oleh guru adalah keteladanan yang tidak bersifat statis tetapi sebuah proses kritis sikap pribadi terhadap dinamika kontekstual yang ada. Guru tidak menampilkan keteladanan sikap sebagai hal yang kaku dan mutlak, tetapi keteladanan yang dapat membangun sikap kritis anak didiknya. Keteladanan bukan menampilkan apa yang seharusnya ada meski belum dilakukan oleh guru, tetapi menampilkan apa adanya sesuatu yang telah dilakukan oleh guru itu sendiri. Dengan demikian, keteladanan yang dibangun oleh guru akan dapat difahami secara mudah dan sadar.

“still trying to keep my eyes on the star and keep my feet on the ground”
Theodore de Roosevelt

Share:
Read More

Militer dan Pendidikan Karakter


Pagi itu ada diskusi yang berkesan antara saya dengan seorang teman yang kebetulan seorang Jendral TNI AD berbintang satu yang sudah hampir tutup usia. Diskusi kami tidak terlepas pada tema tentang kekaguman saya yang demikian besar terhadap militer, khususnya dalam pola pendidikan karakter yang kini sedang gencar dikampanyekan. Ingat sekali waktu saya bertanya, “Bagi militer, sebenarnya apa mendasari pendidikan baris berbaris dengan tentara, bukannya tentara itu tugasnya berperang ?” seketika beliau tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan saya. “Sepintas memang tidak ada, tetapi dalam militer baris berbaris adalah elemen paling dasar yang harus diberikan kepada prajurit baru. Tujuan kami dari latihan baris-berbaris ini tidak lain adalah untuk menanamkan nilai melalui gerak fisik dan konsentrasi diri. Setiap prajurit diajarkan untuk cermat bertindak sesuai dengan aba-aba, perintah dan pelaksanaan gerak yang harus seragam. Disinilah arti 115 hari sebagai pembentukan sikap dan penanaman nilai pada diri setiap prajurit, meskipun tentunya ditunjang oleh materi pendidikan lainnya. Disiplin adalah nafasku, kesetiaan adalah kebanggaanku, kehormatan adalah segala-galanya. Anda akan sering mendengar slogan tersebut di atas, apabila Anda sering mengikuti pelatihan baris berbaris.”

“Lalu dari manakah aturan tentang baris berbaris itu diatur?” lanjut saya bertanya. Beliau pun menambahkan, “Peraturan baris berbaris diseluruh Indonesia hanya mengacu pada Peraturan Baris Berbaris Militer yang terdapat dalam Buku Peraturan tentang Baris Berbaris Angkatan Bersenjata. Buku ini disahkan oleh Surat Keputusan Pangab dan peraturan yang terakhir adalah Skep Pangab nomor : Skep/011/X/1985 tanggal 2 Oktober 1985, tetapi tahun 1992 ada perubahan pada Skep tersebut pada tempo langkah biasa dan langkah tegap dari 96 langkah tiap menit menjadi 120 langkah tiap menit. Kalau Anda ingin mengenal lebih jauh, sebenarnya berbaris pertama kali dikenal pada jaman Kekaisaran Romawi pada saat Kaisarnya Julius Caesar, dengan maksud agar pasukan yang berada dibawah kekuasaannya mempunyai rasa tanggungjawab, disiplin yang tinggi dengan melihat hasil lahir, yaitu kerapihan, kekompakan, ketertiban dan kesigapan. Bentuk disiplin yang dilakukan oleh Julius Caesar ini kemudian terbukti efektif sebagai taktik manajemen manusia dan berhasil membentuk tentara yang kuat diera kekuasaannya”.

“Dalam kaitan propaganda politik, baris berbaris merupakan salah satu cara untuk membangun psikologis bagi tentara dan warga negara. Hal ini dibuktikan oleh parade pasukan NAZI Jerman di tahun 1930 yang benar-benar mengagumkan, cepat dan kuat. Mereka jelas sekali menggunakan parade tersebut sebagai alat manipulasi psikologis, sehingga mampu membuat masyarakat merasa kuat dan bangga, membuat mereka bahagia berada dibelakang para pasukan yang sangat berdedikasi dan menginspirasi. Contoh lain berasal dari Korea Utara Tahun 2002/2003 disaat menghadapi politik agresif Amerika Serikat terkait pengembangan senjata nuklir. Korea Utara menempatkan sejumlah besar parade militer, yang terkadang beberapa regu yang terdiri dari anak-anak dengan memainkan instrument dan menampilkan Rigid Dance (tarian dalam formasi baris berbaris). Hingga tindakan ini menarik perhatian masyarakat melalui liputan berita yang disiarkan, hingga dari setiap liputan tersebut berkomentar betapa modern militer dan tentara  Korea Utara. Tentunya ini adalah strategi untuk membangun psikologis tentang betapa terlatihnya dan siapnya tentara Korea Utara terhadap ganguan apa saja yang mungkin akan dialami oleh negaranya”.

Demikian petikan diskusi pagi yang singkat namun benar-benar berkesan dan sarat makna yang dalam bagi saya, tanpa kita sadari ternyata baris-berbaris adalah manifestasi peninggalan budaya yang demikian mengakar baik secara filosofis maupun pragmatis. Di sekolah pelatihan bagi penanaman pendidikan karakter yang diwakili salah seorang guru beberapa bulan yang lalu selama 30 hari, ternyata dilaksanakan markas komando Kopassus. Kopassus adalah sebutan untuk Komando Pasukan Khusus sebagai bagian dari Bala Pertahanan Pusat yang dimiliki oleh TNI Angkatan Darat yang memiliki kemampuan khusus seperti bergerak cepat di setiap medan, menembak dengan tepat, pengintaian, dan anti teror. Dalam perjalanan sejarahnya, Kopassus berhasil mengukuhkan keberadaannya sebagai pasukan khusus yang mampu menangani tugas-tugas yang berat. Mencermati hal ini saya pun menjadi bertanya-tanya apa keterkaitan pendidikan karakter dan militer, namun tentunya saya tidak anti militer tetapi hanya anti pada bentuk militeristik yang kerapkali arogan dan represif.

Permasalahan dasar pendidikan karakter
Permasalahan digalakkannya pendidikan karakter muncul berawal dari keprihatinan para orangtua  yang menyaksikan kenyataaan semakin banyaknya deviasi yang berkaitan dengan karakter sebagian kecil anaknya yang kurang baik.  Beberapa karakter dasar yang dianggap kurang baik itu antara lain tanggungjawab (responsibility) kedisiplinan (diciplinary), peduli (care), hormat (respect), jujur (honest),  cinta tanah air (patriotism). Kurangnya kepedulian, kurangnya rasa hormat dan etika sopan santun terhadap para guru dan karyawan, tidak ada tegur sapa. Semakin banyaknya mahasiswa melakukan tindakan tidak jujur seperti penyontekan ketika ujian, hingga kerap ditemukannya siswa membuat tugas hanya meniru hingga sekedar “copy paste dari tugas temannya.

Menyikapi hal ini dalam implementasi pendidikan karakter beberapa kalangan didunia pendidikan sempat berwacana perlu pemberlakuan wajib militer. Hal ini mengacu pada apa yang telah dilakukan sebagian negara-negara besar, contohnya Amerika Serikat dan China, yang juga memberlakukan wajib militer. Amerika Serikat adalah negara yang menganut politik supermasi sipil (warga Negara sipil yang boleh ikut berpolitik praktis, militer tidak), tapi sejak lama sudah memberlakukan UU Wajib Militer dinegaranya. Para pemimpin bangsa Amerika, hampir seluruhnya adalah veteran perang dunia II atau perang Vietnam yang sangat berpengalaman dalam manajemen militer  yang kemudian ditransformasikan kedalam manajemen sipil di Amerika Serikat. Sejak lulus sekolah menengah, para pemuda masuk dalam pusat pelatihan militer. Para pemuda digembleng menegakkan disiplin selama berbulan-bulan. Tentu saja hasilnya rata-rata pemuda negeri-negeri tersebut memiliki karakter yang baik, yaitu memiliki sikap tanggungjawab, disiplin, mandiri, peduli, maupun patriotik.

Dalam tataran ideal, seharusnya pembelajaran karakter yang paling baik adalah sejak di sekolah taman kanak-kanak, hingga pendidikan dasar dan menengah. Pembelajaran tersebut sebenarnya merupakan pendidikan kecakapan hidup mendasar (general lifeskills education)   yang menjadi materi dasar utama di pendidikan dasar, yaitu di Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Semakin ke jenjang lebih tinggi, katakanlah di pendidikan menengah, misalnya Sekolah Menengah Atas, porsinya semakin berkurang. Sehingga pada saat di perguruan tinggi mental dan karakter anak itu dengan sendirinya telah terbentuk. Hal ini membuktikan bahwa dalam tolok ukur ideal tatanan pendidikan karakter kita disekolah belum mampu berlaku ideal.
Dalam sejarah perkembangannya sebenarnya pendidikan karakter adalah gagasan dipopulerkan Lawrence Kohlberg. Sosok Lawrence Kohlberg sendiri adalah seorang profesor Psikologi Pendidikan dan Sosial di Harvard University. Ia dikenal sebagai teoritikus moral dan karakter yang berpengaruh pada abad 20. Salah satunya adalah Teori Tahapan Perkembangan Moral yang menjadi cikal bakal format Pendidikan Karakter. Di Amerika Serikat Pendidikan karakter popular sebagai upaya Presiden Bill Clinton untuk menekan angka kehamilan remaja, pemakaian narkotika, kekerasan di sekolah, dan kriminalitas jalanan yang penanganannya bagai buntu ditengah jalan. Meskipun pasca Bill Clinton meminta para guru (pada tanggal 23 Januari 1997) untuk memasukkan pendidikan karakter sebagai kurikulum pengajaran, kehidupan remaja Amerika relatif tidak banyak mengalami kemajuan. Kegagalan pendidikan karakter yang dicanangkan oleh Presiden Bill Clinton ini sebenarnya sudah diperkirakan oleh Edward Wyne and Kevin Ryan. Dua tokoh pendidikan ternama di Amerika menilai bahwa Pendidikan Karakter memang rentan kritik. Sebab model pendidikan ini gagal untuk menjawab pertanyaan, “Nilai-nilai apa yang harus diajarkan dalam pendidikan karakter?” tanya Wynne and Ryan. Mencermati hal ini sejatinya, pendidikan Karakter menyimpan ruang problem yang cukup lebar saat harus dilaksanakan disekolah disaat sekolah tidak bisa menjawab pertanyaan dasar tentang persoalan nilai tersebut.

Arti Penting Pendidikan Karakter dan Kebangsaan
Terkait dengan permasalahan nilai yang ditanamkan tentunya beberapa pihak memiliki solusinya sendiri, namun hal yang jamak kita temui adalah keterlibatan militer dalam proses pembentukan karakter siswa. Atas dasar untuk membentuk anak didik agar memiliki karakter yang bagus, SMKN 5 Kota Malang membuat terobosan baru dalam Masa Orientasi Sekolah (MOS). Dengan membawa langsung anak didik yang baru diterima, menjalani pelatihan karakter di Dodikjur Kodam V Brawijaya, Kota Malang, Senin sampai dengan Rabu atau dari tanggal 11 sampai dengan 13 Juli 2011. Dalam persepsi kelembagaan SMKN 5 Kota Malang tentunya memiliki perpsepsi bahwa jika dibandingkan dengan sekolah tentunya militer sebagai lembaga harus diakui telah mampu membangun dan menjalankan pendidikan karakter yang professional yang sudah dimiliki militer sejak lama. Memandang persepsi ini tentu hal yang membedakan keduanya menurut saya adalah pola disiplin yang tinggi yang telah membudaya dilingkungan militer. Oleh sebab itu meski tanpa harus melibatkan militer secara institusi untuk mendidik karakter siswa, sebenarnya sekolah mampu untuk itu asalkan dapat menanamkan pola disiplin tingkat tinggi kepada siswa. Ini dilakukan sebagai salah satu jalan untuk bisa menciptakan generasi unggul yang salah satu kuncinya adalah dengan memiliki disiplin tinggi. Sesuatu yang menurut saya mulai jarang dan sulit diterapkan disekolah-sekolah hari ini, kunci yang bermuara pada keteladanan guru sebagai kontekstual idol bagi siswanya.

Namun keberdayaan sekolah dalam menumbuhkan kedisiplinan yang tinggi tentu tidak serta kemudian meniadakan peran militer dalam pembentukan karakter siswa. Pilihan untuk melibatkan militer dalam pembentukan karakter haruslah dilakukan secara proporsional, dengan tanpa melupakan peran sekolah sebagai lembaga yang mencetak lulusan terdidik dan bermoral. Baik sekolah maupun militer memiliki peran beserta keahlian dibidangnya masing-masing yang bukan berarti menggantikan tugas dan peran masing-masing. Dalam kaitan ini, peran militer harus ditetapkan pada rangkaian pembentukan “character nation”, yang secara nomenklatur merupakan bagian tidak terpisahkan dari institusi militer khususnya dalam konteks bela negara.

Diakui atau tidak nilai-nilai patriotism dan nasionalisme yang notabene adalah nilai-nilai kebangsaan, kian hari semakin luntur dari pribadi generasi muda kita. Oleh karena itu dalam rangka mengaktifkan kembali pola penanaman nilai-nilai kebangsaan tersebut, peran militer menjadi penting khususnya dalam membentuk sinergitas sebagai salah satu komponen bangsa. Dan sekolah bergerak dalam pola pendidikan dan pembelajaran perilaku yang baik dari para guru ditopang oleh implementasi aturan tata tertib siswa yang konsisten. Peran sekolah dan militer dalam hal ini, harus dilihat sebagai dua ahli yang berbeda dalam bidang keahliannya masing-masing. Sinergitas dan pemahaman fungsi dan peran masing-masing pihak menjadi jawaban terhadap bentuk pendidikan karakter yang akan ditampilkan. Hingga pada akhirnya pendidikan karakter akan melahirkan calon pemimpin bangsa yang bermoral, professional, berkualitas dan mampu menghadapi tantangan masa depan.

Untuk mewujudkan itu semua maka bukan berarti sekolah harus memiliterkan dirinya, atau dengan memiliterkan seragam sekolahnya. Sekolah hanya perlu untuk menerapkan beberapa hal yang dalam militer menjadi hal yang pokok atau dasar. Oleh karenanya kembali pada konteks dialog yang ada diawal tulisan ini. Maka hal sederhana yang bisa dilakukan sekolah untuk memulai pendidikan karakter adalah dengan mulai mengenalkan kembali prinsip-prinsip baris berbaris sebagai elemen dasar sikap tanggungjawab, disiplin, mandiri, peduli, maupun patriotik. Seperti yang pernah disampaikan seorang tokoh besar dunia bahwa keberhasilan selalu dimulai dari hal-hal sederhana yang dilakukan secara terus menerus dan konsisten.




Share:
Read More

Pelajaran Cinta Yang Pertama

orang tua mencintai anaknya dengan caranya,
seorang anak menerima cinta orang tua melalui pilihannya
(Mohammad Yusuf)

Seandainya mungkin dan ada pelajaran cinta di sekolah tentunya, semua anak akan bersemangat. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah, siapa yang akan mengajarkan pelajaran ini. Apakah guru bimbingan konseling? tentu sulit menjawab pertanyaan ini. Namun tentunya istilah cinta ditingkat anak sekolah relatif erat dengan apa yang mereka fahami sebagai “pacaran”. Pacaran sendiri berarti hubungan antara pria dan wanita yang diwarnai keintiman dimana satu sama lain terlibat dalam perasaan cinta dan saling mengakui pasangannya sebagai pacar. Melalui berpacaran seseorang akan mempelajari mengenai perasaan emosional tentang kehangatan, kedekatan dan berbagi dalam hubungan dengan orang lain. Salah satu tugas perkembangan dewasa muda adalah berkisar pada pembinaan hubungan intim dengan orang lain. Persoalan pacaran sering menjadi rahasia dan hanya boleh diketahui oleh pasangan tersebut, tidak peduli orang tua apalagi seorang guru. Hingga inilah yang, pada akhirnya menjadikan pacaran hanya menjadi konsumsi personal yang bersifat eksklusif (terbatas).

Tentunya dalam menyikapi pacaran atau yang ingin saya sebut sebagai pengenalan “cinta”, setiap orang tua memiliki sikapnya masing-masing. Tetapi pada umumnya setiap orang tua menyayangkan anaknya untuk berpacaran diusia dini. " Masih kecil jangan pacaran...!!", mungkin itu perkataan orang tua kita kepada anaknya. Meskipun memiliki banyak fungsi, pacaran pada rentang usia remaja dan dewasa memiliki fungsi diantaranya untuk rekreasi, memperoleh persahabatan tanpa menikah, memperoleh status, sosialisasi, eksperimentasi seksual, serta memperoleh keintiman. Diantara banyak fungsi tersebut, pacaran menurut Spanier (dalam Duvall & Miller, 1985) lebih erat kaitannya dengan perilaku seksual. Walaupun sempat merasa kurang yakin dengan penjelasan tersebut, fakta yang saya temui ternyata cukup mencengangkan. Artikel yang dimuat Kompas 28 Januari 2005 dengan judul ”40 % kawula muda ngeseks di rumah” mengungkap bahwa 474 remaja dengan usia 15-24 tahun yang menjadi partisipan penelitian 44 % diantaranya mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum berusia 18 tahun. Mereka yang melakukan hubungan seksual 85 % diantaranya melakukan dengan pacarnya, dan sebanyak 36 % menyatakan bahwa mereka mengenal pasangannya kurang dari enam bulan. Adapun penelitian ini dilakukan di wilayah Jakarta dan sekitar, Bandung, Surabaya, dan Medan.

Pada umumnya, untuk mencapai sebuah tahap perilaku tertentu harus terlebih dahulu melakukan tahap sebelumnya. Sebagai contoh, untuk mencapai perilaku berciuman pipi, maka diasumsikan sebelumnya telah melakukan berpegangan tangan, berangkulan, dan berpelukan. Dalam kesehariannya, mungkin bisa dijabarkan secara sederhana bahwa dalam berpacaran biasanya individu ‘baru berani’ berpegangan tangan setelah sekian waktu. Untuk kemudian, ‘baru berani’ rangkulan atau pelukan setelah sekian lama pula. Begitu pula perilaku seksual berikutnya, ‘baru berani’ setelah waktu tertentu. Sehingga seseorang yang pernah berpacaran sebanyak 10 kali memiliki kecendrungan yang lebih tinggi untuk melakukan perilaku seksual lebih banyak dibandingkan orang lain yang hanya 5 kali berpacaran.

Di Indonesia sendiri, penelitian serupa pernah dilakukan Ariyanto (2008) dengan sampel mahasiswi salah satu Universitas ternama di Indonesia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa diantara  138 partisipan, perilaku seksual yang paling banyak dilakukan adalah berciuman bibir dengan persentase sebesar 57 persen. Adapun waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk bisa mencapai perilaku berciuman tersebut adalah 4, 4 bulan. Tingginya persentase berciuman, menurut Ariyanto (2008) terjadi karena masih adanya norma yang mengikat para individu untuk menjaga hubungan pacaran dalam batas yang wajar. Namun pada kenyataannya, seringkali terjadi bahwa pacaran yang dilakukan remaja dapat menjurus kepada hal-hal yang negatif, misalnya pacaran diiringi dengan perilaku seksual pranikah, kekerasan dalam berpacaran, bahkan tidak jarang terjadi kasus-kasus pembunuhan, perkosaan hingga maraknya kasus-kasus hubungan seksual yang direkam melalui handphone.

Menanggapi fenomena pacaran
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan topan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Ciri perkembangan psikologis remaja adalah adanya emosi yang meledak-ledak, sulit dikendalikan, cepat depresi (sedih, putus asa) dan kemudian melawan dan memberontak. Emosi tidak terkendali ini disebabkan oleh konflik peran yang senang dialami remaja. Oleh karena itu, perkembangan psikologis ini ditekankan pada keadaan emosi remaja. Menurut Mappiare (dalam Hurlock, 1990) remaja mulai bersikap kritis dan tidak mau begitu saja menerima pendapat dan perintah orang lain, remaja menanyakan alasan mengapa sesuatu perintah dianjurkan atau dilarang, remaja tidak mudah diyakinkan tanpa jalan pemikiran yang logis. Dengan perkembangan psikologis pada remaja, terjadi kekuatan mental, peningkatan kemampuan daya fikir, kemampuan mengingat dan memahami, serta terjadi peningkatan keberanian dalam mengemukakan pendapat.

Masa pacaran merupakan masa yang mengasyikkan bagi seseorang yang pernah atau sedang mengalami. Sampai-sampai pepatah bilang: "dunia seakan-akan milik berdua". Banyak sekali perbedaan yang terjadi bagi mereka yang berpacaran. Perbedaan yang ada di antara mereka yang berpacaran antara lain adalah tidak sependapat mengenai gagasan-gagasan yang muncul, misalnya: ada aturan tidak tertulis harus menurut dengan pasangannya, melarang pasangannya untuk berteman dengan yang lain atau tidak berminat untuk mengikuti keinginan pasangannya seperti mengajak makan bersama, berjalan-jalan, bahkan melakukan hubungan seksual. Berangkat dari kondisi psikologis remaja inilah mengapa menurut saya tindakan melarang hingga bahkan memarahi dan memberi hukuman kepada anak tentu tidak akan memberikan pembelajaran yang baik bagi perkembangan seorang anak. Malah yang ada kemudian adalah traumatis psikologis dan tentu sebagai orang tua kita tidak menginginkan hal tersebut.

Maka dalam menanggapi fenomena ini seorang orang tua harus mau untuk membuka komunikasi yang terbuka dengan anaknya. Memberikan alokasi waktu untuk perhatian ekstra yang mungkin tidak pernah mereka dapatkan. Orang tua harus mampu memberikan pelajaran cinta yang sebenarnya kepada anak-anaknya. Saya memahami bahwa tidak ada sekolah khusus yang mengajari kita bagaimana agar menjadi orang tua, sehingga saya sadar bahwa cara orang tua kita mendidik kita adalah hasil modeling dari orang tuanya terdahulu, Dalam peran ini orang tua harus mampu menunjukkan bahwa cinta tidak hanya bersifat memikirkan diri sendiri dan mempunyai ketergantungan dengan orang lain, dan pembelajaran itu tercermin dari pribadi orang tua mereka. Cinta berarti siap untuk memberi dan berbagi,  Jika sebagai guru yang pertama, orang tua mampu melakukan ini maka betapa beruntungnya seorang anak. Sebab, ia telah mendapatkan pelajaran cinta yang berharga dari mereka yang tulus memberikan cintanya, yaitu orang tuanya sendiri.

Sumber gambar: http://www.zastavki.com/


Share:
Read More