Kita tentunya tidak tahu pasti semenjak kapan istilah keteladanan menjadi wajib untuk ditampilkan oleh guru. Tetapi kita semua sepakat bahwa keteladanan seorang guru adalah kata kunci keberhasilan penanaman karakter kepada siswa. Keteladanan yang dimaksud dalam hal ini, sesungguhnya adalah sesuatu yang muncul bersama proses pembelajaran, hubungan dan interaksi selama proses pendidikan sehingga dikemudian hari atau masa depan menjadi contoh yang selalu di tiru dan di gugu peserta didik. Oleh sebab itu tentunya, guru teladan tidak ada hubungannya dengan sosok guru yang senantiasa menjaga wibawa, menjaga ‘image’ dengan selalu menampilkan dirinya ‘ferfect’ dan ‘penuh aturan’ dan kaku di hadapan peserta didik.
Dalam sebuah proses belajar, disadari
atau tidak ‘perilaku’ seorang guru akan menjadi komunikasi (penyampaian pesan)
paling efektif dan pengaruhnya sangat besar (90%) pada peserta didik. Perilaku
inilah yang akan menjadi ‘teladan’ bagi kehidupan sosial peserta didik. Secara
psikologis pengaruh ‘perilaku’ tersebut adalah pengaruh bawah sadar peserta
didik, yang akan muncul kembali saat ia melakukan aktifitas dalam ‘bersikap’,
‘bertindak’ atau ‘menilai sesuatu’ pada dirinya maupun orang lain. Jika
merefleksikan pada pemikiran Ki Hajar Dewantara maka seorang guru yang ingin
diteladani haruslah melepaskan ‘trompah’ dari jiwa, sikap, dan perilaku
mengajarnya. Guru tidak berangkat dari ‘kepahlawanan’ untuk kemudian ‘mendidik’
tetapi dari mendidiklah kemudian dia layak menjadi ‘pahlawan’ pada hati setiap
manusia lain. Bagaimana agar ketadanan seorang guru berbuah hal yang baik pada
jiwa, sikap dan perilaku peserta didiknya dimasa akan datang, maka seorang guru
haruslah ‘profesional’ dalam pengajaran dan hubungan social. Bukan professional
‘to have’ tetapi professional ‘to be’. Bukan professional disebabkan kebendaan
(materi) tetapi professional bersumber dari ‘penguasaan diri’, ‘pengabdian’ dan
‘kehormatan’ diri dan bangsanya. Sehingga dalam prosesnya ‘mengajar’ akan
menjadi cara hidup seorang guru untuk mencapai kemanfaatan sebanyak-banyaknya
melalui ‘pengabdiannya’ dan proses menebarkan ‘kehormatan’ tersebut pada hati,
kepala dan pancaindera peserta didiknya.
Proses memindahkan segala
keteladanan diri, pengetahuan diri dan perilaku professional seorang guru
kepada peserta didik dibutuhkan teknik yang oleh Ki Hajar Dewantara disebut
‘among’ mendidik dengan sikap asih, asah dan asuh. Sehingga dibutuhkan guru
yang tidak hanya mampu ‘mengajar’ tetapi juga mampu ‘mendidik’. Hal ini
didasarkan karena output pendidikan yang dihasilkan haruslah peserta didik yang
berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota
masyarakat yang berguna, dan bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan
kesejahteraan orang lain. Oleh sebab itu dalam pemikiran Ki Hajar Dewantara,
metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah metode yang secara
teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head,
the heart, and the hand) atau yang dikenal dengan sistem among tadi.
Terlebih dewasa ini lembaga
pendidikan dan guru juga dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama
untuk mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan
yang berkembang pesat. Perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga menyentuh perubahan
dan pergeseran aspek nilai moral yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Beberapa contoh penyimpangan-penyimpangan perilaku amoral saat ini diantaranya
maraknya perkelahian antar pelajar, perampokan, pembunuhan yang disertai
mutilasi, korupsi, dan isu-isu moralitas yang terjadi di kalangan remaja,
seperti penggunaan narkotika, perkosaan, pornografi sudah sangat merugikan dan
akan berujung pada keterpurukan suatu bangsa.
Kesahajaan Dalam Keteladanan
Sebagaimana kita ketahui bersama digalakkannya pendidikan karakter sendiri muncul berawal dari keprihatinan
para orangtua menyaksikan
kenyataaan diatas, yang dianggap menjadi faktor deviasi negatif dari karakter anaknya. Beberapa karakter dasar yang dianggap kurang
baik itu antara lain tanggungjawab (responsibility) kedisiplinan (diciplinary),
peduli (care), hormat (respect), jujur (honest), cinta tanah air (patriotism). Kurangnya
kepedulian, kurangnya rasa hormat dan etika sopan santun terhadap para guru dan
karyawan, tidak ada tegur sapa. Semakin banyaknya siswa melakukan tindakan
tidak jujur seperti penyontekan ketika ujian, hingga kerap ditemukannya siswa
membuat tugas hanya meniru hingga sekedar “copy paste” dari tugas temannya.
Oleh
karenanya dalam tataran ideal pembelajaran karakter harus dilakukan sejak di
sekolah taman kanak-kanak, hingga pendidikan dasar dan menengah. Pembelajaran
tersebut harus merupakan pendidikan kecakapan hidup mendasar (general
lifeskills education) yang menjadi
materi dasar utama di pendidikan dasar, yaitu di Taman Kanak-kanak, Sekolah
Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Semakin ke jenjang lebih tinggi, katakanlah
di pendidikan menengah, misalnya Sekolah Menengah Atas, porsinya semakin
berkurang. Sehingga pada saat di perguruan tinggi mental dan karakter anak itu
dengan sendirinya telah terbentuk. Jika dibandingkan dengan kenyataan yang ada,
kondisi ini membuktikan bahwa dalam tolok ukur ideal tatanan pendidikan
karakter kita disekolah belum mampu berlaku ideal.
Namun
tentunya, pendidikan karakter yang secara konsepsi merupakan gagasan Lawrence
Kohlberg, tidak boleh gagal untuk menjawab pertanyaan tentang nilai-nilai apa
yang harus diajarkan dalam pendidikan karakter, sebagaimana pernah terjadi di
Amerika Serikat. Sebab disaat harus dilaksanakan disekolah, disaat yang sama pula
guru dan sekolah harus bisa menjawab pertanyaan dasar tentang persoalan nilai
tersebut. Inilah mengapa keteladanan guru menjadi penting, sebab kemampuan guru
untuk menjawab pertanyaan dasar diatas berangkat dari implementasi nilai dalam
sikap dan perilaku sehari-hari. Sehingga sebagai implementasi sikap, pada
gilirannya keteladanan yang harus diajarkan oleh guru adalah keteladanan yang tidak
bersifat statis tetapi sebuah proses kritis sikap pribadi terhadap dinamika kontekstual
yang ada. Guru tidak menampilkan keteladanan sikap sebagai hal yang kaku dan
mutlak, tetapi keteladanan yang dapat membangun sikap kritis anak didiknya.
Keteladanan bukan menampilkan apa yang seharusnya ada meski belum dilakukan
oleh guru, tetapi menampilkan apa adanya sesuatu yang telah dilakukan oleh guru
itu sendiri. Dengan demikian, keteladanan yang dibangun oleh guru akan dapat
difahami secara mudah dan sadar.
“still trying to keep my eyes on the star and keep my feet on the ground”
Theodore de Roosevelt