“Pendidikan adalah eskalator sosial ekonomi. Sebuah instrumen rekayasa struktural masyarakat masa depan”.
Anies Baswedan-Rektor Paramadina
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh pernah mengatakan bahwa
“pendidikan adalah sebuah sistem yang bisa mengubah harkat dan martabat
manusia. Pendidikan yang baik juga dijadikan eskalator untuk menaikkan
kehidupan sosial masyarakat. Pentingnya pendidikan harus ditandai dengan
tingkat kecerdasan masyarakat. Masyarakat yang cerdas memiliki ciri
khusus. Salah satunya, mampu menyelesaikan masalah tanpa perlu biaya
tinggi, dan tidak mempermasalahkan lagi persoalan yang ada. Kalau orang
cerdas, setiap ketemu masalah pasti yang akan dipikirkan adalah
solusinya, bukan malah mencari masalah baru”.
Banyak
dari kalangan tidak mampu seringkali merasa “minder” dalam memberikan
pilihan masa depan bagi putra putrinya. Seringkali dengan alasan
keterbatasan biaya, anak-anak itu pun harus menyerah pada keadaan dan
berpendidikan seadanya. Jarang diantara anak-anak tersebut pernah
diajarkan untuk bermimpi berpendidikan tinggi, merubah nasib yang
dialami oleh orang tua mereka. Seolah kutukan kemiskinan adalah sesuatu
yang telah menjadi “code of conduct” dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Suatu
garis nasib yang harus dijalani, tanpa ada kuasa manusia untuk
merubahnya. Pola pikir yang umumnya banyak diamini oleh para orang tua
dari keluarga miskin.
Tetapi,
pernahkah kita bertanya “Dari manakah kelas menengah atas Indonesia
saat ini?” Bisa jadi 20 tahun atau 30 tahun lalu, mereka adalah kelas
menengah bawah Indonesia. Karena mengenyam bangku perguruan tinggi,
status sosial ekonomi mereka naik dari kelas menengah bawah menjadi
kelas menengah atas. Ada yang jadi gubernur, politikus, pengusaha, dan
guru besar. Mereka adalah Pemuda 20 tahun atau 30 tahun lalu yang yakin
akan kemampuan mereka untuk sukses dan bersedia dan mampu mendorong
melampaui hambatan untuk melakukannya, hingga masuk ke posisi
kepemimpinan sebagai orang dewasa.
Akses Terbuka dan Humanis
Secara
ekonomi, siswa dari keluarga tidak mampu sulit membeli sarana sekolah.
Jadi, mencari siswa seperti itu sangat susah, perbandingannya 1000: 1.
Tetapi biasanya, persyaratan lembaga atau perusahaan untuk memberi
beasiswa amat ketat. Sehingga meski ada siswa miskin yang berprestasi,
prestasi siswa harus dibuktikan dengan sertifikat, bukankah ini terlalu
berbelit, sehingga dari puluhan siswa miskin yang berprestasi, hanya
sebagian kecil yang masuk kriteria mendapat beasiswa. Padahal beasiswa
yang dikeluarkan sejumlah lembaga atau perusahaan memang sangat membantu
siswa yang butuh dukungan biaya pendidikan, tetapi bagi siswa yang
tidak mampu dan dan tak berprestasi, sulit mendapat sokongan tersebut.
Dengan
pilihan untuk membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi keluarga
miskin, sebenarnya bantuan yang mesti diberikan perusahaan adalah siswa
dari keluarga tidak mampu tanpa harus melihat apakah dia berprestasi
atau tidak, bantuan itu akan sangat menunjang sarana pendidikan mereka
dibanding persyaratan yang berbelit untuk mendapatkan beasiswa. Sebab
seperti diketahui bersama, selama ini justru mayoritas siswa yang
memperoleh prestasi di sekolah adalah siswa dari keluarga mampu.
Menyikapi kondisi ini selanjutnya bermunculan lembaga non pemerintah
(NGO) yang peduli dengan menyediakan bantuan pendidikan secara gratis.
Namun karena peminat yang tinggi akhirnya tetap dilakukan seleksi
mengingat keterbatasan pendanaan yang ada.
Salah
satu lembaga yang memulai gerakannya pada tahun 2005 salah satunya
adalah Yayasan Mata Air dengan memberikan Pesantren Kilat, bimbingan
persiapan UMPTN bagi siswa-siswa yang utamanya tidak mampu tetapi
berprestasi. Mata air adalah lembaga yang menyebut dirinya sebagai
Komunitas anak cucu Adam “Menyembah Yang Maha Esa, Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama“.Komunitas
MataAir merupakan komunitas terbuka bagi seluruh “anak cucu Adam” yang
kelahirannya dibidani oleh seorang kyai-budayawan, KH Ahmad Mustofa
Bisri. Komunitas MataAir telah “mengalirkan airnya” di Surabaya,
Semarang dan Jakarta. Di Jakarta, Komunitas MataAir didirikan oleh Gus
Mus bersama sejumlah kyai, intelektual dan professional seperti Habib
Luthfi bin Yahya, Drs. H. Maftuh Basyuni, Drs As’at Said Ali, KH Masdar
F. Mas’udi, KH Muadz Thohir dan KH Thantowi Jauhari Musaddad. Nama
“MataAir” sengaja dipilih sebagai titel komunitas ini karena adanya
kerinduan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga dalam bimbingan
persiapan UMPTN siswa tidak hanya diberikan materi ujian tetapi juga
nilai-nilai religius dan moral, untuk menjadi pribadi yang utuh jasmani
dan rohani.
Selanjutnya
pada pertengahan 2009 Anies Baswedan yang juga Rektor Universitas
Paramadina mulai mengajak beberapa kawan seide untuk membentuk Gerakan
Indonesia Mengajar (GIM). Kehadiran GIM adalah mendorong kemajuan
pendidikan di Indonesia, bukan melalui seminar dan diskusi tetapi
melalui program kongkret mengirimkan sarjana terbaik Indonesia
menjadi Guru SD. Gerakan ini merupakan kelanjutan idealisme Anies
Baswedan yang semasa kuliah, aktif di pergerakan mahasiswa.Dari
pengalaman dalam pergerakan dan interaksi lintas kelompok, pikiran
ekspresif Anies sering muncul dengan pendekatan dan cara pandang baru
dalam melihat persoalan di Indonesia. Kalimat dari Anies seperti "janji
kemerdekaan kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, maka janji itu
dilunasi untuk setiap warga negara"; pandangan ini menyadarkan kita
bahwa mencerdaskan dan mensejahterakan itu bukan sekadar cita-cita tapi
sebuah janji Republik. Atau saat dia sering mengatakan bahwa "pendidikan
adalah eskalator untuk menaikan posisi rakyat jelata dari
ketertinggalan dan ketergantungan jadi kemajuan dan kemandirian", ia
membuat kita lebih memahami pendidikan bukan sekadar alat untuk
mencerdaskan tapi alat untuk mengubah derajat sosial-ekonomi.
Indonesia
Mengajar tak berpretensi menyelesaikan seluruh persoalan pendidikan di
Indonesia. Namun begitu, kami meyakini bahwa kehadiran putra-putri
terbaik Indonesia sebagai guru akan ikut mendorong peningkatan kualitas
pendidikan kita. Melalui Indonesia Mengajar, para calon pemimpin
memiliki kesempatan mengembangkan pemahaman akan akar rumput Indonesia,
yang beraneka ragam dan memiliki persoalan-persoalan yang juga kompleks.
Selain itu, masa petualangan ini merupakan wahana pendewasaan diri dan
latihan kepemimpinan yang alami. Tantangan, hambatan dan segala
pengalaman akan membentuk karakter kepemimpinan sekaligus merajut tenun
kebangsaan yang lebih kokoh. Apa yang mereka lewati akan menjadi
pelajaran seumur hidup bagi mereka. Sementara itu, inspirasi yang mereka
bagi di sekolah dan masyarakat akan menjadi memori seumur hidup bagi
anak-anak dan masyarakat di sana.
Kehadiran
gerakan-gerakan ini seolah mengingatkan kita semua bahwa kualitas SDM
dimanapun sangat ditentukan dari tingkat pendidikan yang diperolehnya.
Namun dari data yang didapatkan mengenai angka partisipasi kasar APK
pendidikan menengah pada tahun 2009/2010 atas pelaksanaan Program Wajib
Belajar Pendidikan Dasar baru mencapai 69,9 %. Wajib
belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam arti bahwa pemerintah membuka
peluang seluas-luasnya bagi semua peserta didik yang telah memenuhi
persyaratan untuk memasuki jenjang pendidikan dasar atau bersifat basic universal education.
Dengan ciri-ciri (1) bersifat persuasif dan tidak memaksa, (2) lebih
mengutamakan aspek moral daripada pemberian sangsi hukum, (3) tidak
diatur dengan undang-undang wajib belajar, (4) keberhasilan diukur
dengan angka partisipasi dalam pendidikan dasar, dan (5) pendidikan
khususnya pendidikan dasar adalah tanggung jawab bersama antara keluarga
, masyarakat dan pemerintah (Depdikbud, 1995). Hal ini berbeda dengan
wajib belajar yang dilakukan dinegara-negara maju seperti USA, Jepang,
Inggris dan Perancis yang bersifat compulsary education. Di
negara-negara tersebut ada paksaan agar anak miskin masuk sekolah, anak
miskin bersekolah didukung kebijakan khusus dan terbebas dari beban
keuangan, diatur dengan undang-undang wajib belajar dan diberi sanksi
bagi orang tua yang tidak dirasakan perlu menyekolahkan anaknya.
Sejauh
ini pemerintah kita masih jauh untuk mampu membiayai hak dasar
pendidikan bagi warga negaranya sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Tetapi dengan kondisi dan keterbatasan ini bukan menjadikan alasan bagi
kita agar tidak memberikan pendidikan semaksimal mungkin bagi putra
putri kita. Sebab sebagai orang tua kita tentu telah membuktikan benar,
bahwa seberapa pun canggihnya matematika kita menghitung apa yang
diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Tetapi, tetap saja Tuhan memiliki
matematika dan jalanNya tersendiri untuk memberikan apa yang dibutuhkan
oleh hambanya, senyampang dengan kerja keras yang dilakukannya. Yakinkan
kita bahwa pendidikan adalah eskalator sosial bagi perubahan, dan
persoalan biaya dan keterbatasan bukan hal yang utama selama ada usaha
keras didalamnya. Ajarkan kepada anak-anak kita keberanian untuk
bermimpi tentang masa depannya, berbangga dengan potensinya. Jauhkanlah
ketidakpercayaan diri sejak dini karena mereka terlahir sebagai
anak-anak keluarga miskin. Kemiskinan sesungguhnya adalah ruang
pembelajaran untuk menjadi pribadi yang kuat dan pemimpin besar dimasa
depan, bentuk syukur atas yang berikan Tuhan Yang Maha Kuasa kepada
kita. Student today, leader tomorrow. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Mari kita teguhkan komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
No comments:
Post a Comment