Tips Belajar Akuntansi

Metode Kooperatif Tipe Think Pair Share


Think   Pair   Share memperluas sturktur keda kelompok yang sederhana. Think   Pair   Share adalah suatu cara untuk mengganti suatu suasana pola disksusi kelas kedalarn diskusi kelompok, dengan aswnsis bahwa sernua diskusi kelompok memerlukan pengaturan untuk mengendalikan secara keseluruhan. Prosedur ini digunakan untuk untuk membed kesempatan kepada siswa dan saling membantu dan merespon. Think   Pair   Share ini merupakana bentuk paling sederhana dari ke~a kelompok melibatkan siswa dalam pasangan   pasangan, dan memberikan mereka. pada satu tugas, mercka bersama   sama dalarn pasangan untuk berfikir tentang isi, menggabungkan pikiran mereka dengan temannya dan menggabungkan jawaban mereka dengan seluruh kelomok (Kauchak; 1998).

Langkah   langkah pada "Think   Pair   Share" adalah sebagai berikut:

Langkah I : Thinking (berpikir )

Guru mengajukan pertanyaan atau soal   soal yang berkaiatan dengan pelajaran dan meminta siswa untuk mimikirkan pertanyaan 1 soal beberapa saat.

Langkah II : Pairing (Berpasangan)

Guru meminta siswa untuk berpasangan dan berdiskusi apa yang telah mercka pikirkan pada tahap pertama. Interaksi tahap ini diharuskan dapat berbagi jawaban jika telah diajukan untuk pertanyaan, atau berbagai ide jika suatu persoalan khusus telah diidentifikasi

Langkah III: Sharing (Berbagi)

Guru meminta siswa 1 pasangan untuk berbagi dengan seluruhkelompok dalam kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. Hal ini dilakukan secara bergiliran pasangan demi pasangaan sampai sebagian atau seluruh pasangan mendapat giliran untuk melaporakan hasil kedanya

(Rahmadianti, 2002)


Share:
Read More

Model Pengkondisian Operant dari B.F. Skinner


Dalam mengembangkan strategi pembelajaran di kelas, model ini memiliki langkah-langkah pokok sebagai berikut

Langkah Pertama: Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini

v  Prilaku positif di kelas yang mendapat penguatan saat ini

v  Prilaku negatif yang saat ini diberi toleransi saat ini

v  Hukuman apa yang selama ini dijalankan

Langkah Kedua: Mengembangkan daptar penguat potensial

v  Kegiatan yang disukai peserta didik

v  Prilaku yang selama ini mendapat hukuman

v  Latar alami yang potensial menjadi penguat

Langkah Ketiga: Memilih urutan prilaku yang akan mulai dilakukan

v  Jenis hukuman apa yang akan diubah menjadi penguatan

v  Prilaku positif mana yang cenderung muncul terus menerus di kelas

v  Stimulus mana yang digunakan untuk  secara berbeda untuk mengendalikan prilaku

Langkah Keempat: Menerapkan urutan prilaku, memelihara catatan anekdodal, dan melakukan perubahan yang dikehendaki

v  Penggunaan aturan rutin kelas yang jelas dan konsisten

v  Penggunaan metode penguatan yang jelas dan potensial mengubah prilaku peserta didik

v  Peluang yang sama bagi setiap peserta didik untuk memperoleh penguatan

Penerapan penguatan mengikuti perubahan prilaku peserta didik
Share:
Read More

Masyarakat Akademik Yang Literat

Pendidikan bangsa kita (baca: Indonesia) mengalami ketertinggalan selama 10-15 tahun dibandingkan dengan pendidikan negara Asia lainnya, seperti Jepang dan Korea. Sumber daya manusia Indonesia berada pada posisi ke-109 (UNDP, 2000) terpaut satu angka di bawah Vietnam. Daya saing bangsa kita berada pada posisi ke-46 (2000), jauh di bawah negara-negara Asia lainnya. Sejumlah 84% (168 juta dari 200 juta) penduduk Indonesia termasuk melek huruf, namun di Indonesia hanya terbit 12 buku untuk satu juta penduduk pertahun. Ini di bawah rata-rata negara berkembang lainnya yang mampu menerbitkan 55 buku untuk satu juta penduduknya pertahun atau di negara maju yang mencapai 513 buku untuk setiap satu juta penduduknya pertahun (Alwasilah, 2000).

Belum lagi kondisi mayoritas komunitas kampus yang masih tidak terampil menulis, terbukti dengan jumlah publikasi yang rendah, yakni berada pada urutan ke-92 di bawah Malaysia, Nigeria dan Thailand (Alwasilah, 2000). Indonesia setiap tahunnya hanya mampu menerbitkan 3-4 ribu judul buku baru. Padahal Amerika pada tahun 1990 menerbitkan judul buku baru sebanyak 77.000 buah, Jerman Barat sebanyak 59.000 buah, Inggris sebanyak 43.000 buah, Jepang sebanyak 42.000 buah dan Prancis sebanyak 37.000 buah. Data lain menunjukkan bahwa perbandingan antara jumlah koran dengan jumlah penduduk di Indonesia 1:41,53, sementara di Inggris satu koran dibaca oleh 3,16 orang, di Jerman 3,19 orang, dan Amerika Serikat 4,43 orang. Rendahnya kemampuan menulis dosen diperkuat oleh laporan Dirjen Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, terbukti dengan rendahnya penerbitan jurnal ilmiah. Di Indonesia terdapat sekitar 266 jurnal dalam kelompok bidang: bunga rampai (40 buah), ekonomi (32 buah) kependidikan (30 buah) kedokteran umum (17 buah), pertanian (13 buah), sosial budaya (8 buah), teknologi rekayasa (7 buah), teknologi tepat guna (7 buah), manajemen (6 buah), psikologi (5 buah), kesehatan masyarakat (5 buah), MIPA (5 buah), bahasa/sastra (5 buah), kedokteran gigi (4 buah), administrasi (4 buah), dan 22 kelompok lainnya berkisar antara 1-3 buah. STAID (Science and Tecnology for Industrial Development) juga melaporkan bahwa antara tahun 1976-1981 ISSN di Indonesia berjumlah 4.167 buah, 2.345 di antaranya majalah, 16,8% majalah pertanian, ilmu-ilmu pengetahuan sosial 10,8%, dan ilmu pendidikan 10,7% (Republika, 6-12-1993).

Dengan berpijak pada data-data di atas, maka kita bisa menyatakan bahwa rendahnya kemampuan menulis para ilmuwan Indonesia, termasuk di dalamnya kalangan kampus, menjadi sebuah realita. Para ilmuwan belum terbiasa menuliskan pikiran-pikirannya secara produktif. Para ilmuwan kita baru menjadi penganut budaya lisan dan menyimak yang reseptif. Budaya lisan dan menyimak sangat paradoks dengan tuntutan modernitas global dan kecenderungan masa depan yang semakin kompetitif.

Membangun pendidikan berarti membangun masa depan bangsa melalui penyiapan sumber daya manusia yang sesuai dengan tuntutan zaman. Namun ironisnya, pendekatan yang dilakukan untuk itu menggunakan pendekatan lama (kolonial) yang tidak sesuai dan tidak signifikan dengan tantangan masa depan itu. Akibatnya penyiapan sumber daya yang unggul hanya menjadi wacana. Studi kasus tentang rendahnya kemampuan menulis mahasiswa Indonesia, hingga kini, belum melahirkan pendekatan atau teori baru yang mampu mendongkrak dan memotivasi mahasiswa untuk menulis. Hal ini diperparah dengan mengglobalnya informasi melalui media visual yang berpengaruh terhadap pembangunan wacana literasi masyarakat Indonesia. Yang hendak kita bangun dengan sistem pendekatan terkini adalah sebuah masyarakat yang menyadari pentingnya belajar secara terus menerus dan menggunakan kegiatan membaca-menulis (literasi).

Paradoks di Negeri Sendiri
Masyarakat Barat sejak abad ke-16 sudah membudayakan kegiatan keberaksaraan (literacy) yakni membaca dan menulis. Akibatnya, peradaban mereka maju dengan pesat dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks). Satu hal yang menonjol dalam masyarakat Barat adalah individualisasi. Masyarakat terpecah-pecah dalam sejumlah individu-individu yang sedikit sekali menunjukkan koherensi, kebersamaan, solidaritas, apalagi kegotongroyongan. Akhirnya, terjadi gejala alienasi (keterasingan), kehilangan solidaritas, dan kebersamaan. Hubungan kausal segala aspek dan gejolak itu mudah ditentukan. Namun demikian, budaya keberaksaraan (membaca dan menulis) merupakan faktor yang sangat esensial dalam seluruh proses individualisasi ini.

Individualisasi dalam masyarakat Indonesia masih mengalami hambatan. Hal ini disebabkan oleh adanya budaya keseragaman. Kemampuan untuk melahirkan pemikiran yang berbeda seringkali memperoleh ganjaran keterasingan bahkan dikucilkan. Saat ini disinyalir masih suburnya iklim keseragaman di sekolah-sekolah bahkan sampai tingkat perguruan tinggi sekalipun. Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat intelektual di tengah era informasi modern sekarang, ia harus dapat menyerap informasi sebanyak 820.000 kata perminggu apabila ia ingin mempertahankan prestasi dan prestisenya di tengah perubahan global. 

Dengan demikian, minimal setiap hari ia harus membaca antara 4—6 jam. Seorang penulis tentu saja harus melakukan kegiatan membaca seperti itu, sehingga ia memiliki bahan tulisan yang banyak dan bervariasi. Salah satu kendala yang dihadapi pengembangan ilmu di Indonesia adalah kecilnya jumlah dan rendahnya mutu karya ilmiah yang diterbitkan orang setiap tahun. Produktivitas buku atau majalah-majalah ilmiah di negara kita tidaklah sepadan dengan jumlah ilmuwan atau cendekiawan yang ada, serta sangat tidak seimbang dengan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan. Hubungan antara penulis, penerbit, dan pembaca merupakan segi tiga tertutup bertimbal balik, seringkali menjadi lingkaran setan bila salah satu di antaranya tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Steve Snyder, pernah membaca empat belas buku dalam suatu penerbangan antara Los Engeles dan Sidney, Australia. Dengan menggunakan teknik yang dikembangkannya, ia biasanya membaca tiga atau empat buku fiksi ataupun nonfiksi dalam satu malam. Kecepatan membacanya lima ribu kata permenit. Kedengarannya ini cepat sekali, namun menurutnya ini kecepatan yang biasa (jogging speed). Kecepatan sprint-nya sekitar sepuluh ribu kata permenit…. Ketika Ia mulai bersekolah di kelas satu, ia telah membaca empat ratus buku, termasuk novel-novel Mark Twain, Jules Verne, dll. (DePorter dan Hernacki, 1999:269). Lalu bagaimana dengan kita ? Menurut Magnesen (Dryden dan Vos, 2000) kita belajar 10% dari apa yang kita baca, 20% dari apa yang kita dengan (simak), 30% dari apa yang kita lihat, 50% dari apa yang kita lihat dan dengar, 7)% dari apa yang kita katakan, dan 90% dari apa yang kita katakan dan lakukan. Membaca dan menulis hakikatnya prilaku untuk melihat, menyimak, mengatakan, dan melakukan. Betapa pentingnya lingkungan (budaya) dalam membentuk iklim ilmiah, para behavioris bahkan mempercayai bahwa 90% aktivitas manusia diilhami oleh lingkungannya. Artinya, apabila guru tidak memberikan atmosfer yang baik untuk tumbuhnya dunia menulis, tidak mungkin lahir para penulis dari kalangan siswa (mahasiswa). Untuk bisa menjadi masyarakat akademik yang literat, kampus maupun sekolah haruslah memiliki budaya membaca dan menulis.
Share:
Read More

Student Today, Leaders Tomorrow -



“Pendidikan adalah eskalator sosial ekonomi. Sebuah instrumen rekayasa struktural masyarakat masa depan”.
Anies Baswedan-Rektor Paramadina

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh pernah mengatakan bahwa “pendidikan adalah sebuah sistem yang bisa mengubah harkat dan martabat manusia. Pendidikan yang baik juga dijadikan eskalator untuk menaikkan kehidupan sosial masyarakat. Pentingnya pendidikan harus ditandai dengan tingkat kecerdasan masyarakat. Masyarakat yang cerdas memiliki ciri khusus. Salah satunya, mampu menyelesaikan masalah tanpa perlu biaya tinggi, dan tidak mempermasalahkan lagi persoalan yang ada. Kalau orang cerdas, setiap ketemu masalah pasti yang akan dipikirkan adalah solusinya, bukan malah mencari masalah baru”.

Banyak dari kalangan tidak mampu seringkali merasa “minder” dalam memberikan pilihan masa depan bagi putra putrinya. Seringkali dengan alasan keterbatasan biaya, anak-anak itu pun harus menyerah pada keadaan dan berpendidikan seadanya. Jarang diantara anak-anak tersebut pernah diajarkan untuk bermimpi berpendidikan tinggi, merubah nasib yang dialami oleh orang tua mereka. Seolah kutukan kemiskinan adalah sesuatu yang telah menjadi “code of conduct” dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Suatu garis nasib yang harus dijalani, tanpa ada kuasa manusia untuk merubahnya. Pola pikir yang umumnya banyak diamini oleh para orang tua dari keluarga miskin.

Tetapi, pernahkah kita bertanya “Dari manakah kelas menengah atas Indonesia saat ini?” Bisa jadi 20 tahun atau 30 tahun lalu, mereka adalah kelas menengah bawah Indonesia. Karena mengenyam bangku perguruan tinggi, status sosial ekonomi mereka naik dari kelas menengah bawah menjadi kelas menengah atas. Ada yang jadi gubernur, politikus, pengusaha, dan guru besar. Mereka adalah Pemuda 20 tahun atau 30 tahun lalu yang yakin akan kemampuan mereka untuk sukses dan bersedia dan mampu mendorong melampaui hambatan untuk melakukannya, hingga masuk ke posisi kepemimpinan sebagai orang dewasa.

Akses Terbuka dan Humanis
Secara ekonomi, siswa dari keluarga tidak mampu sulit membeli sarana sekolah. Jadi, mencari siswa seperti itu sangat susah, perbandingannya 1000: 1. Tetapi biasanya, persyaratan lembaga atau perusahaan untuk memberi beasiswa amat ketat. Sehingga meski ada siswa miskin yang berprestasi, prestasi siswa harus dibuktikan dengan sertifikat,  bukankah ini terlalu berbelit, sehingga dari puluhan siswa miskin yang berprestasi, hanya sebagian kecil yang masuk kriteria mendapat beasiswa. Padahal beasiswa yang dikeluarkan sejumlah lembaga atau perusahaan memang sangat membantu siswa yang butuh dukungan biaya pendidikan, tetapi bagi siswa yang tidak mampu dan dan tak berprestasi, sulit mendapat sokongan tersebut.
Dengan pilihan untuk membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi keluarga miskin, sebenarnya bantuan yang mesti diberikan perusahaan adalah siswa dari keluarga tidak mampu tanpa harus melihat apakah dia berprestasi atau tidak, bantuan itu akan sangat menunjang sarana pendidikan mereka dibanding persyaratan yang berbelit untuk mendapatkan beasiswa. Sebab seperti diketahui bersama, selama ini justru mayoritas siswa yang memperoleh prestasi di sekolah adalah siswa dari keluarga mampu. Menyikapi kondisi ini selanjutnya bermunculan lembaga non pemerintah (NGO) yang peduli dengan menyediakan bantuan pendidikan secara gratis. Namun karena peminat yang tinggi akhirnya tetap dilakukan seleksi mengingat keterbatasan pendanaan yang ada.

Salah satu lembaga yang memulai gerakannya pada tahun 2005 salah satunya adalah Yayasan Mata Air dengan memberikan Pesantren Kilat, bimbingan persiapan UMPTN bagi siswa-siswa yang utamanya tidak mampu tetapi berprestasi. Mata air adalah lembaga yang menyebut dirinya sebagai Komunitas anak cucu Adam “Menyembah Yang Maha Esa, Menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, mengasihi sesama“.Komunitas MataAir merupakan komunitas terbuka bagi seluruh “anak cucu Adam” yang kelahirannya dibidani oleh seorang kyai-budayawan, KH Ahmad Mustofa Bisri. Komunitas MataAir telah “mengalirkan airnya” di Surabaya, Semarang dan Jakarta. Di Jakarta, Komunitas MataAir didirikan oleh Gus Mus bersama sejumlah kyai, intelektual dan professional seperti Habib Luthfi bin Yahya, Drs. H. Maftuh Basyuni, Drs As’at Said Ali, KH Masdar F. Mas’udi, KH Muadz Thohir dan KH Thantowi Jauhari Musaddad. Nama “MataAir” sengaja dipilih sebagai titel komunitas ini karena adanya kerinduan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga dalam bimbingan persiapan UMPTN siswa tidak hanya diberikan materi ujian tetapi juga nilai-nilai religius dan moral, untuk menjadi pribadi yang utuh jasmani dan rohani.

Selanjutnya pada pertengahan 2009 Anies Baswedan yang juga Rektor Universitas Paramadina mulai mengajak beberapa kawan seide untuk membentuk Gerakan Indonesia Mengajar (GIM). Kehadiran GIM adalah mendorong kemajuan pendidikan di Indonesia, bukan melalui seminar dan diskusi tetapi melalui program kongkret mengirimkan sarjana terbaik Indonesia menjadi Guru SD. Gerakan ini merupakan kelanjutan idealisme Anies Baswedan yang semasa kuliah, aktif di pergerakan mahasiswa.Dari pengalaman dalam pergerakan dan interaksi lintas kelompok, pikiran ekspresif Anies sering muncul dengan pendekatan dan cara pandang baru dalam melihat persoalan di Indonesia. Kalimat dari Anies seperti "janji kemerdekaan kita adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, maka janji itu dilunasi untuk setiap warga negara"; pandangan ini menyadarkan kita bahwa mencerdaskan dan mensejahterakan itu bukan sekadar cita-cita tapi sebuah janji Republik. Atau saat dia sering mengatakan bahwa "pendidikan adalah eskalator untuk menaikan posisi rakyat jelata dari ketertinggalan dan ketergantungan jadi kemajuan dan kemandirian", ia membuat kita lebih memahami pendidikan bukan sekadar alat untuk mencerdaskan tapi alat untuk mengubah derajat sosial-ekonomi.

Indonesia Mengajar tak berpretensi menyelesaikan seluruh persoalan pendidikan di Indonesia. Namun begitu, kami meyakini bahwa kehadiran putra-putri terbaik Indonesia sebagai guru akan ikut mendorong peningkatan kualitas pendidikan kita. Melalui Indonesia Mengajar, para calon pemimpin memiliki kesempatan mengembangkan pemahaman akan akar rumput Indonesia, yang beraneka ragam dan memiliki persoalan-persoalan yang juga kompleks. Selain itu, masa petualangan ini merupakan wahana pendewasaan diri dan latihan kepemimpinan yang alami. Tantangan, hambatan dan segala pengalaman akan membentuk karakter kepemimpinan sekaligus merajut tenun kebangsaan yang lebih kokoh. Apa yang mereka lewati akan menjadi pelajaran seumur hidup bagi mereka. Sementara itu, inspirasi yang mereka bagi di sekolah dan masyarakat akan menjadi memori seumur hidup bagi anak-anak dan masyarakat di sana.

Kehadiran gerakan-gerakan ini seolah mengingatkan kita semua bahwa kualitas SDM dimanapun sangat ditentukan dari tingkat pendidikan yang diperolehnya. Namun dari data yang didapatkan mengenai angka partisipasi kasar APK  pendidikan menengah pada tahun 2009/2010 atas pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar baru mencapai 69,9 %. Wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam arti bahwa pemerintah membuka peluang seluas-luasnya bagi semua peserta didik yang telah memenuhi persyaratan untuk memasuki jenjang pendidikan dasar atau bersifat basic universal education. Dengan ciri-ciri (1) bersifat persuasif dan tidak memaksa, (2) lebih mengutamakan aspek moral daripada pemberian sangsi hukum, (3) tidak diatur dengan undang-undang wajib belajar, (4) keberhasilan diukur dengan angka partisipasi dalam pendidikan dasar, dan (5) pendidikan khususnya pendidikan dasar adalah tanggung jawab bersama antara keluarga , masyarakat dan pemerintah (Depdikbud, 1995). Hal ini berbeda dengan wajib belajar yang dilakukan dinegara-negara maju seperti USA, Jepang, Inggris dan Perancis yang bersifat compulsary education. Di negara-negara tersebut ada paksaan agar anak miskin masuk sekolah, anak miskin bersekolah didukung kebijakan khusus dan terbebas dari beban keuangan, diatur dengan undang-undang wajib belajar dan diberi sanksi bagi orang tua yang tidak dirasakan perlu menyekolahkan anaknya.

Sejauh ini pemerintah kita masih jauh untuk mampu membiayai hak dasar pendidikan bagi warga negaranya sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Tetapi dengan kondisi dan keterbatasan ini bukan menjadikan alasan bagi kita agar tidak memberikan pendidikan semaksimal mungkin bagi putra putri kita. Sebab sebagai orang tua kita tentu telah membuktikan benar, bahwa seberapa pun canggihnya matematika kita menghitung apa yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Tetapi, tetap saja Tuhan memiliki matematika dan jalanNya tersendiri untuk memberikan apa yang dibutuhkan oleh hambanya, senyampang dengan kerja keras yang dilakukannya. Yakinkan kita bahwa pendidikan adalah eskalator sosial bagi perubahan, dan persoalan biaya dan keterbatasan bukan hal yang utama selama ada usaha keras didalamnya. Ajarkan kepada anak-anak kita keberanian untuk bermimpi tentang masa depannya, berbangga dengan potensinya. Jauhkanlah ketidakpercayaan diri sejak dini karena mereka terlahir sebagai anak-anak keluarga miskin. Kemiskinan sesungguhnya adalah ruang pembelajaran untuk menjadi pribadi yang kuat dan pemimpin besar dimasa depan, bentuk syukur atas yang berikan Tuhan Yang Maha Kuasa kepada kita. Student today, leader tomorrow. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Mari kita teguhkan komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Salam Indonesia Raya!!!

Share:
Read More