Tips Belajar Akuntansi

Food Safety di Sekolah


Kebiasaan konsumsi makanan jajanan (street food) sudah menjadi bagian tidak terpisahkan perilaku siswa di sekolah. Perilaku ini turut didukung dengan makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Terlebih keunggulan makanan jajanan adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan seringkali memiliki penampilan yang menarik. Namun, meski makanan jajanan memiliki keunggulan-keunggulan tersebut, ternyata makanan jajanan masih berisiko terhadap kesehatan karena penangananya sering tidak higienis, yang memungkinkan makanan jajanan terkontaminasi oleh mikroba beracun maupun penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak diizinkan. Data World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa penyakit diare yang disebabkan makanan atau air tercemar membunuh kira-kira 2.2 juta orang setahun; 1.9 juta dari jumlah tersebut adalah anak-anak. Sedangkan data survei BPOM tahun 2009 terhadap 4.500 sekolah dasar di 79 kabupaten/kota di  Indonesia  menyatakan,  hanya  60,1  persen  sekolah  yang  memiliki  kantin. Badan Pengawas  Obat  dan  Makanan  (BPOM)  menyebutkan,  lebih  dari  45  persen  jajanan anak  sekolah  tidak  aman  karena  mengandung  bahan  berbahaya  seperti  formalin, boraks dan pewarna teksil (rhodamin B) dan juga tercemar mikroba (Survei BPOM, 2009).


Hal ini begitu menghawatirkan kita semua ketika hanya 12 persen saja anak-anak yang membawa bekal, dan lebih banyak diberi uang jajan padahal banyak zat beracun di jajanan luar. Terlebih kebutuhan dasar yang sangat penting bagi kehidupan setiap insan baik secara fisiologis, psikologis, sosial maupun antropologis adalah pangan dan gizi. Keduanya terkait erat dengan upaya peningkatan sumber daya manusia. Sehingga dapat dikatakan salah satu upaya perbaikan dan peningkatan gizi tersebut diantaranya adalah dengan gizi makanan jajanan pada anak sekolah.

Sejauh ini meski dengan kondisi beragam dibeberapa sekolah telah memiliki fasilitas kantin, sebagai penyedia makanan siswa. Namun, sekitar 84,30 persen kantin dari 640 sekolah di 20 provinsi di Indonesia belum memenuhi syarat kesehatan. Angka itu dikemukan Prof Siti Madanijah, dosen Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, berdasarkan hasil penelitian tentang sekolah sehat, yang dilakukan Pusat Pengembangan Kualitas Jasmani Depdiknas pada 2007. Hal ini tentu menjadi keprihatinan kita semua terlebih kualitas kantin sekolah turut merefleksikan kualitas makanan yang dikonsumsi oleh siswa disekolah tersebut. Oleh sebab itu sejumlah peraturan diterbitkan guna mewujudkan hal tersebut. Diantaranya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 39 pada 2008 tentang pembinaan kesiswaan, Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang SNP, pasal 42 ayat 2 bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana dan prasarana antara lain ruang kantin. Peraturan lainnya yakni Permendiknas Nomor 57 tahun 2009, tentang pemberian bantuan pengembangan sekolah sehat

Atas semua realitas ini maka semua pihak perlu memiliki perspektif yang sama tentang keterkaitan pendidikan dan kesehatan. Dimana anak yang sehat akan dapat belajar dengan baik, dengan demikian kualitas sumber daya manusia yang berkualitas dapat dihasilkan di sekolah. Pembinaan kesehatan di sekolah merupakan strategi yang tepat dalam mengatasi masalah kesehatan dan gizi, karena sebagian besar waktu anak sekolah dihabiskan di sekolah dan sepertiga penduduk Indonesia adalah anak usia sekolah

Potensi Kantin Sekolah
Anak usia sekolah membutuhkan sumber energi yang cukup untuk menunjang pertumbuhannya. Oleh karena itu, makanan yang disediakan untuk anak usia sekolah seharusnya mengandung gizi yang baik dan dengan kualitas yang terjamin, sehingga tidak mengganggu proses pertumbuhan (Arisman, 2004). Salah satu lokasi bagi anak-anak usia sekolah mendapatkan makanan adalah di lingkungan sekolah. Di lingkungan sekolah anak-anak beraktifitas cukup banyak, sehingga memerlukan tambahan makanan selain makanan yang mereka konsumsi di rumah. Kantin sekolah dan pedagang rombong yang berjualan makanan dan minuman di sekitar sekolah menjadi tempat yang selalu ramai dikerumuni anak-anak sekolah baik di waktu istirahat maupun di waktu usai sekolah.

Layanan kantin atau kafetaria merupakan salah satu bentuk layanan khusus di sekolah yang berusaha menyediakan makanan dan minuman yang dibutuhkan siswa atau personil sekolah. Good (1959) dalam bukunya Dictionary of Education mengatakan bahwa: “cafetaria a room or building in which public school pupuils or college student select prepared food and serve themselves”Kantin sekolah adalah suatu ruang atau bangunan yang berada di sekolah maupun perguruan tinggi, di mana menyediakan makanan pilihan/sehat untuk siswa yang dilayani oleh petugas kantin.

William H. Roe dalam bukunya School Business Management menyebutkan beberapa tujuan yang dapat dicapai melalui penyediaan layanan kantin di sekolah:
  1. memberikan kesempatan kepada murid untuk belajar memilih makanan yang baik atau sehat;
  2. memberikan bantuan dalam mengajarkan ilmu gizi secara nyata;
  3. menganjurkan kebersihan dan kesehatan;
  4. menekankan kesopanan dalam masyarakat, dalam bekerja, dan kehidupan bersama;
  5. menekankan penggunaan tata krama yang benar dan sesuai dengan yang berlaku di masyarakat;
  6. memberikan gambaran tentang manajemen yang praktis dan baik;
  7. menunjukan adanya koordinasi antara bidang pertanian dengan bidang industri; menghindari terbelinya makanan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebersihannya dan kesehatannya.
Kantin sekolah memberikan peluang untuk mengembangkan tingkah laku dan kebiasaan positif di kalangan siswa. Kantin diperlukan karena tempat itu sebagai tempat melepas lelah para siswa-siswi setelah melaksanakan proses belajar mengajar. Perlu disadari, pada periode tahun 2010 sampai dengan 2035, investasi besar-besaran dalam bidang pengembangan sumber daya manusia, dengan menyiapkan akses seluas-luasnya kepada seluruh anak bangsa untuk memasuki dunia pendidikan mulai dari PAUD sampai Perguruan Tinggi.

Safety Food First
Salah satu solusi penting dalam menjaga keamanan pangan adalah menanamkan budaya keamanan pangan. Dalam hal ini, pastinya budaya keamanan pangan yang positif. Budaya yang terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan melakukan tindakan yang menjamin makanan yang dikonsumsi terjaga dari bahaya keamanan pangan. Budaya keamanan pangan dalam rumah tangga merupakan hal yang paling dasar, sekaligus paling sulit dilakukan.
Menurut General Manager Food Safety & Quality Excellence Center D.R. Tirtasujana, tujuan akhir dari hal itu adalah untuk memastikan setiap anggota keluarga melakukan kebiasaan-kebiasaan yang positif dari sudut pandang keamanan pangan. Ini bukan pekerjaan satu-dua hari, tapi bisa jadi puluhan tahun mengingat bervariasinya kondisi keluarga di Indonesia jika dilihat dari sisi ekonomi, sosial, budaya,  pendidikan, dan lain-lain, maka informasi mengenai keamanan pangan harus diberikan ke dalam keluarga dalam bentuk yang bisa diterima oleh semuanya.  Informasi harus dibuat sesederhana mungkin sehingga mudah dipahami, dan disampaikan terus-menerus secara konsisten.

Oleh sebab itu beberapa waktu yang lalu tanggal 12 April 2013 pemerintah melalui Wakil Menteri Pendidikan Musliar Kasim, serta perwakilan Kementrian Kesehatan dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan tanggal 12 April sebagai Hari Bawa Bekal Nasional. Hal ini patut diapresiasi sebagai bagian dari upaya menciptakan lingkungan sekolah sehat dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) bagi peserta didik serta mencapai keamanan pangan yang merata bagi anak-anak di seluruh Indonesia. Membawa bekal makanan dari rumah bagi anak-anak sekolah, selain untuk menjaga kebersihan dan kesehatan makanan yang mereka makan, juga untuk membentuk kedekatan psikologis yang kuat antara orang tua terhadap anak. Sebab apabila orang tuanya menyediakan bekal untuk dibawa ke sekolah oleh anaknya, maka hal itu adalah salah satu bentuk perhatian dan kasih sayang yang diberikan orang tua kepada anak,

Disisi lain, budaya keamanan pangan juga perlu ditanamkan dalam lingkungan sekolah. Untuk menciptakan budaya keamanan pangan di lingkungan sekolah, semua pihak dalam sekolah juga harus dilibatkan.  Ini berarti melibatkan kepala sekolah, staf pengajar maupun administrasi, seluruh siswa, serta tak lupa para penjaja makanan jajanan di dalam dan sekitar sekolah. Caranya yang paling mudah adalah mulai dari atas, dari kepala sekolah. Setiap kepala sekolah memiliki program yang jelas dalam mendidik dan menanamkan budaya keamanan pangan bagi semua komponen sekolah.  Hasil dari penerapan program ini harus bisa diukur tingkat keberhasilannya atau keefektifannya. Sehingga sekolah pada akhirnya mampu menjadi bagian penting dalam melahirkan generasi emas tahun 2045, saat bangsa Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaannya
Share:

No comments:

Post a Comment