Atas kegalauannya seorang teman menulis di akun facebooknya
“Bapak/ibu saya seorang guru SD dan punya masalah besar yang sangat
mendesak untuk diselesaikan, mohon bantuan, karena saya juga dalam taraf
belajar: hari ini dari 37 anak di kelas hanya 16 anak saja yang
mengerjakan PR. Saya merasa marah akan hal tersebut namun tidak dapat
berbuat banyak. Saya minta nasehat kira-kira apa yang harus saya lakukan
untuk mengatasi masalah tersebut. hal ini memang sudah sering saya
alami namun biasanya hanya 1 atau 2 anak saja. Namun hari ini, saya rasa
sudah amat keterlaluan. Mohon pendapat dari rekan-rekan seperjuangan”.
Bagi guru muda ini alasan pemberian PR adalah agar siswa mau belajar di
rumah karena biasanya anak hanya belajar jika ada PR atau mau ulangan
saja. Selain itu juga untuk melatih kedisiplinan dan tanggung jawabnya.
Sebagai pendidik, kita tentu sering
menjumpai kejadian yang serupa tetapi mempertanyakan apa yang menjadi
penyebabnya itu tentu persoalan lain. Entah harus menganggapnya biasa
atau mengharukan hingga pengalaman ini harus dibagi seorang guru melalui
media sosial seperti facebook. Meski berbagi dalam jejaring social
seperti facebook menjadi hal yang wajar, tetapi tetap saja hal ini
menjadi sesuatu yang tidak biasa. Sebab sejauh ini jarang sekali seorang
guru yang berbicara tentang anak didiknya, tentang mengapa siswa tidak
berprestasi baik, tentang mengapa siswa selalu ramai atau tidur dikelas,
hingga tentang mengapa siswa selalu meninggalkan kelas untuk sekedar
membeli sesuatu dikantin sekolah. Dibandingkan dengan berkeluh kesah
tentang kesejahteraan, kinerja teman guru, belanja terbaru, ataupun
cerita kesuksesan keluarganya.
Perilaku siswa tentu tidak bisa
dipisahkan dari kebiasaan pembelajaran di sekolah, karena itu seorang
guru harus peduli terhadap apa yang dialami serta perubahan yang terjadi
pada siswanya. Kerapkali para guru tidak menyadari bahwa jebakan
rutinitas seperti duduk, diam, mendengarkan dan menulis, tuntutan
standar keberhasilan belajar yang tinggi, tugas rumah yang menumpuk dan
perilaku introvert malu bertanya kepada guru padahal belum bisa,
merupakan rutinitas setiap hari di sekolah. Dengan siswa yang memiliki
kebutuhan dan kemampuan belajar yang berbeda, membiarkan pembelajaran
menjadi monoton dan tidak bervariasi tentu bukan hal yang manusiawi.
Kalau sudah begini, sudah pasti yang akan dialami siswa adalah kejenuhan
belajar. Tanpa melihat umur dan status, secara manusiawi hal ini dapat
menimpa siapa saja termasuk siswa.
Istilah kejenuhan atau burn out
pertama kali dikemukakan oleh Herbert J. Freudenberg pada tahun 1974.
Secara harfiah, arti jenuh ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu
lagi memuat apapun. Selain itu, jenuh juga dapat berarti bosan.
Freudenberg menggambarkan seseorang yang mengalami kejenuhan terlibat
secara somatis dengan fungsi tubuhnya, seperti secara terus menerus
merasa kehilangan energi dan sangat lelah, tidak mampu menghabiskan
waktu untuk melakukan sesuatu yang berarti, menderita sakit kepala
berkepanjangan, mengalami gangguan pencernaan, gangguan tidur, hingga
sesak nafas. Perilaku seseorang yang mengalami kejenuhan ditunjukan
dengan begitu mudah cepat marah, mudah terluka dan menjadi frustrasi.
Dalam pembelajaran di sekolah, siswa
sering mengalami kelupaan dan terkadang juga mengalami peristiwa negatif
lainnya yang disebut jenuh belajar atau dalam bahasa psikolog lazim
disebut learning plateau (baca: pletou). Kejenuhan belajar ialah
rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak
mendatangkan hasil. Seorang siswa yang mengalami kejenuhan belajar
merasa seakan-akan pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari belajar
tidak ada kemajuan. Sehingga siswa yang bersangkutan menjadi pesimis
terhadap keberhasilan belajarnya, hingga tidak jarang menghukum diri
sendiri atas ketidak mampuannya tersebut. Kondisi inilah yang kemudian
dikenali sebagai gejala keletihan siswa.
Menurut Cross (1974) dalam bukunya The
Psychology of Learning, keletihan siswa dapat dikategorikan menjadi tiga
macam, yakni: 1) keletihan indera siswa; 2) keletihan fisik siswa; 3)
keletihan mental siswa. Khusus untuk penyebab keletihan mental siswa,
terdapat empat factor antara lain; 1) Karena kecemasan siswa terhadap
dampak negatif yang ditimbulkan oleh keletihan itu sendiri; 2) Karena
kecemasan siswa terhadap standar keberhasilan bidang studi tertentu yang
dianggap terlalu tinggi, terutama ketika siswa tersebut sedang merasa
bosan terhadap bidang studi tersebut; 3) Karena siswa berada ditengah
situasi kompetitif yang ketat dan menuntut kerja intelektual yang berat;
4) Karena siswa mempercayai konsep kinerja akademik yang optimum,
sedangkan dia sendiri menilai belajarnya sendiri hanya berdasarkan
ketentuan yang ia bikin sendiri (self-imposed)
Robert, M. Gagner (dalam Lamudji, 2005),
menyebutkan bahwa untuk membuat pembelajaran berpengaruh positif pada
siswa dan tidak menimbulkan kejenuhan, dapat dilakukan dengan pemberian
motivasi. Membangkitkan motivasi dalam diri peserta didiknya agar
semakin aktif belajar, perlu dibangun guru melalui dua jenis motivasi,
yakni motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. dorongan serta gairah
yang timbul dari dalam peserta didik itu sendiri, misalnya mendapat
manfaat praktis dari siswaan, mendapat penghargaan dari teman atau guru,
hingga ingin mendapat nilai yang baik sebagai bukti “mampu berbuat”
merupakan bentuk dari motivasi intrinsik. Sedangkan, dorongan yang
mengacu kepada faktor-faktor luar yang turut mendorong munculnya gairah
belajar, seperti lingkungan social atau kelompok, lingkungan fisik yang
memberi suasana nyaman, tekanan, kompetisi, termasuk fasilitas belajar
yang memadai dan membangkitkan minat adalah bentuk motivasi ekstrinsik
Siswa yang Berhasil
Sekolah merupakan misi yang dilaksanakan
untuk mencapai bermacam-macam keinginan siswa atas pengetahuan dasar,
wawasan, peningkatan kemampuan dan pengetahuan yang mendalam (Perkin
dalam Sopiatin, 2010). Sekolah yang berhasil adalah sekolah yang
memiliki visi dan misi, keyakinan dan nilai-nilai, tujuan serta objek
serta faktor kritis keberhasilan. Sedangkan kualitas sekolah dapat
dilihat dari kualitas input, kualitas proses, kualitas outcome, dan
adanya jaminan mutu terhadap pengguna. Sekolah bermutu merupakan harapan
dari semua pihak, sehingga tidak mengherankan jika setiap siswa
berlomba untuk dapat diterima disekolah tersebut. Sekolah yang mempunyai
kualitas pelayanan pendidikan yang baik dan dapat memberikan kepuasan
terkait dengan prestasi belajar siswa.
Seperti halnya musisi, penari ataupun
pemain golf, tentu tidak dapat berhasil apabila mereka tidak
mempraktekkannya, selain dari membaca ataupun mendengarkan dasar-dasar
dan teknik-teknik khusus dalam kelas. Agar mencapai keberhasilan dan
kesuksesan, siswa harus mampu mengatur dirinya dalam belajar untuk
memenuhi tuntutan-tuntutan yang ada agar bisa menjadi siswa yang
berhasil dalam pendidikannya. Pengaturan diri dalam hal akademis ini
disebut dengan academic self management, suatu strategi
pembelajaran yang digunakan oleh siswa untuk mengontrol faktor-faktor
yang mempengaruhi pembelajarannya (Dempo, 2004). Sehingga menjadi tugas
guru untuk membekali siswa dengan kemampuan “self-management”, sebagai
teknik memodifikasi perilaku untuk merubah perilaku diri sendiri. Tidak
hanya membelajarkan apa yang seharusnya dipelajari, tetapi juga
membelajarkan bagaimana belajar.
Mengajarkan siswa untuk mampu mengawasi
kinerjanya sendiri (self-monitoring) merupakan langkah awal, membentuk
siswa yang bertanggung jawab pada perilaku dan sekaligus tahapan untuk
menjadi “agents of change” (Hanson, 1996; Porter, 2002; Rutherford,
Quinn, & Mathur, 1996). Self-monitoring sendiri didefinisikan
sebagai praktek pengamatan dan pencatatan akademik dan perilaku sosial
seseorang (Hallahan & Kauffman, 2000; Rutherford, Quinn, &
Mathur, 1996; Vaughn, Bos, & Schumm, 2000). Apabila self
monitoring seseorang telah terbentuk, maka tahapan selanjutnya adalah
penguasaan self management untuk mengelola kemampuan tersebut.
Self-management bertujuan untuk mengajarkan kepada siswa bagaimana
mengatur proses pembelajarannya atau mengefektifkan perilakunya. Kembali
pada deskripsi permasalahan diawal tulisan ini, maka menjadi penting
bagi seorang guru untuk merubah pola berfikirnya tentang siswa yang
berhasil.
Siswa yang berhasil bukanlah mereka yang
mengetahui sesuatu lebih dari yang lain, tetapi mereka yang memiliki
strategi yang efektif dan efisien untuk mengakses dan menggunakan
pengetahuan, memotivasi diri sendiri dan dapat memonitor atau mengubah
perilaku ketika pembelajaran itu tidak terjadi. Sebab sistem pendidikan
formal tidak menjamin siswa untuk sukses. Kesuksesan bukan hanya sekedar
kemampuan akademis, tetapi juga kemampuan diri (personal skill) yang
baik. Siswa yang drop-out bukan karena dia memiliki kemampuan yang di
bawah rata-rata, tetapi karena dia tidak dapat mengatur dirinya, dalam
hal pendidikan. Oleh sebab itu sebagai catatan akhir tulisan ini,
seorang guru tidak boleh berputus asa untuk mencari “sejuta cara” agar
siswanya menjadi orang-orang yang berhasil dengan mandiri dalam belajar.
No comments:
Post a Comment