Tips Belajar Akuntansi

Sejarah Money Loundring

Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) yang sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak dilaut, Henry Every, dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp5.671.250.000). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every ditanamkan padatransaksi perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat. Namun istilah money laundering  baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika Serikat, pada tahun1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan uang tunai yang mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman kerasterlihat sebagai uang yang halal. Walau demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum dengan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah melakukan penggelapan pajak.

Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky, mafia yangmenghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu denganmendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging. Uang hasil bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasian nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda dengan Al Capone, Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak, tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang yang dilakukannya

 Asal muasal money laundry dilakukan oleh organisasi kriminal yang sering dikenaldengan sebutan mafia. Money laundry biasanya dilakukan atas beberapa alasan, sepertikarena dana yang dimiliki adalah hasil curian/korupsi, hasil kejahatan (semisal padasindikat kriminal), penjualan ganja, pelacuran, penggelapan pajak, dan sebagainya. Atashal tersebut maka uang tersebut harus “dicuci” atau ditransaksikan ke pihak ketiga, lewat badan hukum, atau melalui negara dunia ketiga. Sehingga uang tersebut dapat diterimakembali oleh pemilik asal uang tersebut seolah-olah berasal dari hasil usaha yang legal.Untuk itu, perlu diperketat mengenai pengawasan aliran dana baik asal usul sumbernyamaupun tujuan dana pemakaian dana tersebut. Tujuannya adalah tidak lain untuk memutusdan mencegah rantai aliran dana yang tidak jelas tersebut yang akan “dicucikan” oleh pemiliknya.

Ada dua sumber dana haram yang biasanya digunakan dalam praktek moneylaundry, yaitu dana yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Dana tersebut bergentayangan dan dicarikan tempat yang aman untuk menyimpannya oleh pemiliknya. Hal tersebut dapat dilihat dengan munculnya “Dragon Bank”. “DRAGON BANK”merupakan salah satu lembaga keuangan yang mengelola “uang haram” setelah menerima pemutihan ( money laundering ) dari pemilik dana dan berpusat di Vanuatu Pasifik selatan.Dalam perkembangannya, kasus money laundry tidak hanya melibatkan lembagakeuangan, badan hukum, atau lembaga yang lainnya. Namun parahnya, saat ini kasus money laundry sudah mulai merambah atau melibatkan lembaga keagamaan yang menurutorang-orang merupakan tempat yang suci dan sakral seperti masjid, gereja, pura, dan wihara. Mereka tidak mengecek dari mana asal uang tersebut, yang penting diberikan ketempat suci tersebut. Tetapi sadarkah kita bahwa bisa saja tempat ibadah kita yang katanya"suci" itu menjadi tempat pencucian uang para koruptor di negeri ini? Ini merupakan salahsatu fakta yang menunjukkan bahwa money laundry sudah tidak mengenal tempat yangakan dituju untuk mencuci dana. Entah itu tempat suci atau bukan, seolah-olah dihalalkanoleh para pelakunya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku money laundry memiliki perilakumoral yang parah dan tidak beretika, seolah-olah mereka buta karena dana tersebut.

Atas latar belakang sejarah tersebut, penanggulangan terhadap Money Laundry dimulai sejak dibentuknya Financial Action Task Force (FATF) pada konfrensi tingkat tinggi G7 pada tahun 1989. Sedangkan di Indonesia pembentukan undang-undang anti pencucian uang disebabkan masuknya Indonesia ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories (NCCTs) oleh FATH pada bulan Juni 2001. Sejak diundangkannya UU no. 15 tahun 2002 maka Indonesia telah mengkriminalisasi TPPU. Sehubungan tidak efektifnya UU tsb dalam penerapannya maka dibuat dan disahkan UU no. 25 tahun 2003 pada tanggal 13 Oktober 2003 dengan memperhatikan ketentuan rekomendasi FATH, termasuk kebutuhan domestik berdasarkan masukan yang diperoleh dari berbagai kalangan.

Money Laundry kalau diartikan sederhana adalah pencucian uang, bukan dalam arti sebenarnya uang itu dicuci melainkan uang haram hasil kejahatan diproses oleh pelakunya menjadi uang halal guna menghilangkan jejak kejahatannya. Secara umum metode pencucian uang dilakukan melalui tiga tahapan yaitu Penempatan (placement), Transfer (layering) dan Integrasi (integration).

Penempatan:
Pada tahap pertama pencucian uang, pelaku melakukan pemisahan atau menjauhkan hubungan antara dana haram dengan sumber dananya. Penempatan dilakukan dengan melakukan transaksi berupa penempatan dana haram ke dalam sistem keuangan. Contohnya, pelaku pencucian uang dapat menempatkan uang tunai ke dalam suatu bank atau melakukan pembelian saham dan aset seperti mobil, rumah atau emas/perhiasan.

Transfer:
Setelah berhasil menempatkan uang haram ke dalam sistem keuangan, tahap pencucian uang berikutnya adalah melakukan transfer melalui berbagai macam transaksi dengan tujuan menjauhkan asal usul dana haram tsb sehingga menyulitkan aparat penegak hukum menelusuri sumber dana dimaksud. Contohnya, pelaku pencucian uang selain membeli atau menjual aseet, dapat pula mentransfer dana tsb ke seluruh dunia dengan menggunakan beberapa rekening dengan pola transaksi yang rumit menggunakan bank yang berbeda.

Integrasi:
Tahapan ini merupakan akhir proses pencucian uang yang dimaksudkan memberikan penyelasan atau pembenaran atas penggunaan dana haram ke dalam usaha yang sah atau halal, sehingga dana menjadi terlihat bersih. Kesimpulannya, tahapan integrasi memberikan keleluasaan kepada pelaku kejahatan untuk menikmati dana yang berasal dari dana haram tanpa menimbulkan adanya kecurigaaan atau terdeteksi oleh aparat penegak hukum. Contohnya, pelaku mendirikan usaha berupa SPBU, perusahaan properti, atau jual beli mobil mewah dimana dana haram dapat ditanamkan ke dalam usaha tsb dan kemudian dana tersebut diperlakukan sebagai laba fiktif atau digunakan untuk keperluan lainnya seperti membayar angsuran pinjaman.

Bank Dunia dalam risetnya memberikan rincian tentang kegiatan usaha yang rentan terhadap pencucian uang dan pendanaan terorisme, diataranya adalah sebagai berikut:


  1. Kegiatan usaha berbasis tunai misalnya café, bar dan rumah makan.

  2. Jual beli barang bernilai tinggi misalnya mobil mewah, barang antik, emas, perhiasan dan properti.

  3. Bank dan lembaga keuangan non bank.

  4. Tempat penukaran valuta asing (money changer).

  5. Akuntan, pengacara, notaris dan biro jasa pendirian perusahaan (company formation agent).


Share:
Read More

Perlunya Lembaga Penjaminan Simpanan Bagi Nasabah


Industri perbankan merupakan salah satu komponen yang sangat pentingdalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Stabilitas industri perbankan sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian secara keseluruhan.

Pada tahun 1998, krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia, yang ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank, mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat.

Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas.

Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat.

Pada tanggal 22 September 2004, Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, LPS, suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya, dibentuk.

Undang-undang ini berlaku efektif sejak tanggal 22 September 2005, dan sejak tanggal tersebut LPS resmi beroperasi.LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya.

Sejak tanggal 22 Maret 2007 dan seterusnya, nilai simpanan yang dijamin LPS maksimum sebesar Rp 100 juta per nasabah per bank, yang mencakup pokok dan bunga/bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah. Bila nasabah bank memiliki simpanan lebih dari Rp 100 juta maka sisa simpanannya akan dibayarkan dari hasil likuidasi bank tersebut.


Tujuan kebijakan publik penjaminan LPS tersebut adalah untuk melindungi simpanan nasabah kecil karena berdasarkan data distribusi simpanan per 31 Desember 2006, rekening bersaldo sama atau kurang dari Rp 100 juta mencakup lebih dari 98% rekening simpanan.

Sejak terjadi krisis global pada tahun 2008, Pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang mengubah nilai simpanan yang dijamin oleh LPS menjadi Rp2.000.000.000 (dua milyar rupiah). Perpu ini dapat disesuaikan kembali, apabila krisis global meluas atau mereda.

Adapun kriteria simpanan yang dijamin oleh LPS sebagai berikut:
















































1.
Simpanan yang dijamin meliputi giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu.
2.Simpanan nasabah Bank berdasarkan Prinsip Syariah yang dijamin meliputi:



























a.
Giro berdasarkan Prinsip Wadiah;
b.Giro berdasarkan Prinsip Mudharabah;
c.
Tabungan berdasarkan Prinsip Wadiah;
d.
Tabungan berdasarkan Prinsip Mudharabah muthlaqah atau Prinsip Mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh bank;
e.
Deposito berdasarkan Prinsip Mudharabah muthlaqah atau Prinsip Mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh bank; dan/atau
f.
Simpanan berdasarkan Prinsip Syariah lainnya yang ditetapkan oleh LPS setelah mendapat pertimbangan LPP.

3.
Simpanan yang dijamin mencakup pula simpanan yang berasal dari bank lain.
4.
Nilai Simpanan yang dijamin LPS mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha Bank.
5.
Saldo tersebut berupa:















a.
Pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah, untuk Simpanan yang memiliki komponen bagi hasil yang timbul dari transaksi dengan prinsip syariah;
b.
Pokok ditambah bunga yang telah menjadi hak nasabah, untuk Simpanan yang memiliki komponen bunga;
c.
Nilai sekarang per tanggal pencabutan izin usaha dengan menggunakan tingkat diskonto yang tercatat pada bilyet, untuk Simpanan yang memiliki komponen diskonto.

6.
Saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu Bank adalah hasil penjumlahan saldo seluruh rekening Simpanan nasabah pada Bank tersebut, baik rekening tunggal maupun rekening gabungan (joint account);
7.
Untuk rekening gabungan (joint account), saldo rekening yang diperhitungkan bagi satu nasabah adalah saldo rekening gabungan tersebut yang dibagi secara prorata dengan jumlah pemilik rekening
8.Dalam hal nasabah memiliki rekening tunggal dan rekening gabungan (joint account), saldo rekening yang terlebih dahulu diperhitungkan adalah saldo rekening tunggal.
9.
Dalam hal nasabah memiliki rekening yang dinyatakan secara tertulis diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain (beneficiary), maka saldo rekening tersebut diperhitungkan sebagai saldo rekening pihak lain (beneficiary) yang bersangkutan
10.Sejak 13 Oktober 2008, saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank adalah paling banyak sebesar Rp 2 Milyar

Sumber: http://www1.lps.go.id/
Share:
Read More

PSAK Revisi Tahun 2009 (Eksposure Draft)

Indonesia bagian dari IFAC, yang harus tunduk pada SMO (Statement Membership Obligation), salah satunya menggunakan IFRS sebagai accounting standard. Konvergensi IFRS adalah salah satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai anggota G20 forum. Hasil dari pertemuan pemimpin negara G20 forum di Washington DC, 15 November 2008 bertema "Strengthening Transparency and Accountability”. Dalam pertemuan G20 di London, 2 April 2009 menghasilkan kesepakatan untuk Strengthening Financial Supervision and Regulation Ă  “to call on the accounting standard setters to work urgently with supervisors and regulators to improve standards on valuation and provisioning and achieve a single set of high-quality global accounting standards.”

Dibandingkan dengan PSAK yang pernah diterapkan IFRS juga memiliki karakteristik yang berbeda, antara lain:
  • menggunakan “Principles Base “ sehingga lebih menekankan pada intepreatasi  dan aplikasi  atas standar sehingga harus berfokus pada spirit penerapan prinsip tersebut.

  • Standar membutuhkan penilaian atas substansi transaksi dan evaluasi apakah presentasi akuntansi mencerminkan realitas ekonomi.

  • Membutuhkan proffesional judgment pada penerapan standar akuntansi.

  • Menggunakan fair value dalam penilaian

  • Mengharuskan pengungkapan (disclosure) yang lebih banyak
Sehingga saat ini Indonesia memiliki 3 (tiga) pilar akuntansi meliputi:
  • Standar Akuntansi Keuangan

  • SAK-ETAP

  • Standar Akuntansi Syari’ah
IFRS hanya diadopsi untuk Standar Akuntansi Keuangan, dengan roadmap seperti pada bagan dibawah ini:

Untuk menambahkan pemahaman kita tentang PSAK Revisi 2009, berikut ini adalah materi dan diskusi dengan IFRS yang saya peroleh dari blog pribadinya Dwi Martini (Ketua Departemen Akuntansi FE-UI). Untuk mendownload langsung klik pada topik PSAK yang ada dibawah ini:

ED PSAK 1 – Penyajian Laporan Keuangan

ED PSAK 2 – Laporan Arus Kas

ED PSAK 3 – (revisi 2010) Laporan Keuangan Interim

ED PSAK 4 – Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri

ED PSAK 5 – Segmen Operasi

ED PSAK 7 – (revisi 2009) Pengungkapan Pihak-Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa

ED PSAK 8 – (revisi 2010) Peristiwa Setelah Akhir Periode Pelaporan

ED PSAK 10 – (revisi 2009) Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Valuta Asing

ED PSAK 12 – Bagian Partisipasi Dalam Ventura Bersama

ED PSAK 13 – Properti Investasi

ED PSAK 15 – Investasi Pada Entitas Asosiasi

ED PSAK 16 – Aset Tetap

ED PSAK 18 – (revisi 2010) Akuntansi dan Pelaporan Program Manfaat Purnakarya

ED PSAK 19 – (revisi 2009) Aset Tidak Berwujud

ED PSAK 22 – Kombinasi Bisnis

ED PSAK 23 – (revisi 2009) Pendapatan

ED PSAK 24 – Imbalan Kerja

ED PSAK 25 – Kebijakan Akuntansi Perubahan estimasi Akuntansi, dan Kesalahan

ED PSAK 26 – Biaya Pinjaman

ED PSAK 28 – (revisi 2010) Akuntansi Asuransi Kerugian

ED PSAK 30 – Sewa

ED PSAK 31 – Instrumen Keuangan Pengungkapan

ED PSAK 33 – (revisi 2011) Akuntansi Pertambangan Umum

ED PSAK 34 – (revisi 2010) Kontrak Kontruksi

ED PSAK 36 – (revisi 2010) Akuntansi Asuransi Jiwa

ED PSAK 45 – (revisi 2010) Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba

ED PSAK 46 – (revisi 2010) Pajak Penghasilan

ED PSAK 48 – Penurunan Nilai Aset

ED PSAK 50 – (revisi 2010) Instrumen Keuangan Penyajian

ED PSAK 53 – (revisi 2010) Pembayaran Berbasis Saham

ED PSAK 55 – Instrumen Keuangan – Pengakuan dan Pengukuran

ED PSAK 56 (revisi 2010) Laba pe Saham

ED PSAK 57- Kewajiban Diestimasi, Kewajiban Kontinjensi dan Aset Kontinjensi

ED PSAK 58 – Aset Tidak Lancar Yang Dimiliki Untuk Dijual dan Operaso Yang Dihentikan

ED PSAK 60 – (revisi 2010) Instrumen Keuangan Pengungkapan

ED PSAK 61- Akuntansi Hibah Pemerintah dan Pengungkapan Bantuan Pemerintah

ED PSAK 62 – Kontrak Asuransi

ED PSAK 63 – Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi

ED PSAK 64 – Eksplorasi dan Evaluasi Sumber Daya Mineral

ED PSAK 107 – Akuntansi Syariah

ED PSAK 108 – Akuntansi Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah

ED PSAK 109 – Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah

ED PSAK 110 – Akuntansi Hawalah

ED PSAK 111 – Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah

ED PSAK – UKM unt upload

ED PPSAK 2 – Pencabutan PSAK 41 dan PSAK 43

ED PPSAK 3 – Pencabutan PSAK 54

ED PPSAK 4 – Pencabutan PSAK 31, PSAK 42, dan PSAK 49

ED PPSAK 5 – Pencabutan ISAK 06

ED PPSAK 6 – Pencabutan PSAK 21,ISAK 1,ISAK 2,ISAK 3

ED PPSAK 7 – Pencabutan PSAK 44 Akuntansi Aktivitas Pengembangan Real Estate

ED PPSAK 8 – Pencabutan PSAK 27 Akuntansi Koperasi

ED PPSAK 10 – Pencabutan PSAK 51 Akuntansi Kuasi Reorganisasi

ED PPSAK 11 – Pencabutan PSAK 39-Akuntansi Kerja Sama Operasi

ED ISAK 7 – Konsolidasi Entitas Bertujuan Khusus

ED ISAK 9 – Perubahan Atas Kewajiban Aktivitas Purna Operasi, Restorasi Dan Kewajiban Serupa

ED ISAK 10 – Program Loyalitas Pelanggan

ED ISAK 11 – Distribusi Aset Nonkas Kepada Pemilik

ED ISAK 12 – Pengendalian Bersama Entitas Kontribusi NonMoneter Oleh Venturer

ED ISAK 13 – Lindung Nilai Investasi Neto Dalam Kegiatan Usaha Luar Negeri

ED ISAK 14 – Aset Tidak Berwujud-Biaya Situs Web

ED ISAK 15 – PSAK 24 – Batas Aset Imbalan Pasti, Persyaratan Pendanaan Minimum dan Interaksinya

ED ISAK 16 – Perjanjian Konsesi Jasa

ED ISAK 17 – Laporan Keuangan Interim dan Penurunan Nilai

ED ISAK 18 – Bantuan Pemerintah-Tidak Ada Relasi Spesifik dengan Aktivitas Operasi

ED ISAK 19 – Penerapan Pendekatan Penyajian Kembali dalam PSAK 63 Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi

ED ISAK 20 – Pajak Penghasilan – Perubahan dalam Status Pajak Entitas atau Para Pemegang Sahamnya

ED ISAK 21 – Perjanjian Konstruksi Real Estate

ED ISAK 22 – Perjanjian Konsesi Jasa Pengungkapan

ED ISAK 23 – Sewa Operasi-insentif

ED ISAK 24 – Evaluasi Substansi Beberapa Transaksi yang Melibatkan Suatu Bentuk Legal Sewa

ED ISAK 25 – Hak Atas Tanah

ED ISAK 26 – Penilaian Ulang Derivatif Melekat

Semoga bermanfaat.

Sumber : http://staff.blog.ui.ac.id/martani/pendidikan/psak-ifrs-forum/
Share:
Read More

Download : Akuntansi Perkebunan BUMN Adopsi IFRS 2011

Proses konvergensi ke International Financial Reporting Standards (IFRS) menyebabkan revisi seluruh Standar Akuntansi Keuangan yang ada. Penggunaan nilai wajar dan pertimbangan profesional sangat dibutuhkan dalam penerapan ketentuan akuntansi yang baru.

Hal tersebut tentu berdampak terhadap perlakuan akuntansi di BUMN Perkebunan, termasuk hal-hal lain yang terkait dengan pelaporan keuangan, yang menjadi semakin kompleks. Untuk itu dibutuhkan sarana dan infrastruktur pendukung supaya BUMN Perkebunan mampu menyusun laporan keuangan sesuai dengan ketentuan akuntansi yang baru, salah satunya dalam bentuk Pedoman Akuntansi BUMN Perkebunan ini.

Adopsi IFRS bukanlah pilihan bagi Indonesia, tapi keharusan, mengapa? Karena Konvergensi IFRS adalah salah satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai anggota G20 forum.

Menyikapi hal tersebut, BUMN perkebunan yang terdiri dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I sampai dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV ditambah PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) sepakat bersinergi meng-implementasikan IFRS dalam pelaporan keuangan yang sudah mulai diberlakukan secara bertahap dalam laporan keuangan tahun 2011, dan akan diberlakukan secara penuh dalam laporan keuangan tahun 2012.

Bagi Indonesia, standar akuntansi yang berlaku umum adalah PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) yang belum mengadopsi penuh standar akuntansi international (IFRS). Standar akuntansi yang digunakan di Indonesia masih mengacu pada US GAAP (United Stated Generally Accepted Accounting Standard).

Dengan kondisi PSAK sedemikian yang juga berlaku bagi BUMN Perkebunan, akan menjadi penghalang dan hambatan bagi BUMN Perkebunan dalam memasuki pasar global khususnya bagi BUMN yang akan melakukan listing di Bursa Efek Indonesia karena laporan keuangan yang tidak standar dan dapat diinteprestasikan berbeda oleh calon investor.

Bagi yang membutuhkan Pedoman Akuntansi Perkebunan BUMN silahkan klik tautan dibawah ini:

Share:
Read More