Tips Belajar Akuntansi

Bagaimanakah Konsep Belajar Sebenarnya ?

Istilah belajar sudah dikenal luas di berbagai kalangan namun sering disalah-artikan atau diartikan secara pendapat umum saja. Misalnya seorang ibu meminta anaknya ”Belajar dulu sebelum tidur”, yang maksudnya membaca dulu buku pelajaran sebelum tidur. Atau seorang ayah menasihati anaknya yang baru terjatuh dari sepeda motor karena kelalaiannya, dengan mengatakan ”Kamu harus belajar dari pengalaman”, yang maksudnya jangan mengulagi kesalahan  serupa pada masa mendatang. Dalam kedua contoh ungkapan tersebut belajar diartikan sebagai proses mendapatkan pengetahuan dengan membaca dan menggunakan pengalaman sebagai pengetahuan yang memandu prilaku. Dengan kedua contoh tersebut kita belum dapat memahami secara konseptual dan utuh tentang konsep belajar.

Untuk memahami konsep belajar secara utuh perlu digali lebih dulu bagaimana para pakar psikologi dan pakar pendidikan mengartikan konsep belajar. Pandangan  kedua kelompok pakar tersebut sangat penting karena prilaku belajar merupakan bidang telaah dari kedua bidang keilmuan itu. Pakar psikologi melihat prilaku belajar sebagai proses psikologis individu dalam interaksinya dengan lingkungan secara alami, sedangkan pakar pendidikan melihat prilaku belajar sebagai proses psikologis-pedagogis yang ditandai dengan adanya interaksi individu dengan lingkungan belajar yang disengaja diciptakan.

Pengertian belajar yang cukup  komprehensif diberikan oleh Bell-Gredler (1986:1) yang menyatakan bahwa belajar adalah proses yang dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan aneka ragam kompetensi, keterampilan, dan sikap. Kompetensi, keterampilan, dan sikap tersebut diperoleh secara bertahap dan berkelanjutan mulai dari masa bayi sampai masa tua melalui rangkaian proses belajar sepanjang hayat. Rangkaian proses belajar itu dilakukan dalam bentuk keterlibatannya dalam pendidikan informal, keturutsertaannya dalam pendidikan formal dan/atau pendidikan nonformal. Kemampuan belajar inilah yang membedakan manusia dari mahluk lainnya.

Belajar sebagai proses manusiawi memiliki kedudukan dan peran penting baik dalam kehidupan masyarakat tradisional maupun modern. Pentingnya proses belajar dapat dipahami dari kearifan lokal, filsafat. temuan penelitian dan teori tentang belajar. Traditional wisdom adalah ungkapan verbal dalam bentuk frasa, peribahasa, adagium, maksim, kata mutiara, petatah-petitih atau puisi yang mengandung makna eksplisit atau implisit tentang pentingnya belajar dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh: Iqra bismirobbika ladzi kholaq (Bacalah alam semesta ini dengan nama tuhanmu); Belajarlah sampai ke negeri China sekalipun (Belajarlah tentang apa saja, dari siapa saja dan dimana saja); Bend the willow when it is young (Didiklah anak selagi masih muda); Berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian (Belajar lebih dahulu nanti akan dapat menikmati hasilnya).

Dalam pandangan yang lebih komprehensif konsep belajar dapat digali dari berbagai sumber seperti filsafat, penelitian empiris, dan teori. Para ahli filsafat telah mengembangkan konsep belajar secara sistematis atas dasar pertimbangan nalar dan logis tentang realita kebenaran, kebajikan dan keindahan.  Karena itu filsafat merupakan pandangan yang koheren dalam melihat hubungan manusia dengan alam semesta. Plato, dalam Bell-Gredler(1986: 14-16) melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang ada dalam diri manusia dan di bawa lahir. Sementara itu Arstoteles melihat pengetahuan sebagai sesuatu yang ada dalam dunia fisik, bukan dalam pikiran. Kedua kutub pandangan filosofis tersebut berimplikasi pada pandangan tentang belajar. Bagi penganut filsafat idealisme hakikat realita terdapat dalam pikiran, sumber pengetahuan adalah ide dalam diri manusia, dan proses belajar adalah pengembangan ide yang telah ada dalam pikiran.  Sedang bagi penganut realisme realita terdapat dalam dunia fisik, sumber pengetahuan adalah pengalaman sensori, dan belajar merupakan kontak atau interaksi individu dengan lingkungan fisik.

Pandangan lain tentang belajar, selain dari pandangan para filsup idealisme dan realisme tersebut di atas,  berasal dari pandangan para ahli psikologi, yang antara lain dirintis oleh Wiliam James, John Dewey, James Cattel dan Edward Thorndike tahun 1890-1900 (Bell-Gredler, 1986:20-25). Pada dasarnya para ahli psikologi melihat belajar sebagai proses psikologis yang disimpulkan dari hasil penelitian tentang bagaimana anak berpikir (Hall:1883),  atau disimpulkan dari bagaimana binatang belajar (Thorndike: 1898) atau dari hasil pengamatan praktek pendidikan (Dewey:1899). Sejalan dengan mulai berkembangnya disiplin psikologi pada awal abad 20 berkembang pula berbagai pemikiran tentang belajar yang digali dari berbagai penelitian empiris. Pada jaman itu mulai berkembang dua kutub teori belajar yakni teori behaviorisme dan teori gestalt. Kunci dari teori behaviorisme yang digali dari penelitian Ivan Pavlov pemenang hadiah Nobel tahun 1904, dan V.M.Bechtereve serta A.B. Watson adalah proses relasi antara stimulus dan respon (S-R), sedang teori gestalt adalah relasi antara bagian dengan totalitas pengalaman. Sejak itu maka berkembang berbagai teori belajar yang bertolak dari bidang telaah penelitian yang berbeda-beda tetapi semua bertujuan untuk menjelaskan bagaimana belajar sesungguhnya terjadi.

Beberapa teori belajar secara signifikan banyak mempengaruhi pemikiran tentang proses pendidikan, termasuk pendidikan jarak jauh. Teori Pengkondisian Operant dari B.F. Skinner yang menekankan pada konsep penguatan (Bell-Gredler, 1986: 77-91), dan teori Kondisi untuk Belajar dari Robert Gagne yang menekankan pada pengembangan prilaku sebagai produk dari efek kumulatif belajar (Bell-Gredler, 1986: 117-130) mempengaruhi pandangan tentang bagaimana menata lingkungan belajar. Sementara itu teori Pemrosesan Informasi yang menekankan pada proses pengolahan informasi dalam berpikir (Bell-Gredler, 1986: 153-169), dan teori Perkembangan Kognitif dari Jean Piaget yang menekankan pada konsep jalan untuk tahu (Bell-Gredler, 1986: 193-209) mempengaruhi pandangan tentang bagaimana mengembangkan proses intektual peserta didik.  

Di lain pihak  teori Belajar Sosial dari Albert Bandura yang menekankan pada pemerolehan keterampilan dan kemampuan kompleks melalui pengamatan modeled behavior besertra konsekuensinya terhadap prilaku individu (Bell-Gredler, 1986: 235-253) dan teori Atribusi dari Bernard Werner yang menekankan pada relasi antara kemampuan, usaha, kesulitan tuga, dan keberuntungan dalam keberhasilan atau kegagalan belajar (Bell-Gredler, 1986: 276-291) mempengaruhi pandangan tentang bagaimana melibatkan perlibatan individu dalam konteks sosial. Sedangkan teori Belajar Melalui Pengalaman dari David A.Kolb,  yang menekankan pada konsep transformasi pengalaman dalam membangun pengetahuan (Kolb, 1984: 21-38), teori Social Development dari L.Vygostky yang menekankan pada konsep wilayah perkembangan terdekat (zone of proximal development) melalui proses dialogis dan kebersamaan (Cheyne dan Taruli, 2005:1-10), dan Teori Belajar Berbasis Jaringan yang menekankan pada interaksi individu dengan sumber informasi berbasis jaringan elektronik (Suparman, Winataputra, Hardhono, dan Sugilar, 2003:1-5) mempengaruhi pandangan tentang bagaimana memanfaatkan lingkungan belajar yang bersifat multipleks guna menghasilkan belajar yang lebih bermakna. Semua konsep belajar yang dibangun dalam masing-masing teori tersebut melukiskan bagaimana proses psikologis-internal-individual atau psikososial atau psiko-kontekstual, yang relatif bebas dari konteks pedagogik, dikembangkan untuk mengaktualisasikan potensi belajar individu.
Share:

No comments:

Post a Comment